16- "Sedang menunggu Mbak Tari"

1095 Kata
Tari beranjak dari duduknya. Ia memandang seorang pemuda yang tengah duduk di deretan kursi tunggu sambil memainkan ponselnya. Tari memutar bola matanya. Bahkan nasabah yang lain sudah selesai urusannya, dan akan kembali ke bank setelah jam makan siang. Namun pemuda bernama Akbar itu masih betah berada di banknya. Akbar pasti sengaja menunggu Tari agar gadis itu tidak bisa kabur kemana-mana. Pemuda itu tidak memikirkan pandangan orang-orang yang melintasinya. Bahkan saat ditanya oleh Pak Dirman, Akbar akan dengan spontan menjawab dengan kalimat, "Sedang menunggu Mbak Tari." Semenyebalkan itu!   "Itu siapa, Tar?" Gita langsung mendekati Tari. Ia menanyakan hal yang sejak tadi mengganjal di benaknya. "Kayaknya kalian kenal."   Tari menoleh pada Gita. Gadis itu mengedik bahu. "Cuma seseorang dari masa lalu. Gak penting," selorohnya sambil mengibaskan tangannya. Lalu ia tersenyum. "Aku kesana ya."   "Loh, gak pesan delivery?" Gita mencegat lengan Tari. Sebenarnya ia masih penasaran dengan pemuda itu. Jadi ia sengaja ingin bertanya lebih lanjut pada Tari. Iya. Mulai sekarang ia tidak akan menahan dirinya untuk menanyakan hal pribadi sekalipun pada Tari. "Kamu mau makan siang sama dia?" tanyanya lagi.   Tari mengerjap. Ia mengulum bibirnya. "Aku mau nagih utang sama dia. Makan siang." Setelah itu, Tari tidak menunggu Gita membalas ucapannya lagi. Dengan cepat ia berjalan menuju Akbar yang masih sibuk dengan ponselnya. Saat berada sekitar lima langkah dari Akbar, pemuda itu mendongak. Lalu menatap Tari lurus-lurus. Memperhatikan langkah kaki gadis itu.   "Tari ... makin cantik," batin Akbar. Pemuda itu tersenyum.   "Tunggu sini sebentar, ya. Aku mau ganti sepatu," katanya dengan nada jutek. Tari bahkan berkata tanpa ekspresi apapun. Datar. Dan setelah mengatakan kalimat itu, belum menunggu balasan dari Akbar, Tari sudah membalik badan dan berjalan menjauhi Akbar. Gadis itu menuju pintu yang terhubung dengan lorong ruang back office.   Akbar lagi-lagi tersenyum. Ia masih tersenyum saat kembali memainkan ponselnya sampai Tari kembali mendatanginya. Rasanya tidak sabar untuk mengobrol kembali dengan mantan pacarnya itu. Hal berharga yang datangnya sudah lama sekali. Dan tidak akan pernah ia sia-siakan.     °°°°   Kafe bernuansa cozy menyapa mereka berdua. Kafe ini adalah kafe yang berada tepat di sebrang bank tempat Tari bekerja. Jadi mereka tidak perlu repot-repot berkendara jauh. Toh, jaraknya hanya dua puluh meter. Mereka hanya perlu berjalan kaki.   Akbar mengajak Tari duduk di sudut kafe. Tepatnya di meja yang dekat dengan jendela kaca. Membuat mereka bisa melihat pemandangan jalanan di luar, begitupun sebaliknya. Begitu waiters datang, Akbar langsung membuka buku menu dan menatap Tari dengan senyum melekuk hingga menampilkan lesung pipinya. "Mau pesan apa?" tanyanya. Ia tersenyum lebar.   Tari yang sejak tadi hanya memainkan ponselnya kini mendongak. Ia menatap Akbar sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya. Dengan nada jutek ia kembali berkata, "Terserah."   Akbar terkekeh. Lalu mulai membacakan menunya. "Aku pesan kesukaan kamu aja, ya," katanya. Akbar lalu menatap waiters di sampingnya. "Pesan chicken rice bowl dua, sama milk tea dua ya, mbak. Makasih." Akbar tersenyum, membuat waiters itu merona merah. Saking terpesonanya dengan wajah ganteng Akbar. Bahkan saat membacakan ulang menunya, waiters itu tergagap.   Tari mengangkat kepalanya menatap tingkah Akbar dan waiters itu. Ia menggelengkan kepalanya. Akbar masih seperti dulu, yang suka tebar pesona. Menjengkelkan sekali dengan wajah itu ia bisa dengan mudahnya menggait wanita manapun. Tari menatapnya penuh kebencian. Lalu ia mengerjapkan matanya saat Akbar menangkap basah dirinya yang tengah menatap Akbar. Pemuda itu terkekeh. "Kenapa? Kamu pasti dalam hati bilang kalau aku lagi tebar pesona, kan?" terkanya. Dan terkaannya sangat tepat. Nyatanya Tari memang sedang mengatakan itu padanya, ralat, dalam hati maksudnya.   Tari hanya terdiam tidak merespon kalimat itu. Membuat Akbar mengucapkan kalimat lagi. "Bukan salahku kalau aku lahir dengan wajah ganteng seperti ini."   Tari hampir mual mendengar kalimat narsis dari pemuda itu. Ia menutup matanya sekilas. "Langsung aja. Jangan lama-lama. Gak usah basa-basi," sarkas Tari membuka matanya. Lalu menatap Akbar dengan sebal. "Waktu makan siang gak panjang."   Akbar tersenyum. Sayangnya senyum itu sudah kebal untuk Tari. Ia tidak akan terpikat lagi. Tidak untuk kedua kalinya. "Santai dulu aja, Tari," kata Akbar sembari memasang wajah mengejek. "Aku cuma ingin ngobrol lagi dengan kamu. Udah lama kan kita gak ketemu. Sekitar hampir tahun kan?" Pemuda itu terkekeh di akhir kalimatnya.   Tari bersidekap. "Kalau gak ada yang penting, lebih baik aku kembali ke kantor. Lebih baik aku mengerjakan data yang menumpuk di sana, daripada harus dengerin celotehan kamu yang gak penting," geramnya. Tari hendak beranjak dari kursinya namun berhasil dicegah Akbar. Akbar menyentuh tangannya.   "Eh-eh. Kamu udah janji mau makan siang denganku, kan?" Akbar mendongak. Memprotes Tari yang hendak kabur lagi. "Oke, aku gak akan lama-lama. Seenggaknya aku cuma ingin traktir kamu makan kali ini aja."   Tari menatap Akbar yang memandangnya dengan tatapan memohon. Akbar pastilah tahu kalau Tari ini orangnya gak tegaan. Maka dari itu ia membuat Tari tidak tega untuk meninggalkannya sendirian. Tari menghela napasnya. "Oke. Lima menit. Kita tunggu sampai makanannya dateng."   Ucapan Tari membuat Akbar kegirangan. Ia mengangguk-angguk antusias. "Oke." Lalu Akbar melepas genggaman tangannya pada tangan Tari.   Tari duduk kembali dan langsung menyilangkan kakinya, menatap sebal Akbar. "Lima menit dimulai."   Akbar terkekeh. Lalu ia mulai membuka suara. "Apa kamu masih marah denganku karena aku yang mutusin kamu empat tahun lalu?" tanya Akbar to the point. Jika memang Tari memintanya tidak berbasa-basi, maka akan Akbar lakukan.   Tari mendongak. Ia masih menunggu kelanjutan kalimat Akbar.   "Kalau kamu udah gak marah lagi denganku, terus kenapa kamu masih putusin silaturahmi kita? Kamu tahu sendiri hukumnya memutuskan tali silaturahmi itu apa, kan."   Tari berdecih menatap Akbar. "Kamu bayangin aja perlakuan kamu ke aku, Bar."   Akbar terkekeh sumbang. "Aku gak nyangka, Tari. Hanya karena satu kesalahan yang kuperbuat, kamu lupakan semua kebaikan yang kuberikan untukmu. Apa ini adil?" tanyanya. Ia kini memandang Tari dengan serius.   Gantian Tari yang tertawa. "Kebaikan? Kamu tahu sendiri kalau dulu kamu hanya sering memberiku luka." Tari menatapnya dengan sorot tajam. "Kamu bilang sekarang kalau ini gak adil, Bar? Dulu aku yang sering berkorban untukmu. Baik waktu, tenaga, perasaan. Sejak dulu kamu selalu egois. Memikirkan dirimu sendiri."   Akbar tersentak mendengar kalimat Tari. Ia tidak menyangka Tari akan menyampaikan kalimat itu. Kalimat yang sama dengan yang diucapkan gadis itu empat tahun lalu.   "Kenapa diam? Benar, kan? Kamu pantas mendapatkan hal itu, Bar." Tari menyambung kalimatnya.   "Aku tahu itu kesalahanku. Tapi ... dulu aku juga sudah berusaha keras untuk memenuhi semua keinginan kamu, Tari. Aku juga udah minta maaf. Bahkan saat aku mutusin kamu, aku udah minta maaf. Tapi kamu masih marah sampai memblokir kontakku." d**a Akbar naik turun. Ia tidak terima dituduh begitu.   "Niatku hanya ingin berteman dan menjalin tali silaturahmi lagi denganmu. Tapi kamu selalu menghindar dan bersembunyi," sambung Akbar. Ia menatap ekspresi wajah Tari. Gadis itu masih memandangnya sebal. Rahangnya tampak mengeras. Akbar sengaja ingin melihat ekspresi Tari selanjutnya saat ia berujar, "Atau jangan-jangan ... kamu masih menaruh rasa padaku?"   Dan benar saja. Tari terkejut seketika.     °°°°        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN