“Astaga Daviendra! Bagaimana bisa kamu kalah sama perempuan?! Apalagi orang itu adalah mantan istri kamu yang kurang ajar itu. Harusnya kamu bisa menangkan tender itu dan raup banyak keuntungan. Bukannya perempuan itu yang dapat.”
Kepala Daviendra berdenyut nyeri sekarang begitu mendengar suara ibunya yang terus-menerus menyalahkannya karena kalah dapatkan tender. Dia juga heran, dari mana ibunya tau soal hal tersebut.
“Perempuan itu sepertinya memang benar-benar ingin membuat kamu hancur, Dav. Kamu harus bisa kalahkan dia, Daviendra. Jangan sampai menjadi kacungnya yang kesekian kalinya.”
“Ibu, dengar. Setiap ibu bicara, pasti kepalaku berdenyut nyeri, pusing sekali. Jadi tolong, lebih baik ibu berhenti bicara sekarang. Tolong tinggalkan aku sendiri di kamar.”
“Yang begini ini nih, yang membuat ibu selalu ingin memarahimu Dav! Kamu selalu saja menghindar jika tiap kali ibu menyebut perempuan itu. Sudahlah, fokus saja pada pekerjaanmu itu. Jangan sampai terpecah hanya karena perempuan itu kini terjun langsung ke lapangan. Mentang-mentang dia ternyata adalah pewaris dari keluarga Maheswara, dia bisa seenaknya begitu? Kemarin berhenti memberikan dana untuk perusahaan. Sekarang sengaja sekali mengalahkan dan mempermalukan kamu di depan orang banyak. Perempuan itu memang punya niatan untuk membuatmu hancur, Dav. Kamu harus hati-hati.”
“Bu, tolong. Keluar sekarang juga, bisa? Aku ingin istirahat dulu. Kepalaku sangat pusing.”
“Bilang saja kalau kamu tidak ingin ibu bicara tidak baik soal mantan istri kamu itu. Harusnya mata kamu dibuka selebar mungkin agar tau jika perempuan seperti dia itu memang suka merendahkan. Baru muncul sebagai pewaris saja tingkahnya sudah begitu. Sengaja ingin membuat kamu hancur, Dav.”
“Bu, sungguh, kepalaku bisa pecah jika ibu terus-terusan membahas ini. Tolong keluar sekarang, sebelum aku yang memaksa ibu untuk keluar dari sini.”
Wulan menatap jengkel Daviendra yang berani meninggikan suara di hadapannya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mungkin membalasnya sekarang.
+++
Bianca menatap malas ke arah sang kakak yang baru saja kembali sembari membawa dua kantong makanan. Benar-benar sangat banyak, dan itu membuat Bianca sudah malas duluan. Rasanya tidak akan sanggup untuk menghabiskan semuanya dalam sekejap.
“Kakak beli ini buat kita makan bareng, sekalian ngobrolin rencana kamu selanjutnya buat balas dendam ke mantan suami kamu itu.”
“Ya tadi tuh beli secukupnya aja ngga sih Kak? Ini kebanyakan banget sumpah. Nggak mungkin habis dimakan kita berdua, meskipun kakak udah bagi itu buat satpam.”
“Ya terus gimana? Sudah terlanjur kakak belinya ini. Jadi ya, nikmati sajalah.”
“Kalau begini sih namanya mukbang, Kak. Bukan mau diskusi buat bahas balas dendam selanjutnya.”
“Ya udah, kakak berhenti makan.”
“Sambil makan juga nggak apa-apa Kak. Asal fokus aja sama apa yang akan aku bahas nanti.”
Kevin menunjukkan jempol tangannya sebagai tanda mengiyakan ucapan sang adik. Keduanya memang sama-sama ingin lebih unggul dari Daviendra. Keduanya juga sama-sama menginginkan hancurnya Daviendra.
Jika alasan Bianca ingin melihat Daviendra hancur karena sudah menyakiti dan mengkhianatinya, Kevin justru ingin Davi hancur karena sudah keterlaluan menyakiti sang adik.
“Pokoknya, kakak bakalan dukung terus apapun yang sudah menjadi keputusan kamu, Bi.”
“Makasih Kak. Tolong jaga rahasia ini dulu ya. Aku mau menyusun strategi baru selanjutnya untuk kalahkan Daviendra.”
“Ya, tentu akan kakak jaga rahasia ini, tenang saja.” sahut Kevin dengan cepat mengiyakan. “Oh iya Bi, kakak mau bilang sesuatu ke kamu. Ini soal temen kakak yang pengen kenalan sama kamu. Boleh nggak?”
“Kenalan yang gimana maksudnya Kak?”
“Ya, kenalan Bianca. Temenan begitu, ngobrol. Kalau cocok ya jalan—”
“Duh, kalau Kak Kevin mikirnya sampai ke sana dan berpikir kalau aku bakalan mencoba dengan orang baru, itu salah. Aku lagi nggak kepikiran untuk hal yang begitu Kak. Untuk sekarang, aku cuma mau fokus sama tujuan awal aku untuk membalaskan dendam pada Daviendra, Kak. Bukan mikir cinta-cintaan yang bikin aku tambah pusing.”
“Kakak nggak maksa kalau kamu emang lagi nggak mau kenalan lebih jauh sama temen kakak, Bi. Tapi kakak bakalan seneng, kalau misalnya kamu udah punya seseorang yang bakalan bisa jagain kamu. Kan nggak selamanya kakak ada untuk kamu.”
“Iya kak, ngerti. Tapi sumpah demi Tuhan, aku lagi nggak kepikiran untuk memulai hubungan baru, di saat aku sedang fokus untuk membalaskan dendamku pada satu pria ini Kak.”
Ya, Bianca memang tetap konsisten dengan jawabannya yang selalu menolak untuk diperkenalkan pada salah satu teman Kevin. Dia tetap tidak mau membuka lembaran baru di saat hatinya masih merasa tersakiti.
Karena apapun yang dijalani karena paksaan, akan berakhir dengan cara yang tidak baik pula. Sungguh, Bianca tidak mau juga menyakiti hati pria manapun yang menyukainya. Tapi Bianca tidak bisa menanggapinya juga. Fokusnya hanya tetap pada dendamnya yang belum tertuntaskan.
Bagi Bianca, dendamnya yang besar harus segera dia tuntaskan pada Daviendra. Remuk sekali hati Bianca rasanya melihat hubungannya dengan pria itu harus berakhir di saat sedang bahagia-bahagianya.