8

1777 Kata
“Disinikah anda selama ini tinggal, My Lord?” Pertanyaan itu muncul dari mulut Leela saat aku mengantar mereka ke Dragoste Hall beberapa jam kemudian. “Rumah ini...” Bisik Javas nyaris tanpa suara. “Rumah ini milik Wren. Dan ya, aku memang tinggal disini selama beberapa waktu. Dan seperti yang kalian duga, rumah ini sangat mirip dengan rumah Reynard walau tanpa halamannya yang luas. Aku sempat berpikir jangan-jangan dulunya ini rumah Uriel.” Ujarku menyelesaikan apa yang sebenarnya ingin mereka katakan tapi tidak pernah bisa selesai mereka ucapkan. “Jadi, apa kalian bisa tinggal disini sementara sampai tempat tinggal kita yang baru selesai dibereskan?” “Secara pribadi, aku tidak yakin ada tempat yang lebih kusukai daripada tempat ini.” Bisik Iksha tanpa menyembunyikan kekagumannya pada Dragoste Hall. “Sepertinya kita tidak perlu tempat lain, My Lord. Kami menyukai tempat ini.” Ujar Kairav sambil menahan senyumnya. “Kalian yakin? Tempat ini jauh dari langit.” Tanyaku curiga. Ketujuh anggota Cadre-ku mengangguk cepat. “Malaikat memilih tempat tinggal yang mirip dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Dan rumah ini memiliki apa yang kami miliki sebelumnya, kehadiranmu.”ucap Kieran tenang. Mereka menyukai tempat ini dan tidak ingin pindah. Wren pasti akan mengamuk kalau aku mengatakan tidak jadi pindah ke tower-nya karena sebelum kami berangkat ke Dragoste Hall, Wren sudah menelpon Geofrey dan menyuruh vampir itu untuk membereskan semua barang-barang di lantai 60 sampai 67 dan menggantinya dengan yang baru_tentunya menggunakan uangku. “Terserah kalian. Mulai saat ini Inggris ada dibawah kendali kita. Kalian bisa membagi wilayah teritori kalian mulai malam ini. Dan ingat, dibawah kita, ada vampir yang juga menguasai Inggris. Wren adalah pemimpin klan Libra yang sudah menguasai Inggris selama lebih dari setengah milenia. Aku tidak ingin ada masalah dengan mereka. Kita harus bekerja sama dengan mereka. Dan satu-satunya daerah yang tetap netral adalah Whiteheaven. Sampai Seraphim mencabut peraturan itu, Whiteheaven ada dalam lindunganku. Kalian mengerti?” “Sangat mengerti, My Lord.” Jawab Adishree yang paling kuat. “Aku akan kembali ke Acasa Manor. Temui aku disana kalau ada masalah.” Ujarku sebelum meninggalkan Cadre 7 di Dragoste Hall. Berharap mereka cukup berhati-hati untuk tidak mengembangkan sayap di dalam rumah. Karena kalau mereka melakukan itu, aku harus mengganti properti Wren_sekali lagi. Walaupun aku tidak berharap kalau mereka akan hidup dalam damai. Tidak. Cadre 7 mungkin membuat malaikat lain iri dengan loyalitas mereka padaku, tapi tidak akan ada yang menyangka kalau seluruh anggota Cadre 7 selalu bertengkar setiap kali mereka berkumpul bersama. Mereka juga selalu bertanding siapa yang berhasil mengalahkan lawan paling banyak setiap kali kami terlibat pertempuran. Sepertinya kekayaan yang kukumpulkan selama ini akan habis untuk merenovasi Dragoste Hall setiap mereka bertujuh datang berkunjung.   *Eliza POV* Aku tidak yakin apakah aku sedang bermimpi atau tidak. Tapi rasanya ini memang mimpi. Dan kalau ini memang mimpi, maka ini mimpi terindah yang pernah kualami. Di dalam mimpi_yang entah mimpi atau tidak_aku melihat sebuah cahaya yang sangat menyilaukan. Aku tidak berani menatap cahaya itu. Walaupun cahaya itu sangat menyilaukan, aku bisa merasakan kehangatan. Kehangatan yang asing yang merasuk hingga ke dalam tubuh, membuatku sangat nyaman dan_sesaat_melupakan semua mimpi buruk masa laluku. Cahaya itu semakin lama mulai menghilang perlahan dan seseorang mulai muncul. Hanya saja aku tidak tahu siapa dia, sekeras apapun aku berusaha menatapnya, wajahnya tetap tidak terlihat. Dan tiba-tiba saja aku berbaring di atas hamparan bulu-bulu lembut yang membuatku tertidur pulas. Tidak hanya dibawah tubuhku, bulu-bulu lembut itu juga menyelimutiku, memberikanku kehangatan yang menenangkan. Sebuah tangan membelai tubuhku. Sangat lembut hingga aku tidak ingin menghentikannya. Tangan itu membelai pinggangku, naik hingga ke bahuku, memelukku. Dan bibir itu mengecup dahiku sebelum turun menelusuri hidung dan berhenti di bibirku. Bibir yang sangat lembut itu hanya diam selama beberapa saat sampai aku merasakan lidahnya menelusuri bibirku dan memaksa masuk. Mimpi yang sangat erotis karena aku membalas ciuman itu dan membelai si pemilik tangan, merasakan dadanya yang telanjang menyentuh dadaku. Membuat tubuhku bereaksi spontan. Tangan itu semakin berani membelai tubuhku, menyingkirkan tali gaunku dan menangkup payudaraku. Memijatnya lembut sementara bibirnya terus mengecup bibirku dengan kerakusan tertahan yang dapat kurasakan. Saat bibir itu mulai berpindah ke leher dan bahuku, berhenti tepat di puncak dadaku, sensasi aneh di perutku semakin hebat. Bagaikan ada seribu kupu-kupu dilepaskan disana. Tapi rasanya mimpi ini terlalu aneh, terlalu nyata untuk dapat kurasakan. Aku nyaris o*****e dalam mimpi. Dan sentuhan bulu itu... Tidak mungkin! Aku membuka mataku dengan paksa, memastikan kalau semuanya mimpi. Tapi apa yang kulihat membuatku tidak bisa menahan teriakan dan membuat gempar Acasa Manor pada jam tiga pagi. “Berikan aku alasan untuk tidak mengakhiri hidupmu yang singkat, Lady.” Tegur sebuah suara serak dari si pemilik tubuh yang tidur di ranjangku hanya dengan mengenakan celana panjang denim lembut tanpa mengenakan atasan. “Kau yang harus memberikan alasan kenapa kau bisa ada di atas tempat tidurku tanpa pakaian!?” Semburku setelah memastikan tercipta jarak diantara kami sambil menaikkan kembali tali gaun tidurku. Demi Tuhan, apa yang kuanggap mimpi ternyata adalah kenyataan. Aku berbaring di dalam Berngkuhan sayap sang malaikat dan nyaris o*****e hanya dengan sentuhannya! “Kalau aku tidak salah kamar ini adalah kamar biru.” Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Dan dia terlalu tenang setelah apa yang dia lakukan padaku. Aku tidak harus menjawabnya, tapi aku merasa harus menjelaskannya. Dia tidak bisa menganggapku terpesona dengan sentuhannya hingga tidak bisa menjawabnya “Ya.” “Dan kalau aku tidak salah, tempat tidur ini, sama seperti tempat pribadi lainnya di dalam kamar biru sengaja dibuat sangat luas.” “Ya.” “Kalau begitu, aku tidak salah kamar. Ini kamarku.” “Ini kamarku! Setidaknya selama aku ada disini, ini kamarku. Tidak pernah ada yang melarang atau mengatakan ini kamar orang lain!” “Lady... Aku lelah. Aku ingin istirahat. Aku sudah melakukan perjalanan yang tidak bisa kau pikirkan. Walaupun aku tidak keberatan kita melanjutkan apa yang terhenti tadi.” “Oh, tentu saja, silakan beristirahat. Tapi tidak di kamar ini!” Semburku berusaha menahan kemurkaan yang sebentar lagi akan meledak. “Ada apa ini?” Tanya sebuah suara yang kukenali sebagai suara Wren dari arah pintu. “Katakan pada temanmu ini, Wren, kalau ini adalah kamarku!” Bentakku begitu saja. Wren terdiam, seperti sedang berusaha mencari sesuatu di dalam kamar itu sebelum mendesah panjang dan menyisirkan jemarinya ke rambut hitamnya. “Ada sedikit kesalahpahaman disini. Maafkan aku, sobat. Aku tidak tahu kalau kau akan tinggal disini. Kamar biru sudah ditempati Eliza sejak hari pernikahan kami. Dan saat itu tidak ada pilihan lain karena terlalu banyak tamu yang menginap hingga dia jadi terbiasa menggunakan kamar biru saat berkunjung kesini. Dan Eliza, kamar biru adalah kamar Navaro. Aku yang membuat kamar ini khusus untuk Navaro karena ‘itu’ membutuhkan ruang yang besar.” Jelas Wren sambil menunjuk sayap Navaro. “Jadi, apa keputusannya sekarang?” “Aku tidak tahu.” Bisik Wren seolah ingin lenyap dari tempatnya berdiri saat ini. “Maafkan aku.” “Aku tidak keberatan berbagi ranjang denganmu. Buktinya kita bisa tidur bersama sebelum kau terbangun tadi. Dan menikmati apa yang terjadi.” Sahut Navaro santai. Aku melotot marah pada malaikat dengan kepercayaan diri terlalu tinggi itu. “Jangan harap aku mau berbagi ranjang denganmu! Tidak akan!” Geramku. “Wah wah wah... Bukannya kata ‘tidak akan’ itu menggambarkan kata ‘selamanya’? Aku rasa itu terlalu lama. Jangan terlalu percaya diri, perempuan, saat kau sama sekali tidak bisa melihat masa depan.” Ucap Navaro tenang. Aku menolak memikirkan ucapannya. “Aku akan pindah ke kamar hijau, Wren.” Putusku cepat. “Dan setelah matahari terbit nanti, aku akan memindahkan barang-barangku. Sampai saat itu, tolong jangan memeriksa barang-barangku ataupun menyentuhnya.” “Aku lebih suka menyentuhmu daripada menyentuh benda mati. Aku bisa meyakinkanmu.” “Tidak akan!” Dengan cepat aku berbalik dan berjalan menuju pintu saat sesuatu menyentuh bahuku dengan lembut. Refleks aku meraihnya dan mendapati jubah gaun tidurku disampirkan di bahuku. “Kau akan kedinginan tanpa jubah itu.” Bisik Navaro sangan lembut sebelum aku sempat menyadari kalau dia sudah berbaring kembali di ranjang. Sial malaikat itu! “Dia pemarah. Sedikit lebih buruk daripada sifat Lily.” Bisik Navaro pada Wren yang masih berdiri di pintu kamar biru. Keduanya sama-sama hanya mengenakan celana tanpa atasan! Ya Tuhan, selematkanlah para wanita yang hidup bersama mereka dari shock jantung! Selamatkan saudariku Lily dari keinginan membunuh setiap wanita yang melirik suaminya! Dan tolong jauhkan mereka dari setiap manusia berjenis kelamin perempuan. Mereka jelas racun bagi pikiran sehat setiap wanita.   Berbaring nyalang 4 jam di tempat tidur tanpa bisa terpejam sekalipun semakin memperburuk suasana hatiku. Bayangan akan sentuhan dan sayap Navaro masih jelas terasa di tubuhku. Dan satu jam berikutnya kuhabiskan dengan berguling-guling di tempat tidur berlapis satin hijau lembut itu. Begitu jarum jam sudah menunjukkan pukul 8.30, aku melompat dari tempat tidur, mengenakan jubah kamarku, dan bergegas kembali ke kamar biru untuk mengambil barang-barangku. Awalnya aku begitu kesal hingga tidak memikirkan apapun, tapi begitu sampai di depan kamar biru, langkah kakiku terhenti. “Apa dia sudah bangun?” Bisikku pelan. Dan dengan perlahan aku meraih gagang pintu, mencoba untuk membukanya. Tidak terkunci. Bagus! Berusaha sekeras mungkin untuk tidak menimbulkan suara, aku melangkah masuk ke kamar biru. Navaro masih tertidur, dan Ya Tuhan! Dia benar-benar malaikat! Oh, aku tahu dia malaikat sejak Nicole menjelaskan semua itu padaku. Tapi apa yang kulihat saat ini benar-benar tidak bisa dilukiskan dengan apapun. Tubuhnya ditimpa cahaya matahari lembut yang berhasil mencuri masuk lewat sela-sela kain jendela hingga membuat tubuhnya berkilau. Rambutnya ikal pendek berwarna coklat muda, sedikit lebih terang dari warna rambut Wren. Hidungnya mancung, walau tidak semancung hidung Wren. Bibir itu yang tadi menciumku, dan tangan itu yang tadi membelaiku... Dan aku berani bersumpah kalau dia seakan diciptakan di kamar ini. Sayapnya... Sayapnya... Sayap itu berwarna biru! Bukan putih polos seperti kemarin! Birunya begitu lembut, menggoda siapa saja untuk menyentuhnya, dan corak keemasan di sayap itu mempertegas kemewahan sayap malaikat itu. Semua keindahan itu dilengkapi wajahnya yang tertidur dalam damai. Dia benar-benar indah. Bahkan akupun tidak bisa menahan godaan untuk menyentuh sayap menakjubkan itu. Antara sadar dan tidak aku berjalan mendekati ranjang. Berlutut di lantai dengan kedua kakiku, dan mengulurkan tangan untuk membelai sayap biru menakjubkan itu. Sayap itu tidak terasa seperti bulu biasa. Aku bersumpah kalau selain bulu-bulu halus berwarna menakjubkan itu, sayap ini juga terdiri dari otot dan tulang yang sangat kuat. Aku terlalu menyukai sensasi lembut di tanganku saat suara serak itu menembus kesadaranku. “Kalau kau menyentuh di lekuk tempat sayap itu tumbuh, Milady, aku pasti akan bercinta denganmu bahkan sebelum kau sadar apa yang telah kau lakukan.” Aku terjengkang karena kaget. Untung saja posisi berlututku cukup Rendah hingga bokongku terselamatkan dari rasa nyeri. “Kau bangun!” tuduhku begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN