"Pagi Ndan."
"Pagi Li."
"Di cari Ines Ndan, katanya ada yang penting."
"Ines?" Ali mengangguk, "Dimana dia?"
"Ada di kantin, lapar katanya."
"Kalau sudah kembali, suruh ke ruangan saya."
"Siap Ndan."
Vino memasuki ruang kerjanya, menyalakan laptop dan mulai mempelajari beberapa berkas yang sudah ada di atas mejanya, kasus perampokkan di sertai k*******n sudah terungkap.
Pelakunya mantan supir pribadi si pengusaha yang sakit hati karena saat anaknya sakit, berniat meminjam uang dengan p********n potong gaji, tapi di tolak dengan kasar, pengusaha tersebut justru memaki dan menyumpahi anak si sopir agar tak tertolong, lebih parahnya lagi dia di pecat saat itu juga.
Karena itulah, sang mantan sopir yang sakit hati, tega menganiaya mantan majikan dan membawa beberapa barang berharga seperti uang tunai, emas dan beberapa koleksi jam mahal mantan majikannya.
Kali ini kasus pembunuhan siswi SMP, mayatnya di temukan di rumah kosong, berdasarkan hasil visum terdapat luka pukulan benda tumpul di beberapa bagian tubuhnya, tapi tak di temukan bekas kejahatan s*****l.
Tok tok tok
"Masuk."
Ceklek
"Bapak apa - apaan sih!"
Vino menatap seseorang, yang baru saja datang dan langsung marah - marah, dia Ines.
"Datang itu ucap salam, bukannya marah - marah, nggak sopan banget."
Ines langsung terdiam, merutuki kebodohannya sampai lupa mengucapkan salam saking emosinya, apalagi di depan bigbos pemilik perusahaan dimana dia bekerja.
"Ma ... maaf pak, saya salah."
"Hm, ada apa pagi - pagi kemari? Nggak kerja? Mau makan gaji buta?" Kata Vino, menaikkan satu alisnya.
Ines membelalakkan matanya, mendengar perkataan Vino yang lagi - lagi mengenai gaji buta.
"Ish, bapak kalau bicara asal keluar saja tanpa filter."
"Terus, mau apa kamu datang kemari di jam kerja?"
"Saya mau protes."
"Protes apa?"
"Maksud bapak apa? Kenapa saya di tunjuk jadi sekretris bapak?"
"Oh itu."
"Ko, oh?"
"Terus, saya mesti jawab apa dong?"
"Jawab kenapa bapak suruh saya jadi sekretaris."
"Karena saya mau."
"Bukan itu."
"Terus?"
"Alasan lainnya."
"Karena saya butuh sekretaris."
"Lainnya 'kan ada pak, yang lebih berpengalaman dan cantik."
"Saya maunya kamu."
"Saya nggak mau."
"Terserah."
"Oke, terima kasih."
"Untuk?"
"Tadi katanya terserah, berarti saya bisa tolak dong permintaan bapak."
"Nggak bisa!"
"Kenapa?"
"Karena kamu harus jadi sekretaris saya."
"Saya nggak mau pak."
"Harus mau."
"Ko maksa sih."
"Oke, sekarang saya kasih kamu dua pilihan, kamu terima tawaran saya menjadi sekretaris atau kamu saya pecat dengan tidak hormat."
"Oke, saya keluar dari perusahaan bapak, hari ini juga." Jawab Ines mantap.
"Tunggu dulu, saya belum selesai bicara, jangan asal potong, nggak sopan kamu."
"Maaf."
"Dengar nona Ines, asal kamu tahu ya, jika karyawan keluar dari perusahaan saya apalagi di pecat dengan tidak hormat, sudah dipastikan dia tak akan bisa mencari pekerjaan, dan satu lagi kalau kamu keluar dari perusahaan, maka kamu saya pecat juga dari caffe."
"Apa? Caffe?" Vino mengangguk.
"Yups, caffe tempat kamu bekerja yang tempo hari kita bertemu, itu salah satu caffe saya."
"Bapak jangan becanda."
"Buat apa saya becanda? Memangnya ada untungnya buat saya?"
"Bapak serius pemilik caffe?" Vino mengangguk.
"Kalau nggak percaya silahkan tanya manager caffe, nama caffe Oniv, itu nama saya yang di balik."
Ines makin tak bisa berkata apa - apa, pikirannya sudah blank karena terkejut, dia bekerja di dua tempat yang semuanya milik Vino, pria menyebalkan di depannya.
"Bagaimana nona Ines?"
Ines mendengus kesal, "Boleh saya memikirkannya dulu?"
"Memangnya kamu punya pikiran?" Kata Vino sambil terkekeh geli, karena wajah Ines yang sudah cemberut.
"Ish, bapak." Ines mencebik kesal.
Vino tertawa, "Oke, saya kasih waktu sepuluh menit."
"Cepat amat?"
"Lima menit."
"Pak Vino."
"Satu menit."
"Oke, sepuluh menit."
Vino tersenyum puas penuh kemenangan, kena kamu gadis nakal, gue yakin tawaran gue nggak bakal bisa di tolak, batin Vino.
Sepuluh menit sudah berlalu tapi Ines belum juga memberikan jawabannya, Vino yang sedang fokus membaca berkas kasus baru, juga lupa, bahkan dia tak ingat jika di dalam ruangannya ada Ines.
Ines menatap Vino, ganteng sih, apalagi kalau lagi serius begitu, gantengnya benar - benar maksimal, tapi sayangnya dia pria paling menyebalkan yang aku temui, benar - benar bossy, memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas aku hmm, gurutu Ines dalam hati.
Tok tok tok
"Masuk."
Ceklek
"Pagi Ndan."
"Pagi, ada apa Li?" Jawab Vino tanpa menoleh Ali, matanya masih fokus pada laptop di depannya.
"Ini hasil olah TKP ulang yang kemarin Ndan." Ali menyerahkan map pada Vino.
"Oke, terima kasih."
"Sama - sama Ndan, kalau begitu saya permisi." Kata Ali dan Vino hanya mengangguk saja.
"Ines, kamu masih di sini." Tegur Ali, saat akan keluar baru melihat Ines yang duduk di sofa, Vino yang mendengar teguran Ali langsung menatap ke arah sofa, dia baru ingat ada Ines di ruangannya, Vino melirik jam ternyata batas waktu yang di berikan untuk Ines berpikir sudah terlewat sejak tadi.
"Iya mas." Kata Ines, sambil tersenyum memamerkan deretan giginya.
"Sudah selesai mikirnya?" Kata Vino, membuat Ines dan Ali menatapnya.
Ines mengangguk, "Iya, saya mau."
Vino menyunggingkan senyumnya, " Bagus, deal ya mulai hari ini."
Ines mengangguk, Ali menatap Vino dan Ines bergantian, dia bingung dengan apa yang di bicarakan mereka berdua.
"Sekarang kamu balik ke kantor dan mulai bekerja, tanyakan sama Joko apa saja tugas kamu."
"Baik, kalau begitu saya permisi." Pamit Ines yang hanya dijawab dengan anggukkan kepala oleh Vino.
Ines keluar ruangan Vino bersama Ali, "Tadi deal apa sama Ndan Vino, Nes?" Ali akhirnya bertanya karena penasaran.
Ines menatap Ali, "Komandan mas Ali nyebelin banget tahu nggak, masa Ines di paksa jadi sekretarisnya, kalau nggak mau Ines di pecat dengan konsekuensi, nggak akan bisa kerja dimana - mana."
"Bagus dong, perusahaan Ndan Vino itu paling besar, kamu beruntung bisa jadi sekretaris Ndan Vino."
"Beruntung apanya sih mas, yang ada Ines apes terus sejak ketemu dia."
"Hush, nggak boleh bilang begitu, kamu belum kenal beliau saja, beliau orang yang baik dan peduli bawahan, selama mas di bawah pimpinan Ndan Vino, mas merasa nyaman karena Ndan Vino selalu berbaur dengan bawahannya."
"Iya deh, atasannya jadi di puji." Ali terkekeh mendengar perkataan Ines.
"Bukan masalah atasan Nes, nanti kalau kamu sudah benar - benar mengenal Ndan Vino, baru kamu percaya ucapan mas."
"Iya iya, ya sudah Ines balik ke kantor dulu ya mas, selamat bekerja, Assalamuallaikum."
"Waalaikumsalam, hati - hati di jalan."
Tanpa Ines dan Ali sadari, sejak tadi ada yang bersembuyi di balik pilar, mendengarkan perbincangan mereka berdua, saat ini dia tengah tersenyum puas, siapa lagi jika bukan si pejuang cinta alias Vino.
Saat Ines dan Ali keluar ruang kerjanya, Vino memang keluar ruangannya menuju ruang foto copy, tapi langkahnya langsung terhenti saat dia melihat Ines dan Ali yang sedang berbincang, dia penasaran ingin tahu apa yang dua orang itu bicarakan, dan ternyata Ali memujinya di depan Ines.
Vino melanjutkan langkahnya menuju ruang fotocopy sedangkan Ines keluar Polres.
Ines memesan ojol karena belum ada uang untuk membeli motor lagi, Ines asik dengan ponselnya, sampai teguran dari seseorang membuat perhatiannya dari ponsel beralih.
"Lu pelayan caffe itu 'kan? Ngapain lu di sini." Ines menatap ke samping kirinya, disana berdiri wanita yang tempo hari sudah menamparnya di caffe, Intan.
Ngapain mak lampir kesini? Oh, mungkin mau bertemu dengan pacanya, dasar om - om nyebelin, sama kaya pacarnya ini, mak lampir nyebelin, batin Ines.
Ines tak menjawabnya, dia kembali melihat layar ponselnya, memastikan pesanan ojolnya sudah sampai mana dan ternyata, "s**l!" Gerutu Ines, karena pesanan ojolnya di cancel driver.
"Apa lu bilang? Songong banget lu ya!" Bentak Intan sambil mendorong bahu Ines.
"Apa sih mak lampir, jangan bikin masalah deh."
"Mak lampir? Kurang ajar banget lu ngatain gue mak lampir? Pelayan nggak tahu diri."
Plak
Ines terkejut karena tiba - tiba saja Intan menamparnya, "Kenapa anda menampar saya?" Kata Ines sambil terus mengusap pipinya yang terasa panas karena kerasnya tamparan Intan.
"Itu pantas buat lu, cewek udik yang nggak punya sopan santun."
Plak
Intan yang kali ini terkejut, karena Ines membalas tamparannya.
"Jadi orang jangan sok jago." Kata Ines sambil melangkah pergi, namun Intan malah mendorongnya hingga tersungkur, hampir saja Ines tertabrak motor yang baru masuk area Polres, untung saja pengemudi motor menarik remnya tepat waktu.
"Aww." Seru Ines karena lutut dan sikunya terluka, seruan Ines dan juga suara rem motor yang terdengar keras, menarik perhatian orang di sekitar, termasuk anggota polisi yang berlarian membantu Ines berdiri.
"Maaf pak saya nggak sengaja, saya dari luar mau masuk tapi tiba - tiba mbak ini jatuh tersungkur, saya kaget langsung tarik rem saja." Kata pengemudi motor.
"Kenapa mbak bisa jatuh?" Tanya salah satu polisi pada Ines.
"Saya di dorong sama dia pak." Jawab Ines sambil menunjuk Intan.
"Mbaknya kenapa dorong mbak ini? Ada masalah? Kalau ada selesaikan baik - baik jangan pakai kekerasan."
"Dia dulu yang bikin masalah sama saya pak." Jawab Intan.
"Ko saya? Situ yang mulai." Kata Ines.
Sementara itu di dalam polres, Vino yang baru selesai dari ruang foto copy tak sengaja melihat keributan di luar, karena penasaran diapun berjalan mendekati pusat keributan.
"Ada apa ini!" Semua mata menatap ke belakang Intan, Vino berdiri dengan satu tangan di masukkan ke kantong celana, menatap semua orang dengan tajam, tatapan Vino selalu sukses membuat siapapun yang di tatapnya merasa takut, Vino sempat terkejut saat melihat Ines yang terluka, tapi sebisa mungkin dia bersikap tenang.
"Ada yang bisa jelaskan?" Tanya Vino lagi.
"Siap, Izin menjelaskan Ndan." Vino mengangguk, mendengar semua penjelasan dari salah satu anggotanya.
"Kalian berdua ikut keruangan saya, Bripda Ilma tolong bantu papah dia." Kata Vino setelah mendengar penjelasan anggotanya, berjalan melangkah ke ruangannya.
Intan berjalan terlebih dahulu, Ines di bantu Bripda Ilma karena lututnya yang terluka sulit untuk jalan.
Sampai di ruang kerja Vino, Ines dan Intan duduk di sofa tamu, sedangkan Vino bersandar pada mejanya, menatap mereka berdua.
"Intan, kenapa dorong Ines?"
"Dia dulu yang mulai Vin, gue cuma bela diri."
"Bela diri apaan? Situ nampar saya dulu, ya gantian dong biar adil saya tampar situ, situ malah dorong saya." Protes Ines, Vino hanya memperhatikan dua wanita di depannya yang sedang berdebat.
"Heh, kalau lu nggak bilang gue mak lampir, gue juga nggak emosi ya."
"Lah, memang iya situ mak lampir."
"Jaga bicara lu ya!"
"CUKUP!" Sentak Vino sambil menggebrak meja.
"Kalian ini, bikin malu tahu nggak! Masalah sepele saja sampai berantem, sudah kaya preman saja!"
"Jadi, Intan lu tampar Ines karena dia bilang lu mak lampir?" Intan mengangguk, "Ines tampar lu karena nggak terima di tampar dan lu balas Ines lagi dengan mendorongnya?" Intan kembali mengangguk.
"Dia yang mulai Vin! Gara - gara dia juga lu ninggalin gue di parkiran caffe."
Vino jadi ingat malam saat Intan menampar Ines, karena kesal Intan yang terus marah - marah, Vino pergi meninggalkan Intan di parkiran.
"Minta maaf!" Kata Vino membuat Intan dan Ines menatapnya.
"Apa? Ma .... maksud lu apa Vin?"
"Minta maaf sama Ines, nggak seharusnya lu bar - bar hanya karena masalah sepele."
"Nggak! Gue nggak akan pernah minta maaf sama cewek udik ini Vin!"
"Intan, minta maaf atau jangan pernah temui gue untuk selamanya."
Bukan hanya Intan tapi juga Ines yang terkejut mendengar perkataan Vino.
"Vin, lu .... "
"Gue hitung sampai lima, satu."
"Vino, siapa dia sampai lu bela?"
"Dua."
Intan menatap Vino dan Ines bergantian, nafasnya sudah naik turun menahan emosi.
"Tiga."
"Oke, fine, gue minta maaf." Kata Intan menatap Vino.
"Bukan sama gue, tapi sama Ines."
"Gue minta maaf sama lu."
"Yang benar dong Tan, mana tangan lu?" Tegur Vino membuat Intan makin kesal.
Intan mengulurkan tangannya, "Gue minta maaf sama lu."
"Iya saya maafin, saya juga sama minta maaf." Kata Ines yang menyambut uluran tangan Intan.
"Gitu dong, 'kan adem liatnya, ngapain coba kalian berantem, sekarang ada apa lu kesini Tan?" Vino berjalan menuju sofa single dan duduk disana.
"Gue mau antar makan siang buat lu, sebagai prmintaan maaf karena sudah buat lu kesal." Kata Intan sambil tersenyum, gaya bicaranya yang manja membuat Ines mual.
Apaan ini mak lampir, manja benar sama si om, jijik liatnya, batin Ines.
"Mmm .... maaf pak, saya permisi keluar, harus kembali ke kantor." Kata Ines menginterupsi.
Vino hanya melirik Ines tanpa menjawabnya, "Masih ada yang mau di bicarakan Tan?" Tanya Vino pada Intan dan Intan menggeleng.
"Kalau begitu, terima kasih makan siangnya, lu boleh keluar."
"Vin, gue mau makan siang sama lu."
"Sorry Tan gue nggak bisa, banyak kerjaan."
"Ya sudah gue pulang, lu buruan keluar juga, ngapain disini lama - lama." Kata Intan menatap Ines.
"Ines tetap di sini."
"Apa? Tapi Vin."
"Gue ada perlu sama dia, please Tan nggak usah bikin masalah lagi, silahkan keluar." Kata Vino.
"Oke, gue keluar." Kata Intan sambil melangkah pergi meninggalkan Vino dan Ines.
Vino berdiri menuju mejanya, mengambil kotak P3K yang selalu ada di laci, membawanya mendekati Ines.
Ines menatap bingung Vino, "Saya cuma mau obati luka kamu, nanti infeksi kalau nggak di obati."
"Sa .... saya nggak apa -- apa ko pak, bisa obati sendiri, bapak jangan berlebihan."
Vino menatap Ines, "Jangan bawel dan jangan kepedean, saya obati kamu karena mulai saat ini, kamu sekretaris saya dan sebagai bentuk kemanusiaan saja, saya nggak mau ya di bilang atasan kejam, bawahannya terluka malah nggak di obati." Kata Vino membuat Ines mendengus kesal.
Vino menarik tangan Ines yang terluka, "Aww, sakit! Kasar banget sih, kalau nggak ikhlas nggak usah, pantes jones terus, kasar sama cewek." Gerutu Ines membuat Vino kembali menatapnya.
Apa dia bilang? Gue kasar? Gue jones? Dasar gadis nakal, gerutu Vino dalam hati.
Vino menaruh kotak P3K di atas meja, menatap Ines yang saat ini juga tengah menatapnya, Vino mendekatkan wajahnya pada Ines dan Ines mundur perlahan hingga tubuhnya bersandar pada sandaran sofa, Vino tersenyum puas melihat wajah Ines yang memucat.
Wajah Vino tepat di depan wajah Ines, hanya berjarak beberapa senti saja.
"Ba .... bapak mau apa?" Tanya Ines gugup, jantungnya sudah mulai kebat kebit tak karuan, begitu juga dengan Vino yang merasakan degupan jantungnya makin menggila.
Vino menatap mata indah Ines, "Saya cuma mau buktikan, jika saya bukan pria kasar, saya pria yang lembut dalam memperlakukan wanita." Hembusan nafas Vino yang beraroma mint, dan juga suara Vino yang makin serak membuat Ines merinding.
Ines memejamkan matanya, dia pasrah saja apa yang mau di lakukan atasannya itu, Vino tersenyum melihat Ines yang memejamkan matanya, Vino pun ikut memejamkan matanya, perlahan mendekatkan bibirnya pada bibir Ines, belum juga sampai tapi.
Ceklek
Pintu ruangan Vino terbuka
"ALVINO PUTRA ABHIMANYU."
****
Kira - kira siapa ya yang sudah memanggil Vino?
Vino gagal ni
.
.
.
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement