Drewraka Winata
***
Rumah yang besar ini terlihat sangat sepi, tidak terlihat, tapi memang terasa sepi, rumah besar ini adalah salah satu harta yang ditinggalkan oleh Orangtua Avita, juga perusahaan mabel yang tersebar di beberapa kota di Indonesia, tapi Avita menolak untuk mengurus itu semua, ia masih merasa tidak pantas dengan itu semua, tapi selama itu juga Avita tidak mengambil pendidikan untuk menunjang hidupnya nanti, ia memilih terjun langsung ke lapangan dengan bekerja sebagai salah satu Admin di perusahaan alat-alat keamanan kerja.
Ibu Siti keluar dari dapur, Ibu Siti adalah asisten rumah tangga Avita, suaminya juga bekerja sebagai security di rumah Avita, semenjak Orangtua Avita berada di Banjarmasin, Ibu Siti dan Pak Maman lah menjadi anak buah paling setia, dulu, saat rumah Avita masih ramai dengan manusia-manusia, Ibu Siti bekerja full, dari pagi hingga sore, tapi sekarang karena hanya ada Avita di sini Ibu Siti diberikan kebebasan untuk bekerja hanya tiga hari dalam satu minggu, hanya bekerja mulai jam dua siang sampai jam tujuh malam, pekerjaanya pun yang penting memasakan makanan untuk Avita.
Avita menarik sudut bibirnya, matanya menerawang melihat anak kecil yang berlari menjauhi adiknya yang permennya sudah direbut, hingga laki-laki berusia lima tahun itu ikut mengejarnya.
Itu kejadian dulu, saat Avita msaih berumur tujuh tahun, semuanya benar-benar terasa sangat indah, kala itu.
Sentuhan yang mendarat sempurna di pipi putih Avita membuat Avita menyadari dirinya tak lagi di dunia yang indah itu, semuanya sudah lama berlari dari hidupnya, meninggalkan Avita yang kini harus berdiri sendiri.
“Kenapa?”
“Kangen,” jawab Avita masih dengan senyuman di wajahnya.
Drew yang tengah berjalan memutar ingin duduk di samping Avita pun merendahkan alisnya, mimik mukanya ikut bersedih dengan apa yang ia lihat sekarang.
Waktu itu, saat ia ingin pergi jalan-jalan pagi, ia mendapatkan kabar yang membuat dirinya merasa terbang, tidak berpijak di bumi lagi, bukan terbang bersama kebahagiaan, tapi terbang dengan luka.
“Orangtua Avita, menaiki pesawat yang kabar terakhirnya, jatuh.”
Saat itu bukan hanya Avita yang merasakan nyawanya lepas dari tempatnya, tapi juga Drew, Drew menyadari, Avita kini tak lagi punya pijakan.
Kaos hitam Drew yang tengah ia pakai sehabis mandi tadi sekarang berubah menjadi basah dengan tangan yang melingkar di tubuhnya, tempat ternyaman Avita kini adalah d**a Drew, Avita, Avita kembali menumpahkan tangisnya.
Empat tahun sudah berlalu, tapi rasa itu masih saja terasa sangat-sangat sakit. Hanya Drew lah tempat Avita mengadu setelah dunia terasa tak mau menerima Avita lagi.
“Avita hey, sudah dong,” tidak ada kata penenang yang bisa Drew katakan, tak ada janji yang bisa Drew ucapkan, hanya kalimat untuk segera berhenti yang bisa Drew katakan.
“Kenapa semuanya pergi Drew? Kamu juga kan? Kamu bakal sama Salsa?” akhirnya pertanyaan itu juga lolos dari mulu Avita yang selama ini hanya diam tak mau mengatakannya, akhirnya Avita mengungkapkan satu hal yang ia yakin akan terjadi selama ini, Avita selama ini, hanya menyangkal bahwa Drew seumur hidupnya akan bersamanya, tapi saat beberapa bulan yang lalu, saat Drew baru saja mengatakan ia mencintai Salsa dengan serius dan ingin membawa hubungan ini ke jenjang yang serius. Avita menyadari, bahwa, Drew tempatnya pulang, bukan lagi benar-benar aka nada untuknya, tidak lagi.
“Enggak sayang, aku nggak bakal sama dia, aku, aku janji akan sama kamu,” ucapan Drew diakhir dengan menyatunya bibir Drew dan Avita, Drew terlalu mencintai Avita, seumur hidupnya ia tak bisa membayangkan saat berpisah dengan Avita, Avita jantung hatinya, Avita kehidupannya, bahkan melihat Avita yang sendiri seperti ini membuat Drew merasa ia harus ada di samping Avita, seumur hidupnya.
“Kamu ke kamar ya, nanti aku bawain makanan, kamu mandi dulu gih,” kini, setelah bibir yang mengucap janji dalam ciuman itu terlepas, Drew menatap Avita dan menyuruh perempuan itu untuk segera bebersih, Drew juga tak mau kalau Avita terlalu larut dalam kesedihannya.
Mau tak mau, suka tak suka Avita harus menjalaninya, dengan sekuat tenaga, masalah hubungannya dengan Salsa serta Avita, Drew belum bisa mengambil keputusan yang mampu membuatnya yakin.
Di satu sisi Drew membutuhkan Avita untuk tertap menjadi oksigennya, sama seperti Salsa, Salsa adalah tujuannya untuk tetap hidup, tujuannya untuk tetap bersemangat menjalani hidup.
Terkadang Drew juga merasa sangat membenci dirinya, Drew belum bisa menjadi yang terbaik untuk Avita, juga hidupnya.
Sambil terus menghitung kesalahannya, Drew menyiapkan makan malam untuk Avita – yang sudah tersedia di meja makan karena Ibu Siti.
Nasi putih, ayam goreng, tahu, juga saus pedas, Avita menyukai ayam, sangat-sangat menyukainya, hingga rata-rata lauk yang ada di meja rumah Avita adalah ayam.
Saat masuk ke dalam kamar yang paling besar di rumah ini – bekas kamar Orangtua Avita, Drew kembali menatap Avita yang hanya duduk di ujung kasurnya, ia tengah berbicara dengan seseorang melalui panggilan video call.
“Baik-baik di sana Dek.” Avita terlihat mengembangkan senyumnya, saat ponsel itu kembali menampilkan wellpaper Avita, Drew baru mendekati Avita, laki-laki itu menaruh makan malam Avita di atas nakas, lalu menyerang Avita, membuat perempuan itu telantang di atas tidurnya.
“Kangen banget, mau meluk terus,” suara Drew berubah menjadi lebih manja, membuat Avita tetrawa kecil, Drew hanya bercanda, ia hanya ingin Avita tak lagi memikirkan beban hidupnya, harusnya Avita sadar, ia bisa membagi semuanya kepada Drew, ia bisa membagi semuanya kepada Orangtua Drew, yang kini sudah menganggap Avita sebagai anaknya.
Kepala Avita mengarah ke arah kiri, menatap jendelanya yang masih tak tertutupi gorden, langit yang hampir malam menyambut Avita dan Drew yang kini tengah menatap keluar jendela.
Garis berwana jingga membuat suasana semakin terasa romantis, lingkaran tangan di tubuh Avita pun membuat semuanya terasa sempurna, terlebih, bisikan dari Drew membuat semuanya semakin terasa sempurna. “kalau ada apa-apa jangan ditanggung sendiri, bagi ke aku, ya sayang.”
***