"Kalau bantu mendirikan rumah tangga berdua bisa gak, mbak?"
Akbar tertawa lebar setelah mengucapkan kalimat pertanyaan candaan itu.
Orang-orang di sekitar bilik Tari dapat mendengar dengan jelas pertanyaan konyol Akbar itu. Sungguh membuatnya malu. Tari memelototinya.
"Sinting!"
Tari memutar bola matanya jengah. Ia mengetukkan pulpennya ke atas meja membuat tawa Akbar terhenti. "Berhenti main-main, Bar. Kalau gak ada kepentingan di sini, lebih baik kamu keluar." Tari mendelik sembari membisikkan kalimat itu. Ia tidak mungkin kan mengatakan kalimat itu dengan nada biasanya, karena orang-orang akan memandangnya aneh. Tari juga tidak mungkin membuatnya kehilangan poin di penilaian pelayanan dari Pak Fero hanya karena ulah usil Akbar.
"Wah, apa begini sikap seorang Customer Service ke nasabahnya?" Akbar memprotesnya. Ia ikut berbisik lirih. "Gak seharusnya kamu ngusir nasabah kamu."
Tari bersidekap sambil mengendalikan amarahnya. Ia tersenyum lebar ke arah Akbar saat Pak Fero melewati mejanya lagi. Berikutnya Tari melunturkan senyumnya. "Nasabah? Sejak kapan kamu jadi nasabah di sini?" Tari memandang Akbar dengan remeh. "Dua tahun aku kerja di sini gak pernah tuh ada kamu kesini." Ia memandangnya dengan sinis.
Akbar mengerjapkan matanya. "Mulai hari ini aku jadi nasabah di sini," katanya terbata. "Aku mau buka rekening."
Tari menghela napas kasar sembari memutar bola matanya. "Dasar," gerutunya. Dengan gerakan malas ia menyerahkan formulir pembukaan rekening ke hadapan Akbar. Ia menghela napas lagi sebelum berujar, "Silakan ini diisi ya, Pak Akbar. Isi yang hanya dicentang saja." Ia menekankan kalimatnya saat mengucap kata 'Pak'. Tari menunjuk-nunjuk kolom baris yang terdapat tanda centang sebagai penanda.
Akbar menggelengkan kepalanya sembari terkekeh. "Dih," katanya. Pemuda itu mengisi formulir itu dengan pelan. Namun baru beberapa kolom yang ia isi, Akbar mengangkat kepalanya untuk menatap Tari. Gadis itu tengah mengetikkan sesuatu di komputer.
Tari benar-benar sudah berubah menjadi wanita karir sekarang. Gadis itu semakin cantik semenjak terakhir kali mereka bertemu tiga tahun yang lalu. Tari dulu sudah cantik, namun kini kian cantik karena ia menambahkan make-up di wajahnya. Tidak senatural dandanannya dulu saat menjadi mahasiswi. Akbar memperhatikan Tari tanpa berkedip.
"Boleh pinjam identitas dirinya?"
Tari bertanya tiba-tiba. Hal itu menginterupsi kegiatan Akbar yang sedang memandangi Tari. Akbar mengerjap lalu berdehem kecil.
Dengan gemetar ia mengambil dompet dari saku celananya dan mengeluarkan KTP dari sana. Namun tentu saja Tari tidak memperhatikan perbuatan Akbar itu.
"Ini," ucap Akbar seraya menyerahkan KTP-nya.
Tari memandangnya sekilas saat mengambil kartu itu, kemudian langsung mengalihkan tatapannya lagi. Ia mengetikkan identitas Akbar ke dalam aplikasi pembukaan rekening di komputernya. "Kalau ada yang bingung bisa ditanyakan."
Akbar memandang Tari sejak gadis itu tadi menoleh ke arahnya sekilas. Dan kini ia masih memandangi Tari. Akbar menggelengkan kepalanya. Kemudian tidak sengaja ia mendapati benda di sudut ruangan Tari yang mencuri perhatiannya. Sebuah buket bunga besar berwarna dominan merah muda.
Pemuda itu tersenyum. "Akhirnya bunganya kamu terima. Melihat kamu masih simpan bunga itu, artinya kamu suka, kan?" tanyanya basa-basi sambil kembali mengisi formulir. Ia menunduk masih tersenyum. "Buket bunganya cantik kan?"
Tari menghentikkan gerakan jarinya. Ia menatap ke sudut biliknya, tepatnya menatap buket bunga itu. Kemudian Tari beralih menatap Akbar. Ia mengerutkan keningnya. Jadi Akbar yang mengirim buket bunga itu untuknya?
"Kamu yang kirim buket bunga itu?" tanyanya.
Akbar menghentikkan coretan penanya. Ia mendongak. "Iya." Pemuda itu tersenyum. "Bukannya kamu masih simpan bunga itu karena kamu tahu pengirimnya itu aku?" tanyanya dengan percaya diri.
Tari menatap Akbar tidak percaya. Ia menganga. Kemudian ia memutar bola matanya lagi. "Kalau tahu bunga itu dari kamu, udah kubuang sejak kemarin. Bikin sesak bilikku." Tari menggelengkan kepalanya lalu menatap komputer kembali.
Akbar tersenyum miring. "Wah, kamu udah pintar jual mahal ya, Tari. Terakhir kali padahal kamu minta untuk aku belikan bunga mawar. Dan itu-" Akbar menunjuk buket bunga itu. "-sudah kubelikan."
Tari menggelengkan kepalanya. "Terserah." Ia mengetikkan kelanjutan identitas Akbar. Sengaja mengabaikan ucapan Akbar.
Tari menatap formulir Akbar, lalu mengambilnya dengan kasar. "Udah, kan?" Ia menyalin isi formulir itu ke komputer.
Melihat sikap Tari yang jutek dan judes padanya, Akbar melipat tangannya di depan d**a. Ia menggelengkan kepalanya dan tersenyum miring. "Kamu benar-benar udah berubah ya, Tari. Kemana Tari yang dulu bersikap manis dan polos itu?"
Tari terkekeh masih menatap monitor. "Tari yang dulu bukan yang sekarang."
"Oh, ya? Kek lagu aja." Akbar terkekeh. Ia makin memasukkan tangannya ke lipatan sikunya. "Kenapa kamu jadi judes banget sih? Apa kamu masih dendam karena dulu aku mutusin kamu?"
Ctak!
Gerakan jari Tari terhenti. Ia menyerahkan identitas Akbar itu sekaligus menyerahkan buku tabungan baru pada pemuda itu. "Jangan sembarangan ya kalau bicara!" Ia mendesis, matanya memancarkan tatapan benci. Sedetik kemudian Tari mengubah air mukanya dan tersenyum manis. "Silakan untuk saldo awalnya sebesar seratus ribu rupiah bisa langsung disetorkan ke Teller, ya, Pak Akbar. Setelah itu bapak bisa kembali kesini lagi, dan akan saya beri kartu ATM."
Ia tersenyum bangga karena berhasil mengucapkan kalimat itu dengan lancar. Membuat Akbar kehabisan kata-kata.
Pemuda itu beranjak lalu mengambil buku tabungan yang diserahkan Tari. Akbar berjalan menuju ke tempat Teller. Tari menghembuskan napas kasar. Akbar benar-benar menyebalkan. Dengan seenaknya mengucapkan kalimat-kalimat itu tanpa rasa berdosa sedikitpun.
Akbar kembali ke kursi di depannya dalam waktu lima menit. Tari bergegas memberinya kartu ATM dan alat penyimpan pin. "Silakan bisa masukkan kode pinnya."
Perintah Tari langsung diturutinya. Akbar menekan tombol-tombol itu dengan kesal. "Aku rasa pernah bilang kalau kita gak boleh memutuskan tali silaturahmi kepada mantan sekalipun."
Tari mengabaikannya. Ia mengulum bibirnya dan menekan tombol lagi. "Silakan masukkan pinnya sekali lagi."
Akbar menurutinya. Dengan cepat ia ketikkan nomor di alat itu. "Kenapa kamu putuskan tali silaturahmi itu, Tari?"
Tari menarik alat itu dengan cepat. Ia mengabaikan lagi ucapan Akbar. Gadis itu menyerahkan kartu ATM pada Akbar. "Silakan disimpan kartu ATM dan buku tabungannya, ya. Jangan sampai hilang."
Gadis itu menatap Akbar dengan senyum yang dipaksakan. "Terima kasih sudah memercayakan dana Anda di bank kami. Selamat siang, Assalamualaikum."
Akbar menatap Tari dengan tatapan tidak percaya. Apa barusan Tari mengusirnya?
Akbar mendecakkan lidahnya kesal. "Temui aku saat jam makan siang. Ada yang ingin aku bicarakan," ucapnya. Ia masih betah duduk di depan Tari.
Tari tidak boleh beranjak dari duduknya sebelum Akbar beranjak terlebih dahulu. Ini sudah masuk kode etiknya. Seberapa kerasnya ia berusaha mengusir Akbar, pemuda itu tetap keukeuh dan keras kepala. Tari tidak bisa terus menghindar.
"Kalau tidak ada yang dibutuhkan lagi, silakan bisa bangkit, Pak Akbar. Ada nasabah lain yang menunggu." Tari menarik sudut bibirnya. Ia menatap tajam ke arah Akbar.
"Aku gak akan pergi sebelum kamu mengiyakan ajakanku." Pemuda itu masih keras kepala. Bahkan kini ia bersidekap. "Biarin aja mereka nunggu lama."
Bibir Tari berkedut. Ia menahan marahnya. Tangannya sejak tadi sudah terkepal di bawah meja. Rasanya ingin ia tonjok saja wajah menyebalkan pemuda di hadapannya itu.
"Jangan macam-macam, ya, Bar," desis Tari. Ia tersenyum. Memasang ekspresi seperti yang biasanya ia berikan ke nasabah lain.
"Satu macam doang kok, Tari." Akbar menyeringai. Melihat Tari kelabakan saat ini membuatnya senang.
"Kamu gak pernah berubah ya. Selalu menyebalkan." Tari mengatakan kalimat itu sambil tersenyum. Ia mengedarkan tatapannya ke sekitar. Beberapa orang yang tadi sempat acuh, kini mulai memperhatikan mereka kembali.
"Bukannya dulu kamu suka orang yang menyebalkan ini, ya?" Akbar masih menyeringai. "Aku cuma mau kita makan siang berdua, aku yang traktir, kamu tenang aja."
Beberapa orang lagi-lagi memperhatikan mereka. Tari melihat Pak Dirman kini berjalan ke arah mereka. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi. Jika ia membiarkan Akbar mempermalukannya di depan publik seperti ini, bisa-bisa ia mendapat masalah besar. Jadi lebih baik ia menyetujui ajakan makan siang Akbar, daripada menjadi pusat perhatian seperti ini.
Jadi dengan masih mempertahankan senyumnya, Tari berujar lirih. Tentu saja masih dapat ditangkap oleh pendengaran Akbar.
"Oke," ujarnya. "Aku mau."
Sedetik kemudian Pak Dirman sudah berada tepat di samping mejanya. Memasang raut khawatir. "Ada masalah, mbak?" tanyanya.
Tari mendongak. Ia tersenyum seolah semuanya baik-baik saja. "Gak pa-pa, kok, Pak."
Sret
Akbar beranjak dari kursinya membuat Pak Dirman menoleh ke arahnya. Pemuda itu tersenyum. "Gak ada apa-apa, Pak. Hanya sedikit kesalahpahaman." Ia tersenyum. Selanjutnya gantian ia menatap Tari. "Saya permisi dulu, ya, mbak Tari," ucapnya dengan nada yang dibuat-buat. Akbar bahkan mengerling matanya.
Tangan Tari kian terkepal di sisi tubuhnya. Meskipun ia tersenyum saat ini, namun hatinya sudah melontarkan berbagai kalimat u*****n dan makian untuk pemuda itu dalam hati. Setelah bertahun-tahun menghindarinya dan bersembunyi di Jakarta, Akbar masih bisa menemukannya. Usahanya sia-sia. Karena nyatanya, saat pemuda itu memunculkan wajahnya lagi di hadapan Tari, hatinya kembali goyah. Dan apa katanya tadi? Pemuda itu mengajaknya makan siang bersama dan ingin membicarakan sesuatu?
Tari harus menyiapkan hatinya. Ia tidak boleh goyah begitu saja karena pemuda k*****t itu.
Ini bencana!
°°°°