tempat yang indah, sejauh mata memandang yang tampak adalah birunya langit dengan gumpalan awan putih laksana kapas bersih nyaris tidak berjarak dengan luas biru samudra, gulungan ombak tampak berkejaran di tertiup hembusan bayu menyapa membasahi lembutnya pasir berwarna putih selembut sutra dan yang menambah keindahannya adalah tempat ini sepi, seolah hanya ada dua anak manusia yang tengah dimabuk cinta di sana.
Banyu berbaring tertelungkup langsung di atas pasir yang sangat halus dengan kedua lengan terlipat menyangga bahunya, tidak masalah jika pasir itu menempel di kemeja pantai dan celana pendek yang ia kenakan, menikmati pagi menjelang siang di pantai adalah hal yang sangat menyenangkan. Matanya menikmati setiap jengkal keindahan alam yang jarang sekali ia temui di Jakarta. Lalu di mana istrinya? bukankah mereka datang ke sini untuk menikmati masa bulan madu?
"Sayang, gimana kalau kita menetap di sini aja? katanya kamu suka tempat ini?" tanya Banyu.
"Hah beneran, Bang?" tanya Laura antusias, ia tidak percaya akan tawaran suaminya.
"Beneran, Abang, 'kan, udah bilang akan mewujudkan apapun yang kamu mau," jawab Banyu tanpa merubah posisinya walaupun samping kanan dan kirinya masih sangat luas.
"Iya, sih, aku seneng di sini, tapi ... kalau tinggal di sini, Mama gimana? Papi gimana?" jawab Laura gamang.
"Hm ... dasar anak Mama!" ledek Banyu, walaupun dalam hatinya merasa sangat bahagia karena istrinya begitu sangat mencintai Mamanya, bukan hanya mencintai dirinya.
"Biarin, aku emang sayang sama Mama, apalagi sama anaknya!" jawab Laura.
Lalu keduanya kembali terdiam untuk beberapa saat, terlarut dalam pikirannya masing-masing atau sibuk mengagumi keindahan yang terpampang nyata di depan mata.
"Sayang," panggil Banyu.
"Iya, Sayang," jawab Laura manja.
"Abang kangen!" ujar Banyu.
"Abang! enggak usah gombal, deh, kita barengan terus gini masa kangen!" jawab Laura.
"'kan Abang enggak bisa peluk!" kilah Banyu.
"Ih, Abang aku lagi PW gini!" jawab Laura tanpa sedikitpun merubah posisi rebahannya.
"Berenang, yuk," ajak Banyu.
"Iya, Nanti. Setengah jam lagi!" tegas Laura.
Mendengarnya Banyu menghela napas pelan lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, tidak ada pilihan lain selain membiarkan istrinya tetap berbaring telentang di atas punggungnya menatap birunya langit yang tidak lagi biru karena kacamata hitam yang ia kenakan, atau sedikit saja protes Banyu lontarkan maka Laura akan merajuk dan tidak akan memberikan apa yang Banyu minta. Hal yang belakangan ini telah menjadi candu baginya. Padahal lelaki itu sudah merasakan pegal di pingganganya karena Laura yang menjadikannya alas tidurnya, beruntung istrinya itu memiliki tubuh yang mungil hingga beratnya tidak begitu membebani tapi diam tertindih dalam posisi lama cukup membuatnya pegal, ia jadi bisa membayangkan bagaimana rasanya tubuh Laura yang selalu dipeluknya semalaman ketika mereka tidur.
"Abang," panggil Laura sesaat setelah duduk bersila tepat di samping tubuh suaminya.
Banyu tidak langsung menjawab tapi membalikkan tubuhnya hingga kini telentang dan menarik tangannya ke atas untuk meregangkan tubuhnya.
"Kenapa, Sayang?" tanya Banyu yang melihat bibir manyun Laura kerena ia tidak langsung menjawab panggilannya.
"Tiga minggu cepet banget, ya, lusa kita udah harus pulang," gerutu Laura.
Mendengarnya Banyu mengulum senyum, "Tadi, 'kan, Abang udah bilang kalau kamu mau kita bisa tinggal di sini."
"Ih, enggak bukan gitu ...." jawab Laura mengambang.
"Kalau begitu kita tunda dulu pulangnya," celetuk Banyu memberi ide, sambil menggeser tubuhnya menaruh kepalanya dipangkuan Laura.
"Tunda? Abang mau Kak Daniel ngamuk-ngamuk kerena kita enggak dateng ke resepsi pernikahannya!" jawab Laura, lalu tertawa kecil membayangkan wajah Kakaknya itu, lelaki itu bahkan sudah berulang kali meneleponnya untuk memastikan mereka segera pulang.
"Oh, iya, ya, Abang lupa. Abang kekurangan vitamin C, nih, kayaknya makanya jadi pelupa!" jawab Banyu.
"Emang kekurangan vitamin C bisa bikin pikun juga, ya, Bang? Kalau gitu kita beli jeruk, yuk, biar Abang enggak pikun!" jawab Laura serius sambil menatap wajah suaminya yang ada di pangkuannya.
"Bukan vitamin C yang itu, Sayang!" jawab Banyu sambil mengelus pipi istrinya.
"Terus? Emang vitamin C ada berapa jenis?" tanya Laura lagi, ia tahu Banyu pasti bisa menjawab semua pertanyaannya. Banyu adalah orang yang cerdas menurut Laura.
"Vitamin C yang ini, Sayang." Banyu memonyong-monyongkan bibirnya bahkan hingga mengeluarkan suara mendecit seperti anak tikus membuat Laura bergidik geli.
"Apa, sih!" ujar Laura.
"Vitamin C yang Abang maksud itu vitamin cium, Sayang!" jawab Banyu gemas karena istrinya yang tidak peka, atau hanya pura-pura bodoh untuk menggodanya.
"Ih! Abang modus!" seru Laura lalu dengan cepat bangun dari duduknya membuat kepala Banyu yang ada dipangkuannya terhempas ke atas pasir, Laura tahu itu tidak akan sakit. Laura tertawa dan berlari kecil meninggalkan Banyu yang langsung berdiri.
"Sayang, mau ke mana?" tanya Banyu melihat istrinya terus melangkah mendekati air bahkan kini kakinya telah menginjak pasir yang basah meninggalkan jejak yang langsung terhapus ombak yang kembali datang.
"Berenang!" jawab Laura setengah berteriak.
"Tunggu Abang!" seru Banyu yang tengah melepas kemejanya sambil berlari lalu melemparnya asal.
Sedangkan Laura yang hanya mengenakan celana bahan pendek berpadu dengan kaus ketat tanpa lengan sama sekali tidak menunggunya, membuat Banyu berlari semakin cepat lalu memeluk tubuh istrinya dari belakang, Laura tertawa geli saat Banyu menggelitik pinggangnya.
"Abang! Udah, ah, geli!" pinta Laura sambil membalik tubuhnya hingga kini mereka saling berhadapan, Laura mengalungkan lengannya di leher Banyu.
Banyu memeluk tubuh langsing istrinya lalu mengangkatnya hingga wajah mereka sejajar sekarang, karena mereka berada di dalam air yang merendam hingga batas perut mereka membuat berat badan Laura terasa semakin ringan, Laura mengeratkan pelukannya saat Banyu memajukan wajah untuk menciumnya bibir mereka telah menyatu sekarang hanya beberapa saat saling menyesap Laura sudah menghentikan ciuman mereka.
"Kenapa?" tanya Banyu sambil menurunkan tubuh Laura.
"Asin!" jawab Laura sambil tertawa.
"Masa'? Manis, kok!" jawab Banyu.
"Asin, Bang!" kekeh Laura.
"Coba sini!" Banyu kembali memeluk istrinya lalu dengan cepat menyesap bibir bawahnya Laura.
"Tuh, 'kan, manis!" gumam Banyu sambil mengangkat tubuh istrinya lagi, kini Laura sudah tidak bisa mengelak ia lingkarkan kakinya di perut Banyu dan menikmati rasa asin yang ia rasakan tapi manis yang Banyu bilang.
Setelah beberapa saat mereka berenang menikmati hangatnya air laut yang diterpa sinar matahari yang mulai meninggi, keduanya memutuskan untuk menepi, duduk di tepian pantai membiarkan kaki yang mereka luruskan di hampiri riak yang datang silih berganti.
"Sayang, terima kasih, ya," ucap Banyu pada Laura yang duduk tepat di sampingnya.
"Buat apa?" tanya Laura.
"Buat kebahagiaan yang udah kamu berikan." Banyu menatap lekat wajah istrinya yang terlihat memerah.
"Kalau begitu Abang harus bersiap untuk berterima kasih seumur hidup, Abang karena aku akan selalu membuat Abang bahagia seumur hidup Abang!" jawab Laura sambil tersenyum manis menatap mata tajam suaminya.
Banyu mengulurkan tangannya dan mencubit gemas pipi istrinya, "Istri Abang udah pinter ngegombal sekarang!"
"Bukan gombal, Abang, beneran!" sungut Laura.
Banyu terkekeh, "Iya, percaya. Ya udah, mandi, yuk, katanya mau belanja oleh-oleh." ajak Banyu.
Lelaki tampan yang terlihat semakin mempesona setelah menyandang status suami itu bangun dan mengulurkan kedua tangannya untuk membantu Laura bangun, Laura menurut memberikan kedua tangannya bangun dengan bantuan sang suami lalu bergelayut manja di lengannya.
"Mandi beneran tapi, ya," ujar Laura sambil melangkah menuju resort yang mereka huni selama berbulan madu.
"Hem ... enggak janji, deh!" jawab Banyu, mengingat sejak berada di tempat ini kegiatan mandi jadi kerap kali diselingi kegiatan lain.
"Ih, Abang!" Laura mencubit pinggang suaminya yang masih terkekeh, tapi langsung menariknya dalam pelukan.
* Dita Andriyani *
Usai menyantap makan siang mereka, akhirnya mereka melakukan rencana yang sempat beberapa kali tertunda yaitu mencari oleh-oleh sebagai buah tangan untuk orang-orang terdekat yang telah menunggunya di Jakarta. Walaupun oleh-oleh yang Miranda dan Priyo minta belum bisa mereka bawakan karena mereka memutuskan untuk menunda kehamilan, Laura masih ingin meneruskan pendidikannya terlebih dahulu.
Sedangkan Banyu, masih ingin menikmati masa bulan madu mereka ia masih senang melihat Laura sebagai gadis kecil manjanya, sangat tidak tega rasanya kalau melihat Laura repot membagi waktu antara pendidikan dan buah hati mereka nantinya. Ia ingin jika suatu saat memiliki momongan maka Laura bisa berkonsentrasi mengurusnya tanpa harus membagi waktu atau pikiran dengan hal lain.
Laura berceloteh sepanjang perjalanan, sibuk mengagumi banyak hal di tempat yang memang indah ini, juga berkata betapa bahagianya dirinya, mendengarkan setiap ucapan Laura adalah hal yang membahagiakan bagi Banyu.
Banyu memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah centra oleh-oleh yang terlihat sangat besar dan ramai, tidak lama Banyu turun dan membukakan pintu mobil agar Laura bisa turun.
"Bang tempatnya bagus banget," ucap Laura yang masih sibuk menyisir pandangan ke sekitar tampat beberapa bangunan khas pulau lombok dengan ornamen biota laut seperti kerang-kerang yang di ronce menjadi tirai juga kain tenun khas lombok yang menghiasi dindingnya.
"Ayo masuk, kamu mau pilih apa aja ada, ini centra oleh-oleh paling lengkap seluruh oleh-oleh khas dari berbagai penjuru Lombok ada di sini," terang Banyu, Laura mendengarkan dengan antusias.
Namun, belum juga melangkah masuk langkah mereka harus terhenti karena sebuah suara memanggil.
"Mas Banyu?"