19. I Dare You - 2

1364 Kata
Di kelas Sains XII-1, kelas di mana penuh dengan aura manis dan cinta, Windy duduk di antara Ares dan Fandy. Kening mereka mengerut sambil membolak-balik buku tebal yang penuh akan teori. "Hei, Fandy! Menurut lo, kenapa penyakit haemofilia nggak diderita sama seorang wanita dewasa?" tanya Ares sambil mengacak-acak rambutnya karena tugas diskusi itu belum selesai meskipun waktu sudah di ujung tanduk. Fandy tersenyum cuek. "Jangan tanya ke gue! Yang gue tau cuma pacaran." Tatapannya beralih ke sisi kiri. "Win, ini tentang gender lo. Kasih pendapat, kek! Lo mau kita dapat nilai C untuk diskusi formatif 2 ini?" Windy menghela napas kesal karena dua temannya ini bukannya membantu, malah menimpakan semua tugas padanya. "Ck, kenapa aku harus satu kelompok diskusi sama kalian? Help me, Alien." Fandy tersenyum pasti, lalu menjentikkan jarinya. "Windy, tanya sama Reyhan!" "Hei, beda kelompok. Itu namanya curang," sela Ares. Windy tersenyum kecil. Matanya beralih pada Reyhan yang berada di sudut ruangan dan masih berdiskusi dengan teman kelompoknya yang lain. "Ya. Aku harus tanya Reyhan. Aku nggak mau bergantung sama kalian. Uh, bisa anjlok nilai Biologiku!" "Oke. Sepuluh menit dari sekarang, kerjakan!" Instruksi Ares terdengar. Reyhan memang selalu menjadi tempat pelarian Windy ketika ada masalah, termasuk tentang pelajaran. Alangkah bodohnya Chandra yang berpikir jika Windy bisa hidup tanpa Reyhan. Windy menggantungkan setengah napasnya pada Reyhan, dan Reyhan menitipkan setengah jiwanya di genggaman Windy. Windy mendekati bangku Reyhan, tentu saja ditatap sinis oleh Chandra di kejauhan. Chandra tak bisa berbuat apa pun, masih jam pelajaran. Kalau dia mau, dia bisa saja harus kembali berkelahi dengan sahabat yang memiliki separuh hatinya Windy itu. Windy duduk di samping Reyhan, menunjukkan puppy eyes-nya. Reyhan sangat paham aura manis yang disuguhkan Windy padanya. "Kenapa?" tanya Reyhan. "Soal ini, kamu tau jawabannya?" bisik Windy. Reyhan meraih secarik kertas di tangan gadis itu, membacanya. Senyuman manis dia sajikan sambil mengetuk pelan dahi Windy. "Ini soal analisis. Bahkan ini aja pikiran kamu nggak bisa bekerja, Win? Memangnya apa aja isi kepalamu, sih?" "Kamu!" Reyhan mengusap sejenak wajahnya, meminta Windy menatap dengan serius. "Dengarkan aku! Haemofilia itu gen resesif yang tertaut pada kromosom X. Kromosom s**s pria itu XY sedangkan wanita itu XX. Nah, untuk genotif normalnya ini nanti disimbolkan dengan XHYH atau XHXH. Haemofilia itu terkait pada kromosom X, disimbolkan dengan Xh. Jika pria normal menikah dengan wanita normal, maka anak yang dilahirkan juga normal. Tapi jika seorang pria normal menikah dengan wanita carier-" "Wanita karir? Kenapa kamu lari sampai ke situ?" "Bukan karir, tapi carier. Carier itu hanya membawa sifat. Kemungkinan penyakit itu didapatnya dari orangtuanya dan akan diturunkan pada anaknya, tapi dia nggak mengidap." "Oh, lanjutkan!" "Tadi aku bilang kalau hemofilia itu ada di kromosom X, 'kan? Nah, kalau cowok, kan, kromosom X -nya cuma satu, kalau cewek ada dua. Jadi kalau kromosom X cowok itu rusak sebab hemofilia, otomatis si cowok itu jadi penderita. Beda sama cewek yang punya dua kromosom X. Kalau satunya rusak sebab hemofilia, satu lagi masih ada. Itu sebabnya kalau cewek jadi pembawa sifat. Mungkin hemofilia akan diturunkan ke anaknya nanti," papar Reyhan. Windy bersyukur Reyhan mau menjelaskan soal analisis itu padanya. Sebelum pergi, dia mencubit pipi chubby sahabatnya itu. "Pinter banget, sih! Makasih, Sayang." Windy meninggalkan Reyhan dengan untaian senyum bangga karena berhasil membuat putra Keluarga Pramana itu merona karena bahagia. Aksi berdurasi 5 menit itu berhasil membakar hati Chandra, dia meremuk kertas yang ada di mejanya. 'Kalian keterlaluan! Kamu harus tentukan sikap, Win. Dan buat lo, Rey, gue udah nggak bisa lagi biarin lo seenaknya. Gue nggak akan biarin lo ngerebut Windy. She's my Barbie Girl!' batin Chandra. * Reyhan menghela napas lelah. Dia berjalan keluar dari aula setelah 30 menit lamanya melewati tes lisan beasiswa S1 Inggris dengan beberapa rekan yang lain. Hampir seluruh tenaga dan pikirannya habis terkuras setelah melalui tahap seleksi ketat tersebut. Seleksi yang tak bisa dianggap remeh oleh calon mahasiswa itu. Sebenarnya Reyhan menyembunyikan hal ini dari Windy. Mungkin dia akan mengatakan pada Windy jika sudah mendapatkan kepastian jawaban tentang beasiswa-nya itu. Reyhan berjalan menuju lorong toilet ketika siswa lain masih berkutat dengan jam pelajaran terakhirnya. Brukkk! Reyhan terkejut saat ada yang menarik bahunya di persimpangan lorong. Orang itu menghantamnya ke dinding. Bias wajah yang memiliki sorot mata dingin. "Mau apa lo, Chan?" tanya Reyhan sesantai mungkin. Chandra terlihat kesal sambil menekan kerah kemeja seragam Reyhan hingga rivalnya itu sulit bergerak. Chandra sudah sampai pada tahap maksimal kecemburuannya. Tak mungkin dia terus diinjak oleh tingkah kekanakan sepasang sahabat itu. Sikap Windy juga keterlaluan tanpa mempedulikan perasaannya. "Lo bicara kayak nggak berdosa aja. Lo pikir apa yang udah lo lakuin, hah? Lo itu perusak hubungan orang lain. Lo ngancam bakal ninggalin Windy kalau dia nggak ngasih keputusan tentang kalian secepatnya, 'kan? Itu nggak adil! Gue ini pacarnya, kenapa lo nggak bisa stay di samping dia jadi sahabatnya aja? Gue udah berbaik hati ngizinin lo tetap di samping Windy sekalipun gue nggak suka. Apa lo nggak bisa bersikap biasa aja dan nggak bikin dia terjebak dengan pilihan itu, hah?!" Reyhan tersenyum sinis, menyingkirkan tangan Chandra dari bahunya. "Kenapa? Lo nggak percaya diri, Chandra? Lo takut tentang hati Windy? Merasa nggak bisa bandingin cinta lo dengan rasa sayangnya ke gue?" Chandra kesal karena Reyhan memancing emosinya. Dia hendak melancarkan tinju, tetapi tak mungkin melakukannya di lingkungan sekolah. "Lo nggak tau malu, ya! Windy itu milik gue setahun terakhir ini. Lo nggak bisa ngerusak hubungan kami gitu aja!" kesal Chandra. Reyhan berjalan perlahan menjauhi, memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Dia siap menangkis apa pun semburan emosi Chandra. "Setahun? Lo komplain tentang apa? Hubungan gue sama Windy udah berjalan 17 tahun. Gue justru menahan diri waktu lo masuk ke dalam kehidupan kami. Lo nggak berhak bandingin waktu setahun cuma bermodalkan status. Hubungan gue sama Windy itu udah kayak bekas luka yang nggak akan bisa hilang," geram Reyhan menantang emosi Chandra. Chandra dan Reyhan sudah sampai pada tahap perang terbukanya. Penentuan terakhir siapa yang berhak atas diri Windy. "Kalau lo seyakin itu sama hubungan jiwa 17 tahun kalian, ayo kita taruhan! Lo cukup gentle untuk itu, 'kan? Kalau lo menang, gue akan ninggalin dia. Tapi kalau sebaliknya, pergilah dari hidup Windy! Jangan peduli sekalipun dia mau mati karena nggak bisa ngeliat lo lagi." Reyhan terkejut karena Chandra berani menantangnya untuk menyelesaikan babak akhir pertarungan mereka. Reyhan mendekati Chandra dan membalas tatapan tajam itu. "Lo jadiin Windy barang taruhan?" tanya Reyhan bernada serius. "Lo nggak perlu munafik! Selama ini kita selalu bertengkar cuma karena dia, 'kan?" "Apa yang lo mau?" Chandra terdiam sejenak, melirik jam tangannya. Hanya tinggal 10 menit lagi sisa jam pelajaran hari ini. "Siang ini, gue tantang lo main basket." Reyhan terkejut mendengar tantangan Chandra. Dia ingin pergi, tetapi lengannya ditahan oleh Chandra. "Lo takut?" tanya Chandra dengan mata dingin disertai ulasan senyum sinis. Cinta ternyata bisa membuat kedua pemuda yang berwajah angel ini berubah menjadi devil. "Gue baru selesai tes, gue capek. Kasih gue waktu sampai besok." Chandra tersenyum sinis ketika Reyhan menghempaskan tangannya. Wajah Reyhan tampak ragu. Chandra mulai mengerti kenapa Arvin memberinya saran untuk duel basket. "Ck, karena tadi lo udah setuju sama ajakan taruhan gue, apa gue bisa bilang kalau lo mundur dari duel taruhan ini? Pergilah dari hidup Windy!" kecam Chandra. "Gue minta waktu sampai besok." "Lo nggak bisa main basket?" "Ck, lo terlalu underestimate sama gue! Sekarang situasi gue nggak ngizinin gue untuk duel sama lo. Gue cuma minta waktu satu hari lagi." "Cih! Sebenarnya lo itu cuma cowok kekanakan dan manja. Lo itu terlalu cengeng, Reyhan. Waktu sehari? Apa Lo mau ngadu ke Windy tentang duel ini?" Tentu saja direndahkan seperti itu menyulutkan api di d**a Reyhan. Benar kata Arvin, setiap lelaki akan melakukan apa pun demi harga diri dan gadis yang dicintainya. Saat ini, Reyhan terjebak dalam permainan Chandra. Sayangnya, justru Chandra-lah yang terjerat dalam perangkap terakhir dari Arvin. "Oke! Tapi gue nggak mau Windy tau tentang ini. Dia bakalan ngelarang gue," putus Reyhan. "Hh, karena dia yakin lo akan kalah, trus pergi dari hidup dia? Hidup kalian terlalu drama." Chandra berada pada puncak kepercayaan dirinya. Dia sangat optimis akan memenangkan taruhan. Ini satu-satunya babak akhir yang terpikir oleh Chandra untuk menendang Reyhan dari kehidupan Windy. "Sekalipun lo menang, lo justru akan menyesal, Chandra. Gue udah ngasih peringatan ke lo." *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN