"Sudah tak apa-apa, Nak. Ini pelajaran buat ibu. Ibu jadi sadar, selama ini ibu dah bersikap buruk pada kalian, terutama padamu, Li. Ibu minta maaf ya, Nak. Ibu janji akan berubah lebih baik lagi. Ayo pulang Nak, di rumah sepi tanpa kalian."
Lili terdiam, ia merasa enggan untuk menjawab.
"Zam, Lili, ayo kita pulang, Nak ..." ajak ibu lagi.
"Oh, ada tamu. Kenapa gak masuk dulu?" sela Bang Panji.
Ia turun dari boncengan motor Raffa.
"Panji, aku pulang duluan."
"Okey"
Motor Raffa menjauh dari halaman. Pria itu mungkin sungkan karena ada keluargaku. Biasanya mereka--Bang Panji dan Raffa usai pulang kerja, akan berdiskusi hingga malam.
Sebenarnya aku kesal, kedatangan ibu malah membuat kecanggungan baru diantara kami. Padahal sebentar lagi, Lili bisa luluh padaku. Tapi sekarang? Aaarggghh kacau!
Tapi jujur, aku mengapresiasi keberanian ibu yang mau minta maaf dan mengakui kesalahan ibu. Cuma aku tak mengerti, apakah ibu benar-benar tulus meminta maaf?
"Kalian mau sampai kapan tinggal disini merepotkan abangmu?" tanya ibu. Nada bicaranya sungguh lembut.
"Tidak merepotkan kok, ini juga masih rumah Lili," sela Bang Panji.
Lili hanya menunduk. Sedangkan Bang Panji masuk ke dalam, tak lama keluar lagi sembari membawa minuman. Laki-laki itu memang tak segan-segan melakukan pekerjaan wanita.
"Silahkan diminum dulu tehnya," tawar Bang Panji.
Aku menggenggam tangan Lili yang tampak bergetar. Dia menoleh ke arahku. Aku tersenyum. Kucium punggung tangannya. Ia menariknya, mungkin malu karena dilihat ibu dan juga Icha.
"Gimana Nak, ayo kita pulang!" rajuk ibuku lagi.
"Maaf Bu, sepertinya aku ingin disini saja dulu. Mas Azzam saja yang pulang."
"Lho kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku ingin disini dulu, nanti kalau sudah sembuh, insyaallah aku pulang. Mas Azzam saja yang pulang sana, kasihan ibu Mas."
Aku menggeleng. "Maaf ya Bu, aku juga akan disini untuk sementara waktu. Sampai Lili mau pulang bersamaku."
Ibu tampak kecewa dengan penolakanku. Tapi akhirnya mereka pulang juga.
"Kenapa kamu gak mau diajak pulang sama ibu, Dek?"
"Silahkan mas saja yang pulang, aku masih ingin disini."
"Jangan memaksakan kehendak kalau Lili gak mau pulang. Dia masih butuh ketenangan, kamu paham?"
Aku mengangguk mendengar ucapan Bang Panji.
*
Satu minggu berlalu, kami masih tinggal di tempat Bang Panji. Meskipun lagi-lagi ibu dan Icha menelepon agar kami segera pulang, tapi Lili masih enggan. Entahlah apa yang dipikirkannya.
Pagi-pagi sekali kulihat Lili udah rapi. Wajahnya tampak cantik berseri. Tak biasanya dia memoles wajahnya dengan make-up tipis-tipis. Belum lagi pashmina instan yang menghias kepalanya, menjadi semakin cantik walaupun memakai gamis yang sederhana. Sepertinya kondisinya makin membaik tak seperti saat di rumahku dulu. Selalu diam dan murung.
"Kamu mau kemana, Dek?" tanyaku heran, pasalnya dia tak meminta izin padaku untuk pergi.
"Diajak Bang Panji ke proyek. Lihat-lihat pemandangan disana."
"Mau lihat apa di proyek? Paling yang ada cuma alat-alat berat sama pekerja bangunan?"
"Enak saja, disana juga pemandangannya bagus. Dari pada disini sumpek liatin mukanya anak mami yang masam!" celetuk Bang Panji ikut menimpali.
"Ya dari pada di rumah terus, bosan, jadi kepikiran bayiku. Lagian suamiku juga gak peka, gak pernah ngajakin jalan-jalan," sahut Lili menyindirku.
"Kamu mau jalan-jalan, dek? Kalau mau jalan-jalan harusnya bilang dong, jadi mas bisa mengajakmu."
Lili tersenyum simpul. "Aku hanya pergi sama kakakku dulu, apa Mas gak ngizinin? Aku juga gak pernah larang mas pergi kemanapun kan?"
Aku terdiam. Emang sih selama ini aku tak pernah mengajaknya pergi kemanapun. Aku sudah mengekang kebebasannya. Aku yang egois hanya ingin dia menjadi istri penurut tapi ternyata aku salah, telah mengambil kebahagiaannya.
Di proyek Lili pasti akan bertemu dengan Raffa. Walaupun mereka tak ada hubungan apa-apa selain teman, tapi aku merasa tatapan Raffa pada istriku itu berbeda. Seperti orang yang memendam perasaan suka padanya. Hah! Kalau seperti ini aku jadi makin kepikiran.
Bang Panji dan Lili pergi menggunakan motornya. Secepat kilat, mereka hilang dari pandangan.
*
Hari ini, ibu dan Icha datang lagi. Sudah ketiga kalinya ibu merajuk agar aku dan Lili kembali pulang ke rumah.
"Zam, Lili, ayo kita pulang, Nak ..." ajak ibu dengan mata yang berkaca-kaca.
Benarkah ibu sudah berubah?
"Baiklah, aku akan pulang," sahut Lili dengan mantap.
Aku tersenyum sumringah. Tak kusangka Lili akan setuju dengan ajakan ibu kali ini.
"Tapi dengan satu syarat--" ucapan Lili mengambang di udara.
"Apa itu?" tanyaku.
"Aku ingin kamu menuruti semua permintaanku, Mas."
"Ya, pasti sayang. Apapun yang kau mau, aku akan menurutinya," jawabku dengan mantap.
Baiklah, aku harus menyetujui semua permintaan Lili. Agar ia kembali percaya padaku. Aku tak ingin kehilangannya. Aku benar-benar mencintainya.
"Baik, kalau begitu aku berkemas dulu, Mas."
Aku mengangguk. Akhirnya setelah sekian hari, ia mau pulang lagi ke rumah.
"Bang, aku pamit mau pulang dulu ya. Terima kasih selama ini sudah membantuku. Aku akan mengikuti saran dari Abang," pamit Lili pada kakaknya.
"Iya. Hati-hati ya Li, kalau ada apa-apa hubungi abangmu ini."
"Beres, Bang."
Aku tersenyum melihat keakraban kakak dan adik itu. Bang Panji terlihat sangat menyayangi adiknya. Mungkin persetujuan Lili pun karena saran dari Bang Panji.
"Bang, terima kasih ya untuk semuanya. Kami pulang dulu," kini giliranku pamit dengan Bang Panji.
"Iya. Aku beri kamu satu kesempatan lagi, kalau lagi-lagi kamu menyakiti hati Lili. Aku tak segan-segan menghancurkanmu dan keluargamu yang benalu itu. Camkan ini baik-baik!" bisiknya di telingaku penuh dengan intimidasi. Aku sampai begidik ngeri saat mendengarnya.
"Ba-baik, Bang," sahutku gugup.
Ibu dan Icha masih menunggu kami di teras halaman.
"Mas, kok lama banget sih cuma pamitan doang!" celetuk Icha dengan nada kesal. Wajahnya ditekuk cemberut.
"Ya elah Cha, cuma lima belas menit doang dibilang lama."
Lili hanya tersenyum, kemudian melenggang menuju mobil. Ia duduk di depan, di sampingku.
"Mbak, itu kan biasanya tempat dudukku, kok jadi mbak sih yang duduk disana!" tegur Icha tak suka.
Ya memang biasanya kalau bepergian Icha selalu duduk di sampingku, dia menyerobotnya langsung, katanya ingin melihat pemandangan di depan.
"Kenapa? Apa ada masalah? Icha, aku ini istrinya Mas Azzam, sudah sepatutnya aku yang berada di depan dan di sampingnya. Benar kan, Mas?"
Aku mengangguk. "Benar Cha, kamu duduk saja di belakang sama ibu. Toh sama aja."
Icha cemberut dan berdecak kesal mendengar sahutanku. Ah dasar gadis ini!
*
Sampai di rumah.
"Mas, aku mau kamar kita pindah lagi di kamar utama. Di belakang sumpek. Gimana, Mas?" pinta Lili.
Raut wajah ibu tampak berubah tak suka mendengar ucapan Lili.
"Tapi, itu kan udah jadi kamar ibu--" sahutku bingung.
"Ya sudah, kalau gitu kita pindah aja di kamar tamu, diberesin lagi buat kamar kita berdua. Biar Icha yang di kamar belakang, gimana?" usul Lili lagi.
"Tapi mas, di kamar belakang kan sumpek masa aku harus tidur di kamar pembantu sih!" Icha menyatakan keberatannya.
"Cha, kamu kan masih sendiri, jadi masih leluasa tidur di belakang. Lagi pula gak terlalu sempit lho, ruangannya kan 3 x 3 meter!" sahut Lili lagi.
"Iya Cha, lagian kamu disuruh pulang juga gak mau kan," imbuhku.
Icha makin cemberut. Tapi ibu memberi kode agar Icha mau menuruti kami.
"Tolong nanti beresin ya barang-barangmu, pindah ke belakang!" pintaku lagi.
Icha mengangguk lesu.
Setelah beres-beres memindahkan barang hingga semuanya rapi, akhirnya kelar juga. Kamar tamu ini akhirnya disulap jadi kamar kami. Disini memang lebih luas dan tidak pengap.
"Terima kasih ya, Mas," ucap Lili tersenyum sambil memegang tanganku, membuatku berdebar saja.
Kamipun keluar dari kamar, Lili tampak manja padaku, ia bergelayut dan memeluk pinggangku dengan erat. Di ruang tengah ibu tampak duduk, sepertinya juga lelah karena membantu Icha membereskan barang.
"Li, tolong masakin makan malam ya buat kami. Ibu lapar, tapi ibu capek sekali habis bantuin Icha," pinta Ibu.
Aku tercengang mendengarnya, ibu kok kembali seperti semula?
"Maaf Bu, gak bisa. Aku juga capek habis beres-beres. Kenapa ibu gak nyuruh Icha aja? Oh iya, asal ibu tahu ya, aku mau kembali pulang kesini bukan untuk jadi babu, melainkan jadi ratu."