Matahari yang baru naik menuju puncak tertingginya bersinar redup, seperti redupnya suasana hati pada penghadir upacara pemakaman seorang ibu yang sangat dicintai putra - putrinya, Celine memeluk pusara sang ibu yang baru saja terbenam dia atas gundukan tanah yang masih basah,
sedangkan kedua adiknya berjongkok di hadapannya.
"Cel, sabar, ya." Meisya datang mendekat lalu memeluk sahabatnya itu.
Air mata Laura menitik, sungguh ia pun pernah merasakan hal yang sama, sakit ditinggalkan oleh seorang ibu telah ia rasakan sejak dahulu.
Laura melepaskan genggaman tangannya di lengan Banyu, "Bang, aku ke Celine dulu, ya."
Banyu yang berdiri berdampingan dengan Excel mengangguk, mengerti, ia faham jika saat ini Celine pasti membutuhkan dukungan dari sahabatnya di saat seperti ini. Laura melangkahkan kakinya mendekati makam yang bertabur bunga segar itu.
"Gue udah enggak punya ibu, Sya. Udah enggak ada siapa - siapa lagi yang bisa jadi sandaran gue!" Celine terisak di dalam pelukan Meisya.
"Lu, salah, Cel. Elu masih punya kita, elu juga punya mereka," ujar Laura sambil melirik kedua adik lelaki Celine yang mengangguk mengiyakan ucapan Laura.
"Iya, Cel, itu bener," sambung Meisya yang masih memeluk Celine dari sebelah kirinya sedangkan Laura kini memeluknya dari sebelah kanan, sungguh kedua sahabatnya itu berusaha setulus hati untuk menguatkan Celine yang telah berduka.
"Cel, Lu udah mau pulang? Kita pulang bareng, ya." Celine mengangguk menyetujui ajakan Laura, melihat makam juga sudah sepi karena para tetangga yang turut mengatarkan jenazah ibunya satu persatu telah meninggalkan tempat itu.
Mereka bertiga jalan sambil berpelukan meninggalkan makam wanita yang telah berjuang melawan kanker selama bertahun - tahun itu, berulang kali Celine menoleh demi melihat kembali makam sang ibu, dengan air mata yang terus meleleh.
Kedua adiknya berjalan di belakang mereka diikuti Banyu dan Excel, yang berjalan tanpa menguntai kata.
Banyu membukakan pintu belakang mobilnya agar Celine dan Meisya bisa masuk, lalu beralih membukakan pintu depan agar sang istri tercinta bisa duduk di sebelahnya. Sedangkan kedua adik Celine bersama Excel menumpang mobil yang pemuda itu bawa.
"Kenapa, kalian pergi dari hotel begitu aja? Kalian sama sekali enggak ngasih tau gue, kalian baru ngasih kabar saat Ibu udah meninggal," sesal Laura mengingat selama ini ia juga telah dekat dengan wanita yang kerap ia sapa Ibu.
"Sorry, Ra. Kemarin kalian, 'kan, lagi ada acara penting, jadi kita enggak mau ganggu suasana bahagia kalian dan keluarga. Pas Doni telepon kita langsung buru - buru pulang, kita juga sama sekali enggak nyangka Ibu bakal pergi secepat ini," teramg Meisya dengan suara paraunya.
"Awalnya gue juga cuma ngira Ibu kambuh biasa, tapi ternyata, ibu pergi buat selamanya." Celine kembali tergugu, teringat kembali detik - detik meninggalnya sang ibunda.
"Cel, sabar, ya. Sekarang yang bisa kita lakukam hanyalah berdoa semoga ibu kamu ditempatkan di tempat terindah," ujar Banyu lembut mencoba membesarkan hati sahabat istrinya itu.
Siapa sangka ucapan Banyu malah membuat tangis Celine semakin pilu, Laura dan Banyu saling tatap sejenak lalu menoleh ke belakang menatap penuh iba pada Celine yang mambenamkan wajahnya pada pelukan Meisya, dengan lembut gadis itu membelai kepala sang sahabat.
* Dita Andriyani *
Laura dan Meisya masih setia menemani Celine yang tengah dirundung duka, di dalam kamarnya.
"Bang, cewek - cewek lagi oada ngapain, ya?" bisik Excel pada Banyu, mereka duduk di karpet yang terpasang di ruang tamu.
"Ya ... paling lagi nangis sambil berpelukan," jawab Banyu asal, sambil memainkan ponselnya.
"Bang, aku mau pulang, Mama minta di anterin ke rumah temennya." Tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponselnya, berbalas pesan dengan sang Mama.
"Ya udah, sana pulang dulu, bentar lagi juga Abang mau ajak Laura pulang," jawab Banyu, Sama, seperti Excel yang tidak mengalihkan pandangan dari layar telepon pintarnya.
Excel bangun lalu berjalan mendekati kamar di mana ketiga wanita itu berada, benar kata Banyu dari pintu yang memang tidak tertutup Excel bisa melihat ketiga gadis itu berpelukan dia atas tempat tidur kayu.
Excel berniat mengetuk daun pintu dan berpamitan pada mereka, tapi tangannya mengambang di udara ia lebih memilih mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan.
"Ra apa menurut elu Tuhan mau maafin gue?" lirih Celine, suaranya parau tapi masih cukup terdengar oleh Excel yang kini memilih menyembunyikan tubuhnya di balik dinding.
"Gue emang bukan orang alim, tapi gue tau kalau Tuhan pasti akan mengampuni semua dosa hambanya yang mau bertaubat," jawab Laura.
"Kenapa tiba - tiba elu ngomong begitu, Cel?" tanya Meisya yang merasa aneh dengan pertanyaan sahabatnya itu.
"Kematian Ibu bikin gue takut akan semua dosa yang pernah gue lakukan, apalagi elu denger sendiri pesan terakhir Ibu?" Meisya mengangguk pelan.
"Emang Ibu pesen apa?" tanya Laura tidak mengerti, itu membuatnya menyesal tidak bisa mendampingi Celine di saat terberat hidupnya, tapi ia juga paham jika ini adalah konsekuensinya yang sudah memutuskan untuk menikah, tidak akan sebebas dulu.
"Ibu bilang Ibu bakalan nunggu semua anak - anaknya di pintu surga, tapi gimana gue bisa masuk surga kalau gue masih begini, gue kotor, gue berlumur dosa, Ra," ujar Celine dengan tangis pilunya, Laura mendekap erat tubuh Celine yang bergetar karena isakkan.
Excel yang mendengarkan menggelengkan kepala, ia tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, ia kembali memasang telinga untuk kembali mendengarkan pembicaraan mereka.
"Iya, Cel, gue yakin kalau elu bisa bersih dari semua dosa yang udah lu lakukan, asal lu bener - bener mau bertaubat," ujar Laura membesarkan hati sahabatnya, Meisya hanya membatu, ia merasakan ribuan tangan yang mencubiti hati kecilnya.
"Iya, pertama - tama gue harus bilang sama Daddy Tama kalau gue enggak bisa jadi simpenannya lagi, gue harap dia bisa ngerti," jawab Celine sambil mengusap air matanya.
Kedua Excel hampir melompat dari tempatnya saat mendengar ucapan Celine, jadi selama ini dia seorang gadis peliharaan Om - om dan Daddy yang sempat mereka bicarakan bukanlah Daddy kandung mereka tapi sugar daddy.
Seharusnya Excel sudah tidak perlu terkejut seperti ini karena di sekolah pun sering terdengar desas desus, kalau mereka memang bukan gadis baik - baik, tapi Excel tetap mengangkal dan berharap mereka tidak senakal itu, tetapi ternyata kini ia mendengar dengan telinganya sendiri jika itu benar.
Excel mengurungkan niatnya untuk berpamitan dengan mereka, ia berjalan cepat keluar rumah bahkan tidak mempedulikan Banyu yang bertanya padanya apakah dia sudah berpamitan.
* Dita andriyani *
Dimas memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah yang tampak sepi, hanya ada sebuah motor besar yang terparkir di teras.
Lelaki itu menghembuskan napas dalamnya, berharap kegugupannya akan berganti dengan ketenangan karena apa yang dia lalukan.
Ia berjalan mendekati pintu utama berdaun ganda yang hanya tertutup separuh lalu mengetuknya.
Seorang lelaki berjalan mendekat, "Hay, Kak Dimas. Pasti mau jemput Kak Nabilla, ya?"
"Iya, Sam. Nabilla ada, 'kan?" jawab Dimas santai, ia jadi tambah yakin kalau menarik dan menghembuskan napas dalam bisa menghilangkan kegugupan, buktinya dia bisa sesantai ini sekarang.
"Ayo masuk dulu, bentar lagi juga Kak Nabilla keluar," ajak Samuel, Dimas menuruti ajakannya duduk santai di ruang tamu.
"Kak, aku enggak nyangka, deh, Laura, gadis imut yang dulu sering aku godain kalau aku maen ke rumah sekarang jadi wanita yang sangat cantik." Dimas tertawa kecil mendengar ucapan Samuel.
"Seingat Kakak dulu, dari dulu Laura memang cantik," jawab Dimas.
"Iya, ya, sayang dia udah nikah, kalau enggak, 'kan, siapa tau aja kita bisa iparran," gumam Samuel.
"Semoga kita bisa iparran, Samuel, dengan aku bersama Nabilla kita juga akan menjadi ipar bukan?" ujar Dimas tentu saja di dalam hatinya, hati yang merasakan gejolak aneh, mendadak gugup dengan detakan jantung yang terasa seperti orang yang baru saja lari maraton kiloan meter saat melihat Nabilla berjalan mendekat lengkap dengan senyum manisnya.
"Mas Dimas udah lama?" tanya Nabilla setelah ia berdiri tidak jauh dari mereka.
"I-iya lama, eh, eng-enggak, baru bentar," jawab Dimas. Sepertinya ia lupa akan metode menarik dan membuang napas yang tadi ia praktekkan hingga dirinya sangat gugup hamya untuk menjawab sapaan Nabilla.
"Ayo katanya mau makan siang. Jadi?" tanya Nabilla membuyarkan lamunan Dimas yang masih berusaha mengusai dirinya agar tidak terus merasakan kegugupan.
"Iya, jadi," jawab Dimas sambil berdiri dar duduknya, ia bahkan tidak mempedulikan Samuel yang tercengang melihat mereka berdua.
"Hah! kayak ABG aja!" gerutu Samuel saat Dimas dan kakaknya sudah menjauh.
* Dita Andriyani *
"Kita mau makan di mana?" tanya Dimas pada Nabilla saat ia telah menjalankan mobilnya, dirinya sudah merasa lebih baik, tidak segugup tadi dengan debaran jantung yang telah mulai normal.
"Ehm ... terserah Mas Dimas aja, deh, Mas Dimas pasti lebih tau di mana tempat makan yang enak. Aku, 'kan, udah lama enggak tinggal di Jakarta." Dimas tersenyum mendengar jawaban Nabilla, lalu menjalankan mobilnya ke rumah makan Padang.
"Kita makan makanan terenak sedunia, ya," ujar Dimas saat mereka telah sampai di tempat tujuan.
Berbagai makanan khas rumah makan Padang telah tertata apik di atas meja dengan piring - piring yang tersusun cantik.
"Di Singapore, enggak jauh dari rumahku juga ada rumah makan Padang, tapi tetep aja rasanya beda dengan yang ada di sini, walaupun pemiliknya memang orang Padang tapi rasanya tetap beda," ujar Nabilla sambil mulai memakan rendang paru yang ada di piringnya.
"Mungkin karena suasananya, atau bisa juga terpengaruh dengan siapa kita menikmati makanannya." Nabilla menatap wajah Dimas mendengar ucapannya, lalu mengulum senyum, membuat jantung lelaki itu terasa mau melompat lagi dari tempatnya.
"Mas Dimas bisa aja!" ujar Nabilla.
"Kamu sama Samuel tinggal serumah di sana?" tanya Dimas, bukan ingin tahu urusan orang tapi ia rasa pembicaraan seperti ini ia perlukan bagi mereka, sebagai langkah pendekatan.
"Enggak, Samuel tinggal di tempat kost, kalau aku, tinggal di rumah suamiku," jawab Nabilla.
Dimas tersedak gulai otak yang sedang di makannya.
(pembaca tersayang sejak kemarin cerita kesayangan kita ini ternyata sudah terkunci, ya. Karena semakin banyaknya pecinta cerita ini. Sedikit Author mau menjelaskan cara beli koin, buat yang belum ngerti.
Beli koin: Caranya pertama buka profil innovel kalian, terus klik toko, terus pilih jumlah koin yang akan kalian beli dan nanti ada berbagai pilihan p********n kalian tinggal pilih sesuai yang kalian bisa.
Tapi buat yang enggak bisa/mau beli koin jangan sedih, kalian bisa pake koin gratis yang bisa kalian dapat tiap hari, hanya saja sabar adalah kuncinya.
Caranya, buka innovel terus klik gambar kado di bagian atas layar. Klaim koin gratis setiap hari, terus bisa juga selesaikan misi baca cerita gratis selama 15 dan 45 menit buat dapetin bonus koin tambahan. Tinggal klaim dan otomatis koin gratis masuk dompet dan bisa digunakan.
Buat yang protes, "kok koinnya banyak banget?"
Penjelasannya begini, jumlah koin yang dibutuhkan untuk membuka bab, di sesuaikan dengan jumlah kata dalam bab tersebut. Jadi semakin banyak kalian ngeluarin koin itu artinya semakin panjang bab yang kalian baca.
Sekian pemberitahuan author, kalau masih belum jelas kita bisa ngobrol di akun F B author Dita Andriyani atau akun I G dita_author. Terima kasih.)