16. Kemelut Hati Reyhan - 3

1835 Kata
Luna. Gadis itu tersenyum tanpa merasa bersalah. Dia berjalan santai dari satu kelas ke kelas lain, tak berniat bertanya pada siapa pun yang dia temui. Dia hanya usil ingin mencuri seluruh pemandangan sekolah. Matanya tiba-tiba menangkap sebuah ruangan cantik dengan pintu kaca yang bening. Jelas tertulis itu adalah ruangan OSIS. Dia melangkah masuk ke ruangan itu, menatap salah seorang siswa yang sibuk berkutat dengan komputernya. Dengan senyum cerahnya, Luna mendekati siswa itu. "Permisi," suara Luna terdengar. Alih saja, sapaan itu menarik perhatian seseorang yang sedang asik di depan komputernya. Mendapat perhatian, Luna segera mengulas senyum tipis. "Kak, aku mau tanya. Di sekolah ini ada ekskul apa aja, ya?” tanya Luna. Cukup lama dia tertegun. Siswa yang tak lain adalah Ares. Senyuman Luna begitu menarik perhatiannya. Baru kali ini, pria imut yang bernama Ares ini tak bisa melepaskan pandangannya dari binar cantik seorang siswi. “Ah, itu ... ada banyak. Kamu bisa baca ini.” Ares menyerahkan selebaran pada Luna. “Makasih, Kak.” Usai berpamitan, Luna pergi setelah meninggalkan jejak aneh di d**a Ares. Siswa Sains 3-1 itu tampak bingung menanggapi hatinya. Dia hanya bisa tertegun memandang dengan wajah naïf. “Omegooot! Ternyata temen gue ini normal juga. Hampir aja gue pacarin lo, Res. Gue akuin, lo emang manis banget!" Ares terkejut saat suara berisik Fandy memudarkan lamunannya. Segera, dia mengusap telinga berulang kali. Dengungan itu sangat mengganggunya. “Ribet amat, sih! Emang gue kenapa? Sok tau, lo!” protes Ares. “Lo itu lagi jatuh cinta. Serahin aja ke gue! Gue ini cupid professional. Gue akan cari tahu siapa siswi baru itu.” Ares mengerutkan alis, mengetuk sejenak dahi Fandy. “Jangan ngambil kesimpulan seenak lo! Tapi ... lo tau dari mana dia siswi baru?” Fandy tersenyum bangga dengan gaya Don Juan-nya. Dia sedikit bersandar pada meja. Matanya memipih karena bibir yang tertaut. Kedua tangannya menyelip ke dalam saku. Dia begitu senang jika Ares mulai berpikir tentang seorang gadis. “Of course! Semua siswi di sekolah ini udah gue pacarin. Ah, nggak semua. Cuma yang cantik aja, kecuali Windy. Jadi ... gue tau dia itu siswi baru. Dia cantik juga, sih. Pengen gue jadiin beautiful target juga. Tapi karena gue sayang banget sama lo, Baby ... silakan ambil aja jatah gue itu!" “Hueekkkk!” Ares merasa geli dengan ucapan Fandy. “Akhirnya teman gue ini on the way melepas identitas single-nya!” “Lebay lo! Memangnya single itu dosa?” “Single itu nggak dosa, tapi luka. Haha. Sakit, Vroh!" Entah apa ungkapannya. Luna bagaikan Neil Amstrong yang pertama kali menginjakkan kaki di hati Ares. Senyum cerianya mampu memikat hati Ares. Itu adalah kelebihan Luna. Setidaknya, dia memiliki senyuman yang sama cerianya dengan Windy. Di sana, Luna berjalan santai di lorong toilet. Dia hendak memasuki ruangan berdinding putih itu. Naas, lantai yang licin membuatnya limbung. Kesan pertama di sekolah menjadi buruk ketika dia harus terduduk di depan lantai toilet dengan rok yang basah. “s**l! Aarghhh!” gerutu Luna. Pandangannya beralih pada uluran tangan yang ada di hadapannya. Sinar matahari seolah memantul hingga wajah itu membaur bersamanya. Sinar wajah yang dingin, tetapi begitu hangat bagi Luna. Luna menerima uluran tangan itu. Lengannya membantu Luna berdiri. Pria itu adalah seorang senior, terlihat dari tiga bintang pada seragamnya. “Makasih, Kak!” Tak segera dibalas, perhatiannya justru tertuju pada rok Luna yang terkena jejak air di lantai. “Rok lo basah. Apa lo bisa masuk ke kelas dengan penampilan berantakan begini?” “Ini hari pertamaku di sekolah ini, mungkin besok aja aku masuk ke kelas.” Siswa senior itu tersenyum dingin, menoleh sejenak pada sepatu Luna. Dia pun jongkok dan mengikat tali sepatu itu. Tindakan sederhana yang mampu membuat jantung Luna berdegup kencang. “Lo jatuh karena nginjak tali sepatu lo yang lepas. Lain kali jangan ceroboh!” Luna mengangguk singkat. Bias wajah dingin yang takkan begitu saja dilupakan oleh Luna. Hari pertama hampir berakhir menyebalkan, namun sikap pria ini memberikan warna baru di harinya. “Arvin!” Suara panggilan terdengar mengusik kekaguman Luna. Pria tampan bernama Arvin itu pergi menyisakan senyuman manis di bibir Luna. Hanya tersenyum, lantas pergi meninggalkan Luna. Deg! Arvin mendapat sedikit perhatian di hati Luna. Bibir mungilnya tak henti tersenyum meski Arvin sudah melangkah jauh. "Ck, cinta pada pandangan pertama, nih! Aku pasti bisa dapetin kamu, Kak Arvin," gumamnya. * Sudah hampir setengah jam sejak bel berbunyi, Reyhan masih tak fokus karena Windy belum tampak juga batang hidungnya. Tok! Tok! Tak lama, sebuah ketukan terdengar, menarik perhatian guru dan siswa untuk menoleh ke arah luar. Di sana, Windy berdiri dengan wajah gugup. Terlihat sekali jika dia sangat lelah. Titik-titik peluh membanjiri sisi dahinya. Karena terlambat, mungkin saja dia berlarian untuk sampai ke sekolah. Belum berucap, dia menunggu kata-kata apa yang akan dilontarkan sang guru untuk menegurnya. Dia sudah bersiap untuk itu. Dia bahkan tak berani menatap Reyhan —pria itu justru cemas melihat raut wajah Windy. “Terlambat setengah jam. Kamu masih berani masuk kelas, hah?" tegur beliau. “Maaf, Miss. Saya ..." “Berdiri di lapangan sampai jam pelajaran saya selesai!” Sangat malu, Windy pergi meninggalkan ruangan kelas dan berdiri di lapangan. Siswi berprestasi itu kini harus menuai cibiran ketika tanpa sengaja beberapa junior melihat dia dihukum di bawah tiang bendera. Tentu saja Reyhan tidak tega melihatnya. Dia segera bangkit dari duduknya dan menghampiri guru muda itu. “Miss, saya boleh izin ke toilet?" “Berbohong, hah? Kamu mau menemui sahabatmu itu, 'kan?” Reyhan tak peduli. Dia benar-benar tak tega pada Windy. "I'm sorry, Miss!" Reyhan meminta maaf dan segera keluar dari bangku. “Reyhan!” Guru itu kesal melihat Reyhan meninggalkan kelas. Persahabatan Reyhan dan Windy memang dikenal di kalangan siswa dan guru. Selain keduanya berprestasi, nama Reyhan juga sering terseret-seret ke ruang konseling ketika Chandra mengajaknya ribut hanya sekadar masalah Windy. Reyhan segera berlari mendekati lapangan, gadis barbie-nya itu sudah berdiri di sana. Semula, Reyhan sedikit ragu untuk mendekat. Ketika pandangannya sudah tertangkap basah oleh Windy, dia tak bisa menghindar lagi. “Kenapa kamu ada di sini? Ga usah sok care, deh!" keluh Windy. “Dih, ge-er! Aku lupa ngerjain tugas, makanya dihukum di sini. Jangan bawel!" Hukuman dilalui tanpa bicara lagi. Reyhan tetap ingin di sisi Windy sampai hukuman mereka selesai. Reyhan terkejut ketika Windy hampir limbung. Dia segera menangkap kedua bahu Windy. "Kamu sakit?" tanya Reyhan, cemas. Windy hanya tersenyum. Dia kembali berdiri dan berusaha menghilangkan kecemasan Reyhan. "Ga," jawab Windy. Dari kejauhan, terlihat wajah sinis yang menyoroti mereka. Chandra. Dia ingin sekali memergoki kebersamaan kedua sejoli itu, tetapi lengannya segera ditahan oleh Arvin. “Udah gue bilang, jangan sepele sama perasaan mereka. Percuma juga kalau lo terus ngelarang Windy deketin Rey sementara Rey aja masih tetap ada di sekitar dia," oceh Arvin. Lagi, dia mencoba menyalakan api kecemburuan di hati Chandra. Chandra melirik mendengar ucapan dingin Arvin. "Ck, jadi gue mesti gimana?" “Lo harus bikin Reyhan yang jauhin Windy. Biar gimana pun, Reyhan tetap seorang cowok yang harga dirinya tinggi. Ajak dia duel. Sebagai taruhannya, yang kalah harus ninggalin Windy.” Chandra terkejut dengan saran yang ditawarkan oleh Arvin. Entah kenapa setiap saran itu bagaikan jalan keluar terbaik untuk masalah cintanya. “Duel? Gue udah sering duel sama Reyhan. Taekwondo-nya selevel dengan lo. Bukannya gue nggak percaya diri sama karate gue, tapi gue nggak bisa pastikan siapa yang menang nanti.” Arvin tertawa sinis, menepuk pundak Chandra sejenak. “Kalau gitu, tantang dia di basket. Dia pasti kalah." "Basket?" Chandra bertanya lagi, lebih tepatnya memastikan. "Ya. Kalahkan dia di duel basket." “Apa Reyhan nggak bisa main basket?” Arvin tersenyum dingin, bersandar di dinding. “Bukan gitu. Nanti lo pasti tau jawabannya!" “Oke! Thanks atas saran lo.” Chandra pergi meninggalkan Arvin yang tertawa sinis dengan segala aura iblis yang mengelilinginya. Matanya tetap menyoroti Chandra hingga pria itu pergi menghilang di balik lorong. “Thanks? Cih, itu hari kehancuran lo, Chandra. Hari di mana Windy akan ninggalin lo,” ucap Arvin, sinis. * Hari mulai senja. Perasaan sepi menyelimuti lingkar jiwa Reyhan dan Windy. Hari ini tepat sehari menjelang hari ulang tahun Reyhan. Tinggal menghitung jam, maka 27 Januari akan tiba. Hari di mana tahun ini Reyhan menginjak usia 18 tahunnya. Windy duduk membisu di meja belajar kamarnya, menatap kotak kecil sudut meja itu. “Gimana caranya ngasih ini ke dia, ya? Aku nggak mungkin ngelewatin hari itu. Itu hari yang paling penting buatku,” ucap Windy, lirih. “Kenapa penting? Dia itu pacarku, Kak!” seru Luna. Windy berbalik. Dengan senyum simpul, Luna duduk di tepi kasur. Setelah kembali dari Singapore, Windy seperti malas berbicara dengan Luna. Luna pun selalu puas menyaksikan ekspresi kecemburuan di mata kakaknya itu. “Apa Kak Win naksir Kak Rey?” tanya Luna dengan sorot mata serius. Windy tersenyum sinis, memutar kursinya hingga tepat berhadapan dengan Luna. Luna tersenyum sambil memainkan ujung rambut ikalnya. “Apa bedanya kalau aku suka atau nggak sama Reyhan? Apa kamu akan batalin pertunangan demi aku?” “Ya nggak, lah! Kak Rey itu punyaku.” “Punya kamu? Apa kamu nggak puas bermain di Singapore sampai akhirnya kamu berantakin keadaan di sini? Aku tau kamu nggak suka sama Rey. Kenapa kamu pura-pura di depan Tante Raya dan bilang kalau kamu suka sama Reyhan, hah?” “Aku main-main atau nggak, itu bukan urusanmu, Kak! Apa pun yang terjadi nanti, dia itu milikku. Kecuali ... kalau Kak Win memang suka sama Kak Rey, ntar aku bakalan pertimbangkan untuk nunda pertunangan. Menunda, bukan ngebatalin. Kak Win ngerti?” Luna pun beranjak meninggalkan raut gengsi Windy akan perasaannya pada Reyhan. Windy segera menarik tangan adiknya itu. Tatapan seriusnya membuat Luna terdiam. “Sebelum dia jadi milikmu, apa aku boleh meluk dia sekali lagi?” pinta Windy. Luna bersidekap. Berulang kali dia melihat Windy mengusap air matanya. Ada sinar harapan yang besar terpancar, tetapi Luna tak bisa luluh begitu saja. Luna belum tahu jelas bagaimana keadaan hati Windy. Biar bagaimanapun, Luna menyayangi Reyhan. Dia juga tak tega membiarkan Reyhan berdiri seperti ornamen antik di sisi Windy —tak bisa dipergunakan dan hanya bisa dipajang. Yang penting ada di saat dibutuhkan. “Bantu aku ngasih surprise ke dia hari ini. Kamu bisa bantu aku, 'kan?" “Kak Rey udah bilang kalau dia nggak mau ada surprise segala. Kak Win nggak takut dia marah, hah?” Windy menggeleng pasti, segera mengenggam jemari Luna, "Ga. Dia sayang banget sama aku. Dia nggak mungkin marah dan benci aku, Lun.” “Oke, aku bisa bantu apa?” Windy tersenyum bahagia. Dia mendekatkan diri pada Luna, membisikkan rencana yang ada di kepalanya. Dia meminta bantuan Luna agar adiknya itu mau berbaik hati menolong. “Hm, oke. Sebaiknya lebih dulu kusingkirkan om dan tante dari rumah untuk malam ini. Mereka nggak perlu tau. Yang penting Kak Win bahagia aja, deh!” Luna dan Windy punya satu rencana matang untuk memberikan kejutan di hari ulang tahun pria cute berhati dingin itu. Tak tahu bagaimana reaksi Reyhan nanti, Windy tetap bersikeras untuk memberikan setitik kebahagiaan untuk sahabatnya itu. Sahabat yang beberapa hari belakangan ini terluka karenanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN