Cemburu lagi?

2050 Kata
"Mas Banyu." Suara merdu dari seorang wanita yang berada tidak begitu jauh dari mereka. Spontan Laura dan Banyu yang digandengnya menoleh dan melihat seorang wanita cantik mengenakan hot pants berpadu atasan berlengan panjang dengan kerah yang menutup leher. Wanita bertubuh tinggi langsing bak seorang peragawati itu berjalan mendekati mereka. "Mas Banyu, lama banget, ya, kita enggak ketemu!" ujar wanita itu sebelum merangkul dan mencium kedua pipi Banyu. Banyu pun tidak menolak hanya tersenyum canggung sambil melirik Laura yang sudah membulatkan matanya. "Zara, kamu apa kabar?" tanya Banyu pada wanita yang masih menggenggam tangan kanannya itu. Laura yang merangkul lengan kiri Banyu memberikan cubitan kecil di sana untuk menyadarkan suaminya itu, Banyu langsung menarik tangannya yang berada di genggaman wanita cantik itu. "Aku baik, gimana kabar Mas Banyu? Terakhir aku dengar hubungan Mas Banyu dengan tunangan Mas Banyu kandas. Aku ikut sedih," ujar wanita itu dengan mimik memelas yang dibuat-buat membuat Laura yang mendengarnya memutar bola mata. Malas. "Oh itu, masa lalu yang tidak penting. Karena sekarang sudah ada dia." Banyu merangkul pundak Laura membuat mata wanita itu memandangnya. "Zara, kenalin ini Laura, istriku." Wanita itu tampak menahan tawanya mendengar ucapan Banyu. "Istri? kamu jangan bercanda, deh!" "Aku enggak bercanda Zara, kami menikah tiga minggu yang lalu. Kami ke sini untuk mengurus sedikit urusan restoran, sekaligus bulan madu." Tawa itu hilang dari wajah Zara, lalu berganti tatapan aneh pada Laura, hanya sesaat karena Zara langsung mengulurkan tangannya. "Zara." Wanita itu menyebutkan namanya untuk memperkenalkan diri pada Laura. "Laura. Istri Bang Banyu" jawab Laura dengan senyum bangga saat mengucapkannya. Wanita bernama Zara itu hanya menyeringai kecil lalu melepaskan tangannya. "Mas Banyu mau cari oleh-oleh?" tanya Zara pada Banyu menatap wajah tampannya seolah tidak ada Laura di sampingnya, sungguh Laura sudah merasa jengah akan sikapnya seandainya ia tidak berencana untuk mencari oleh-oleh tentu dia sudah mengejak suaminya meninggalkan tempat ini. "Iya," jawab Banyu singkat sepertinya ia mengerti jika Laura sudah merasa tidak nyaman. "Oke, deh, kalau begitu silakan berbelanja sebanyak yang kamu mau. Akan ada diskon besar untuk teman lama," jawab Zara sekilas melirik Laura yang menatapnya tidak suka lalu kembali fokus menatap wajah Banyu. "Baiklah, terima kasih, Zara," jawab Banyu. "Silakan, senang bertemu denganmu lagi, Mas. Semoga kita bisa bertemu lagi," pungkas Zara. Laura menghela napas lega akhirnya berakhir juga basa-basi menyebalkan ini. Namun, hanya sekejap saja ia merasa laga, dadanya kembali sesak saat melihat Zara mendekati Banyu dan kembali mencium kedua pipinya. "Iya. Sampai jumpa," pungkas Banyu. Laura melirik sinis pada Zara yang melenggang meninggalkan mereka, wanita itu bahkan tidak mengucapkan apapun pada Laura, dia benar-benar menganggap Laura tidak ada. Banyu meringis saat merasakan Laura mencubit pinggangnya. "Aduh, Sayang, sakit," ujar Banyu sambil menahan suaranya agar tidak menarik perhatian banyak orang yang berada di sekitar mereka. "Seneng, ya?" sindir Laura juga dengan suara tertahan setelah melepaskan cubitannya. "Seneng kenapa, sih, Sayang? Dia temen Abang, pemilik centra oleh-oleh ini, ya, wajar kalau kita ketemu dia di sini," jawab Banyu setengah berbisik. "Jadi tempat ini punya dia?" tanya Laura sambil memelototkan matanya. "Iya," jawab Banyu tanpa rasa bersalah. "Kita cari tempat lain, aku enggak mau belanja di sini!" sungut Laura sambil membalikkan badannya meninggalkan teras toko itu. "Lho, Sayang, kenapa?" tanya Banyu tidak mengerti sambil menyusul langkah cepat Laura. Laura tidak menjawab hanya berdiri sambil cemberut di depan pintu mobil menunggu Banyu membuka kuncinya. Banyu mendekat untuk membukakan pintu mobilnya seperti biasa, tetapi Laura telah lebih dahulu masuk sambil tersungut memasang sabuk pengaman lalu melipat tangannya di bawah dadanya. Banyu menghela napas melihat tingkah istrinya, sekuat tenaga ia mencoba agar Laura tidak merajuk tapi malah ini yang terjadi, sesaat dia menyesali mengajak Laura berburu oleh-oleh di tempat itu, ia tidak menyangka saja jika akan bertemu dengan pemiliknya juga. Akhirnya Banyu memasuki mobilnya, duduk di belakang kemudi tapi menghadapkan tubuhnya kepada Laura yang diam seribu bahasa. "Maaf, ya, Sayang ... tapi itu, 'kan, bukan sepenuhnya salah Abang, Abang enggak nyangka bakalan ketemu Zara di sini," ujar Banyu mulai merayu istrinya. "Udah, deh, jalan aja. Jadi mau beli oleh-oleh, enggak? Kalau enggak kita balik ke resort aja!" jawab Laura ketus. "Jadi, dong, Sayang," jawab Banyu lalu menjalankan mobilnya. "Pasang dulu seat belt-nya!" ucap Laura masih bernada ketus. Banyu menunda sejenak kakinya yang telah siap menginjak gas, ia pasang sabuk pengamannya sambil mengulum senyum, ia senang walaupun tengah merajuk tapi Laura tetap perhatian padanya. Sama sekali tidak ada pembicaraan sepanjang perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh, masih di komplek yang sama hanya berbeda blok saja, kini mereka sudah sampai di sebuah centra oleh-oleh yang lain, memang tidak terlalu ramai dan besar seperti tempat yang pertama kali mereka datangi, tapi setidaknya Laura tahu tidak akan ada Zara yang menyebalkan di sini. Laura turun, dan tanpa mennggu suaminya ia telah berjalan mendekati tempat itu. "Selamat siang, Nona," sapa seorang lelaki bertubuh tinggi kurus mengingatkan Laura pada Mang Simin, sepertinya usia mereka juga tidak terpaut jauh. "Siang," jawab Laura ramah. "Silakan melihat-lihat, mari saya pandu," ujar lelaki itu sambil menunjuk arah dalam bangunan bernuansa tradisional Lombok itu. "Terima kasih, Pak," jawab Banyu yang tiba-yiba merangkul pundak Laura dari samping, Laura menggeliat untuk menghindari rangkulan sang suami. "Pak, apa oleh-oleh khas dari sini?" tanya Laura sambil melangkah memasuki toko yang memajang berbagai barang bernuasa etnik. "Ada banyak, Non, mari saya jelaskan satu persatu," jawab lelaki itu sambil berjalan mendekati sebuah etalase yang memajang berbagai gerabah. Spontan Laura mengikuti langkah lelaki itu, membuat Banyu juga melangkah mengikuti istrinya, Laura berdiri tidak jauh dari lelaki penjaga toko yang kini mengambil sebuah kendi berwarna coklat. Laura mulai fokus mengamati, kesempatan itu Banyu gunakan untuk menggenggam tangannya. Sesaat Laura tidak menyadari apa yang suaminya lakukan. "Ini namanya kendi maling, Non." Laura mulai fokus mendengarkan walau sempat mengernyitkan dahinya sesaat. "Kendi maling ini kerajinan gerabah dari desa Banyumelek." Laura melirik suaminya saat mendengar lelaki itu menyebut nama desa penghasil gerabah itu, hal itu membuatnya tersadar jika Banyu telah mengenggam tangannya dengan cepat Laura mengibaskan tangan Banyu dan melipat tangannya di depan d**a lalu kembali fokus mendengarkan Bapak itu berbicara. "–berjarak sekitar empat belas kilo meter dari kota Mataram." Kata itu yang Laura tangkap setelah tidak fokus pada ucapan lelaki itu, "kendi maling ini bentuknya seperti layaknya kendi biasa hanya saja memiliki leher yang lebih panjang dan semping sehingga menyulitkan untuk memasukkan air dari bagian atas kendi. Akhirnya kendi ini disebut maling karena untuk memasukkan airnya harus dari bagian bawah kendi, jadi seperti maling yang masuk lewat bawah, lalu keluar lewat atas. Lucu bukan?" Laura hanya menyeringai mendengar penjelasan Bapak itu, lalu tersenyum karena akhirnya rasa penasarannya tentang mengapa kendi itu dinamakan kendi maling terjawab. Laura mengikuti lagi langkah Bapak itu yang berjalan ke arah lain. "Sayang, maafin Abang, dong!" Bisik Banyu di telinga Laura tapi sama sekali tidak digubris oleh wanita cantik itu. "Ini ayaman ketak, Non. Anyaman yang terbuat dari tanaman liar yang bernama ketak. Ada berbagai macam barang yang terbuat dari anyaman ini." Bapak itu mengulurkan sebuah tas tangan pada Laura, tas anyaman berbentuk bulat yang terlihat cantik dan unik, Laura tersenyum berencana mengambil tiga tas dengan bentuk dan warna yang sama untuk dirinya dan kedua sahabatnya. "Sayang kamu tau enggak tas apa yang bikin hampa?" tanya Banyu memberi Laura tebakan saat Laura tengah memilih tas. "Enggak," jawab Laura singkat. "Hidupku taspa-mu!" jawab Banyu sambil mengulum senyum. "Garing!" sembur Laura pada suaminya, tanpa senyum apalagi tawa karena usaha Banyu menghibur atau merayunya itu. Laura hanya sekilas melirik pada dua orang wanita yang berada tidak jauh dari mereka dua orang gadis yang sepertinya seusia dirinya. Pramuniaga di centra oleh-oleh itu, mereka membawa keranjang belanjaan siap membawakan barang yang akan Laura beli. Laura menyerahkan tas yang telah dipilihnya kepada salah seorang gadis itu. Laura lalu mengikuti langkah Bapak tadi ke pojok toko yang lain di mana ada beberapa pilar kayu yang berukir indah dengan berbagai kain tenun yang tersampir di atas raknya. "Ini juga kain tenun khas sini, Nona. Memiliki corak dan warna yang khas dan indah." terang lelaki yang juga seorang pemandu wisata itu. Laura menyisir setiap sudut bangunan itu, ia kurang tertarik dengan kain tenun itu walaupun Laura akui semua kain itu indah. Laura melangkah menuju sebuah rak di mana terjajar rapi botol berwarna kecoklatan dengan berbagai ukuran. Banyu tetap setia berada di sisinya walau Laura tetap saja cuek padanya. "Ini minyak gosok sumbawa Nona, Bagi warga Sumbawa, nama minyak Sumbawa yang dibuat dari ramuan rahasia ini terkenal akan keampuhan dan khasiatnya untuk mengobati berbagai penyakit, contohnya adalah menyembuhkan patah tulang, mengobati luka bakar, lecet, keseleo, hingga masalah kejantanan." Bapak itu mengulum senyum sambil melirik Banyu saat mengucapkannya membuat Laura sedikit tidak nyaman mendengarnya, juga merasa malu. "Percaya atau tidak, konon rangkaian proses pembuatan minyak Sumbawa ini sangat sakral baik dalam memilih jenis dan jumlah kelapa hingga cara pembuatannya. Pertama, minyak Sumbawa ini hanya boleh dibuat di Bulan Muharam (kalender Islam) saja. Kedua, minyak ini hanya boleh dibuat oleh para pria saja. Karena menurut kepercayaan masyarakat lokal, jika para perempuan ikut membuat minyak tersebut, maka akan merusak kualitas." lanjut Bapak itu menerangkan, tanpa banyak bertanya lagi Laura mengambil beberapa botol berukuran besar minyak itu dan memasukkannya ke dalam keranjang. "Eh, Sayang, kamu banyak banget beli minyak itu. Nanti disangkanya kejantanan Abang bermasalah lagi!" bisik Banyu pada Laura, pipi Laura malah bersemu merah mendengarnya. "Ini buat, Mbu sama Mang Simin yang suka ngeluh pegel-pegel! Buat Mama juga, makanya aku beli banyak. Udah, ah, sana jangan deket-deket!" jawab Laura sambil mendorong pelan d**a Banyu yang mencondongkan tubuh ke arahnya. "Eh, ada ini juga," ujar Banyu saat tertarik pada deretan botol yang ada di sisi lain tempat itu. Laura yang penasaran benda apa yang menarik perhatian suaminya turut mendekat. "Betul, Tuan, kami juga menyediakan s**u kuda liar Sumbawa. Kami menyediakan s**u segarnya juga produk olahannya seperti permen s**u ini." Bapak berbaju putih itu langsung menjelaskan sambil menunjukkan kotak berwarna biru berisi permen s**u kuda liar. Laura langsung meraih kotak itu melihat dan membaca tulisan yang tertera di kotak itu lalu memasukkan beberapa kotak permen ke dalam keranjang belanjaan. "Sayang, katanya s**u ini bisa untuk menambah stamina malam, lho!" bisik Banyu. "Stamina malam, maksudnya?" jawab Laura tidak mengerti. "Stamina buat itu." Banyu menjawab sambil menaik turunkan alisnya memberi kode pada sang istri, Laura yang langsung faham memutar malas bola matanya lalu meninggalkan suaminya ke tempat lain. Sementara Banyu sibuk memasukkan beberapa botol s**u ke keranjang belanjaan mereka lalu langsung menyusul langkah istrinya tidak ia hiraukan dua orang gadis yang memegang keranjang belanjaan sambil mengulum senyum. Banyu melihat Laura sedang memegang sebuah keranjang anyaman berisi permen warna-warni dengan mulut yang sibuk mengunyah. "Sayang ini permen apa?" tanya Banyu sambil mengambil sepotong benda kenyal berwarna hijau terang dan langsung memasukkan mulutnya. "Ini bukan permen, Tuan, tapi dodol rumput laut." Bapak itu langsung menerangkan karena Laura yang tidak menjawab pertanyaan suaminya. "Em ... ini enak, kami ambil banyak, Pak." Bapak itu tersenyum sempringah lalu mengisyaratkan kepada salah seorang pramuniaga lain untuk menyiapkan pesanan Banyu. "Kami juga memiliki koleksi mutiara Lombok, Nona. Mari ikut saya." Kedua mata Laura berbinar mendengar ucapan Bapak itu lalu langsung mengikuti langkahnya meninggalkan Banyu yang masih sibuk memakan dodolnya. "Dasar perempuan, kalau denger perhiasan langsung semangat!" gerutu Banyu lalu menyusul ke mana istrinya itu pergi. Sebuah tempat yang berbeda bangunan dengan tempat di mana mereka berada sebelumnya, tempat yang lebih mirip toko perhiasan dengan berbagai bentuk, ukuran dan warna mutiara mendominasi. Ia tersenyum melihat istrinya sedang mencoba sebuah kalung mutiara berwarna keemasan di depan sebuah cermin. "Cantik, kamu cocok banget pake itu," ujar Banyu yanh duduk di sebuah kursi di depan etalase perhiasan. "Siapa yang minta pendapat Abang!" gerutu Laura. "Jadi pendapat Abang udah enggak penting?" tanya Banyu sambil berjalan mendekatinya. "Emang aku penting buat Abang? Abang juga cium-cium wanita lain di depan aku!" sindir Laura sambil menaruh kalung yang tadi ia coba lalu menggantinya dengan kalung lainnya kali ini kalung rangkaian mutiara air tawar berwarna kebiruan. "Sayang, siapa yang cium Zara, sih? Tadi, 'kan, Zara yang nyosor duluan. Kejadiannya juga cepet banget, Abang enggak sempet menghindar!" jawab Banyu halus. "Enggak sempet menghindar sampe dua kali?" tanya Laura sambil menatap tajam kedua mata Banyu. Banyu menghela napas dalam, "Iya, Abang minta maaf, Abang emang salah, kalau kamu enggak mau maafin, Abang. Abang pergi aja." Banyu melenggang meninggalkan Laura yang ternyata tidak mempedulikan semua perkataannya tadi, wanita itu masih sibuk dengan perhiasan yang dicobanya. "Abang tunggu!" Banyu tersenyum senang, ternyata jurusnya berpura-pura meninggalkannya ampuh juga.     
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN