Bab satu

1512 Kata
                                                                                        Avita Valencia                                                                                                 ***     “Mbak Vita, mau lembur lagi?” Pak Erwin dari divisi Marketin, menyapa ke kubel Avita, melihat dengan    jelas berkas yang masih menumpuk di samping layar komputer perempuan itu. Avita menyembulkan kepalanya, agar bisa menatap lawan bicaranya itu, namanya Erwin Nugroho, baru enam bulan bergabung dengan perusahaan penjual alat-alat keamanan kerja, sedangkan Avita sudah empat tahun berada dibagian Admin di perusahaan ini, mungkin perempuan-perempuan seusia Avita memilih untuk melanjutkan pendidikannya, maka Avita tidak, ia memilih untuk bekerja, terlebih sepeninggal Orangtuanya dari dunia fana ini. Hidup Avita dulu terlalu bahagia, Orangtua yang lengkap, Adik yang penurut, pacar yang selalu memprioritaskannya, bergelimang harta, apa pun ia dapatkan dengan mudah, tapi ... semua itu telah hilang di saat bersamaan, sat ia mendapatkan peringkat satu lulusan terbaik di SMA Benua, empat tahun lalu, ia ... ia kehilangan ke dua orang yang amat penting di hidupnya, sekaligus, dalam satu waktu. Flasback. “Enggak apa-apa Mah, Mamah sama Papah pergi saja, kan Avita sudah biasa ditinggal,” kala itu di saat makan malam, Airini meminta izin untuk pergi dengan suaminya, ke Jakarta, mengurus pusat perusahaanya yang berada di Ibukota itu. Airini dan Geano – Orangtua Avita memiliki usaha yang mereka bangun dan impikan sejak mereka masih duduk di bangku kuliah, syukurnya takdir memang menyatukan mereka di atas iqab dan qabul, dan selah itu mereka memutuskan membuat perusahaan mabel, bermodal dari tabungan Geano. Tanpa terduga, di kota besar Jakarta, Geano mampu mengelola usahanya dengan baik, hingga di tahun ke tiga dari awal menikah dengan Airini, mereka memutuskan untuk membangun cabang perusahaanya di Banjarmasin, dikarenakan Orangtua Airini bertempat tinggal di sana, dan sedang sakit keras, di tahun kejayaan itu pula Airini dan Geano mendapatkan satu anugrah lagi, Avita, yang kala itu b Keesokan harinya, seperti biasa, Airini dan Geano berangkat jam empat pagi karena pesawat mereka akan terbang di jam enam pagi, saat Avita terbangun dari tidurnya, Orangtua Drew—pacarnya, yang kebetulan sudah bertetangga dengan Airini, sekaligus menjadi tempat curhat Airini datang ke kamarnya, membuat Avita menautkan alis, karena berkunjung di jam tujuh pagi, jarang sekali kejadian itu terjadi. Saat ucapan Airini yang hanya tiga patah kata itu terdengar, Avika menyadari, seberapa eratnya ia menggenggam ke dua tangan Orangtuanya, cepat atau lambat Avika akan melepaskannya, atau Orangtuanya yang melepaskan tautan tangan mereka itu. “Pesawat, pesawat Orangtua kalian, jatuh.” Sesaat kemudian tak ada lagi yang bisa Avita rasakan, dadanya mulai naik turun, matanya menerawang jauh, Avita tak pernah berpikir keadaan seperti ini akan menimpa hidupnya, pesawat jatuh? Apakah sama artinya dengan Avita merelakan Orangtuanya pergi untuk selama-lamanya? Sejak saat itu Avita merasakan dirinya harus kuat, untuk dirinya, juga saudara laki-lakinya. Flasback off Sebelum menjawab pertanyaan Pak Erwin, Avita melihat beberapa berkasnya lalu melirik jam yang ada di bawah layar kanan monitornya, di sana terlihat angka 17:30, berarti sudah tiga puluh menit Avita melebihkan jam kerjanya. “Em ... mungkin tiga puluh menit lagi, Pak Erwin bagaimana?” sebenarnya Avita cukup canggung untuk berbicara dengan Pak Erwin berdua seperti ini, entah kenapa, atau mungkin karena Pak Erwin terlihat kaku dan itu membuat Avika merasa tidak terlalu nyaman. “Saya sudah mau pulang, Mbak Avita butuh teman?” Perasaan Avita ingin menolak, tapi logika Avita ingin menerima, apa salahnya menolak tawaran Pak Erwin? “Mau saya bikinkan coklat panas?” ulang Pak Erwin lagi, saat Avita tidak menjawab tawarannya untuk menemani perempuan itu. Avita cukup terkejut, tak menyangka, ada teman kantornya yang tahu Avita suka coklat, tidak suka kopi, atau pun teh, tapi sebenarnya hidup Avita cukup bisa ditebak, bahagia di senyumnya, bukan berati bahagia di hatinya. Tapi tak apa, kali ini Avita mencoba menerima dan berteman dengan Pak Erwin, Avita itu termasuk perempuan yang takut dengan laki-laki, terlebih usia Pak Erwin hanya berjarak satu tahun di atas dirinya, Avita takut, takut bila hatinya yang rapuh karena menunggu kepastian dari Drew, sahabat kecilnya, bisa jatuh ke tangan Pak Erwin, dengan mudah. Berselang lima menit saat Pak Erwin masuk ke pantry, Avita mematikan layar komputernya dan membersihkan mejanya, cukup tak enak bila minumannya dibuatkan oleh Pak Erwin, niat hati Avita pun berubah mendadak, dia tidak jadi melanjutkan lemburnya, dan ingin segera pulang saja. “Loh, ikut ke sini juga?” Pak Erwin kembali bertanya saat melihat Avita masuk ke dalam pantry, membuat Avita hanya menanggapi dengan tersenyum. Rambut cepak dengan tinggi badan seratus tujuh puluh lima cm itu membuat Pak Erwin terlihat cukup menarik di mata Avita. Avita yang sudah duduk di meja menyambut minuman dari Pak Erwin. “Mbak Avita, kenapa suka lembur?” tanya Pak Erwin membuka pembicaraan. Senyum Avita terbit, ia pun menatap Pak Erwin lekat-lekat, alasannya ya ... karena Avita sendirian di rumah, Adenium memilih untuk indekos di luar kota untuk melanjutkan pendidikannya, itu semua juga disarankan oleh Avita, Avita ingin Adiknya hidup mandiri, tapi tentu masih dalam pengawasan Avita. “Karena kerjaan banyak,” jawab Avita logis. Avita tertawa kecut dalam hatinya, untuk apa dia datang ke kantor dari jam setengah sembilan pagi hingga lima sore tapi semua pekerjaan itu tak terselesaikan, ia juga bingung, semua pekerjaaan itu selalu bertambah setiap harinya. Pak Erwin menatap jam tangannya, tinggal sepuluh menit lagi, jam akan menunjukan pukul enam sore. Avita juga ikut melirik, sebelum menyesap minumannya yang sisa sedikit ia melirik Pak Erwin yang tengah menatap sekitar, terlihat juga security yang berkeliling di berbagai ruangan, memeriksa satu persatu ruangan, yang Avita lihat dari kaca pentry yang bening. “Mau pulang sekarang?” ajak Pak Erwin. Avita mengangguk, ia juga sudah menenteng tas tangannya, sebelum benar-benar meninggalkan ruangannya ia kembali masuk untuk mengambil laptopnya, pernah kejadian, saat Avita benar-benar dikejar deadline, komputernya mendadak mati, Avita frustasi, hingga rasanya perempuan itu ingin menjedotkan kepalanya ke meja kerjanya. Pak Erwin menekanm tombol lift hingga pintu itu terbuka, lantai tiga di mana meja Avita berada pun sudah gelap karena tidak ada siapa-siapa lagi di sana, sama dengan lantai dasar, pintu luar kaca sudah ditutup semua, menyisakan pintu yang hanya terbuka sedikit untuk akses keluar. Pak Erwin menatap Avita, perempuan itu kini tengah sibuk mencari alat transportasi pulang, “Mending pulang sama saya Mbak,” ajak Pak Erwin akhirnya memberanikan diri. Avita menggeleng kecil, ia sudah menemukan pengendara ojek online, dan lebih parahanya itu adalah Ibu-ibu, Avita tak sanggup untuk membatalkan pesanannya, ia kesian. “Mbak Avita, itu ada yang nungguin,” kata Pak Ali, salah satu security di kantor Avita. Avita tak mengikuti telunjuk tangan Pak Ali, ia sudah tahu ojek pesananya sudah sampai, karena terlihat dari aplikasi di ponselnya. “Iya Pak, terima kasih, Avita duluan Pak Ali, Pak Erwin,” sambungnya lagi. Awalnya Avita cukup bersemangat menenteng tas laptopnya menuju parkiran, sebelum mobil hitam itu masuk ke dalam penglihatan matanya, slavina Avika pun berlomba masuk ke dalam tenggorokannya, tak menyangka dengan apa yang ia lihat sekarang. Drewraka Winata, laki-laki dengan tinggi seratus tujuh puluh cm itu berdiri di depan mobilnya yang berwarma hitam mengkilat, membuat Avita bingung harus memberikan senyuman atau menampilkan raut wajah terkejut. Hubungannya dengan Drew—teman masa kecilnya itu, awalnya baik-baik saja, sebelum Drew mengakui bahwa dirinya mempunyai perempuan idaman lain, yang sekarang setahu Avita berstatus menjadi pacarnya Drew, Drew juga tidak menjelaskan hubungan diantara mereka itu apa, Drew masih memperlakukan Avita bergitu lembut, hingga akhirnya hati Avita begitu terkunci rapat, hanya untuk Drew. Drew menghampiri Avita yang berjalan begitu pelan, tangannya terulur untuk memeluk Avita sekejap, hanya sekejap menempelkkan wajah Avita ke dadanya, lalu laki-laki itu tersenyum sembari mengambil tas laptop Avita, membuat Pak Erwin yang masih berdiri menatap Avita terkejut luar biasa, Pak Erwin menjadi takut untuk mendekati Avita, karena melihat Avita yang begitu dekat dengan laki-laki itu. Avita memang perempuan yang tertutup dengan masalah pribadinya, membuat Pak Erwin maju-mundur dalam mendekati perempuan itu, tapi nyatanya sore ini, Pak Erwin menemukan jawaban yang sesungguhnya, untuk niatnya mendekati perempuan itu. “Dengan Mbak Avita?” sesaat Avita sampai di motor ojek online di samping motor Drew itu, ia mengeluarkan uang dua puluh ribuan satu lembar, berniat untuk membayar ongkos yang sebenarnya hanya sepuluh ribu, dan mengatakan aplikasinya difinish saja, karena ternyata Avita sudah dijemput. Avita menatap mobil hitam itu, ia lupa kapan terakhir menaikinya, yang pasti sudah cukup lama, karena Drew tengah penelitian di luar kota, membuat jadwal pertemuan Avita dan Drew terganggu. Saat masuk ke dalam mobil Drew, Avita disambut dengan senyum manis dari Drew, salah satu mengapa Avita menyukai Drew iya itu, karena senyumnya. “Sudah lama nggak ketemu, aku kangen,” tiba-tiba saja Drew menarik tubuh Avita, membuat Avita tak kuasa untuk menahan lingkaran tangannya di tubuh Drew. Sama ... Avita juga begitu rindu dengan Drew, kecupan manis di bibirnya yang berwarna merah karena pemerah bibir membuat Avita menyadari, di depannya benar-benar Drew. “Kamu ya!” Avita memukul lengan Drew yang mulai memegang stir, membuat Drew tak kuasa menahan tawanya. Entah kenapa, dari dulu bibir itu menjadi tempat kesukaan Drew, bibir Avita tidak besar, tidak juga kecil, saat dipandang membuat Drew selalu ingin mengecupnya, lagi dan lagi. “Mau makan dulu nggak sebelum pulang?” tawar Drew sesaat mobilnya sudah mulai menjauh dari tempat kerja Avita, tangan laki-laki itu tiba-tiba jatuh di tangan Avita membuat Avita dengan cepat menggeleng. “Aku kangen kamu,” ucapan dari Drew itu memecah keadaan seluruh isi mobil Drew, juga memecah keadaan d**a Avita. Avita tiba-tiba saja ingin membahas tentang Salsa, pacar Drew, tapi mengingat perempuan itu saja membuat Avita merasakan ada letupan-letupan yang membuat hatinya menjadi remuk, sakit memang, tapi mau bagaimana lagi, ia sudah terjebak dalam hubungan ini, ia bahkan selalu rela dicium oleh Drew, tidak pantas, memang. Akhirnya mobil Drew masuk ke dalam bagasi rumahnya, sedangkan Avita dengan cepat keluar untuk menuju rumah sebelah, di mana rumahnya berada.                                                                                             ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN