Gween melangkahkan kaki dengan ringan menuju ruangan dimana adiknya kini dirawat. Ia baru saja pulang bekerja dan berinisiatif membelikan buah untuk Geisya dan nasi bungkus untuk makan malam dirinya juga sang mama.
Saat sampai, Gween melihat sang mama sedang duduk di samping berangkar rumah sakit sembari mengusap-usap ribut Geisya dengan penuh kasih.
"Ma, aku bawa makan malam buat kita," ujar Gween sambil mengangkat kantongan berwarna putih di tangannya.
"Aduh, Gween. Mama baru aja makan, tadi dipesenin adik kamu," sahut wanita paruh baya bernama Talia itu.
"Oh, gitu ya." Gween menggaruk pipinya yang tak gatal. Ia melirik jam dan saat ini masih pukul sembilan belas. Lalu mengapa sang Mama sudah makan lebih dulu padahal tahu bahwa Gween akan mampir ke sini setiap sore dan membawa makanan.
"Yaudah, aku makan dulu kalau gitu," imbuh wanita itu yang menarik sebuah kursi plastik lalu membuka bungkusan nasi yang tadi ia beli.
"Mmhh ... bau apa ini?" Geisya terbangun dengan wajah berkerut dan tangan menutupi hidung.
"Gween, kamu beli rendang?" tanya sang Mama.
"Iya, Ma," sahut Gween sambil mengangguk.
"Duuh, adik kamu kan nggak tahan baunya. Kamu makan di kantin aja dulu, kasian adik kamu."
Gween menutup bungkusan nasi padang yang dibelinya. "Oh, iya, Ma." Wanita itu berdiri kaku dan mengambil tas yang tadi di letakkannya di lantai.
"Lagian rakus banget sih, makan nasi padang malem-malem, rendang lagi. Lo gatau itu kalorinya berapa? Ada-ada aja!" gerutu Geisya yang kembali memejamkan mata.
Gween berdehem pelan dan menjauh dari sana, tapi sebelum ia sempat menutup pintu dengan rapat, wanita itu dapat mendengar omelan Geisya untuk kesekian kalinya.
Sejak dulu selalu begitu, sang mama selalu diam dengan perlakuan semena-mena Geisya pada Gween. Bahkan Talia sedikit membela atau hanya diam seribu bahasa saat hal itu terjadi di depan matanya.
Gween tak ingin jadi anak kurang ajar yang mengungkit kebaikannya. Tapi selama ini dirinya selalu berusaha menjadi anak dan kakak yang baik di keluarganya. Bahkan ia rela menjual diri demi mengobati sang adik yang bulan lalu sempat mengalami kritis.
Ya, sudah sebulan berlalu dari kejadian itu di mana Gween merasa bahwa dunianya berputar tiga ratus enam puluh derajat.
Namun setelahnya Gween berusaha untuk hidup normal walau terasa sulit karena kadang bayang-bayang itu sering datang mengganggunya.
Tak apa, walau respon Geisya biasa saja saat tahu bahwa biaya perawatannya adalah hasil jerih payah Gween yang dia tak mau tahu darimana asal usulnya. Bahkan yang memberitahu hal itupun Gween sendiri karena sang mama tak mau repot memberi tahu sebab takut membebani sang putri kesayangan.
"Selamat malam. Betul dengan saudari Gween Calista?" Dua orang polisi berdiri tegap di hadapan Gween saat perempuan itu bahkan belum sampai di pintu kantin rumah sakit.
"Ya. Benar saya sendiri. Ada apa, Pak?" tanya wanita itu heran, dengan dahi berkerut dalam. Seingatnya ia tak punya masalah apapun.
"Silakan ikut kami ke kantor. Anda akan kami periksa atas tuduhan pembobolan rekening nasabah bank atas nama Jero Axford."
"Apa?!" Gween memekik kaget. Mata wanita itu membulat sempurna pertanda ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang diucapkan polisi di depannya.
"Silakan ikut kami, Bu," ucap Polisi di sebelahnya.
"Tapi saya tidak melakukan itu, Pak," tukas Gween tak terima.
"Anda bisa menjelaskannya di kantor," jawab pria berseragam itu dengan tegas.
"Tapi, Pak ---"
"Tolong kerjasamanya, Bu. Kami tentu tidak akan mempersulit anda jika anda terbukti tak bersalah."
Gween menarik napas panjang dan mengangguk pasrah, lalu mengikuti arahan dua petugas kepolisian itu untuk ikut ke kantor polisi. Wanita itu mengirimkan pesan teks untuk sang Mama sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil polisi.
Sesampainya di sana, Gween duduk di hadapan petugas yang sejak tadi memberikan banyak pertanyaan interogasi yang membuat Gween sampai muak untuk menjawabnya. Bagaimana tidak, jika pertanyaan yang diajukan memiliki inti yang sama. Hanya saja diputar-putar untuk menjebak Gween dalam menjawab pertanyaannya.
Tadi wanita itu sempat melihat mobil sport milik Jero terparkir di sana. Tapi ia tak melihat laki-laki itu berada di ruangan ini. Jadi Gween berinisiatif untuk meminta tolong pada petugas kepolisian untuk mempertemukan mereka karena Gween ingin berbicara langsung dengan pria yang ternyata melaporkannya itu.
"Silakan tunggu di sini," ujar seorang petugas yang menunjukkan sebuah kursi kayu yang ada di sebuah ruangan kecil yang kosong tak berpenghuni.
Gween menunggu dengan cemas. Bagaimana tidak, pria itu menuntutnya karena kehilangan dua miliar di dalam kartunya. Padahal jelas-jelas Gween langsung memberikannya pada Mami Flo.
Wait? Mami Flo?
Gween langsung teringat wanita itu dan mendial nomor ponselnya. Sayang, nomor wanita itu tak aktif lagi meski Gween sudah berkali-kali mencobanya lagi.
"Apa yang kamu lakukan? Mencari bala bantuan?" Suara serak yang terdengar dari belakangnya membuat Gween terlonjak kaget hingga hampir terjungkal dari kursi yang didudukinya.
Jero berjalan mendekat dan entah mengapa Gween refleks mundur karena hawa panas yang menguar dari tubuh pria itu. Entahlah, Gween merasa Jero sedang mengancang-ancang untuk menerkam dirinya.
"Stop! Jangan mendekat!" ujar Gween mengangkat tangannya ke depan.
Jero mengangkat sebelah alis dan tersenyum samar. "Why are you scared, b***h?"
Gween mendelik marah. "I'm not a b***h!" desisnya tak terima.
"Yes. You're b***h. My b***h!"
"Kamu gila!" hardik Gween disambut gelak tawa Jero yang membuat wanita itu mengepalkan tangan erat.
"Now, let me ask you. how do you get my two billion back?" tanya Jero dengan dua tangan bersedekap, juga wajah angkuh nan pongah sebagai pelengkap.
Gween menarik napas panjang. "Dengarkan aku," ucapnya berusaha merangkai kata untuk menjelaskannya. "Aku tak sepeserpun mengambil uangmu. Pagi itu, aku menyerahkan kartu itu pada Mami Flo karena kupikir dia memiliki kontakmu. Jadi, jangan salahkan aku."
"Jadi, kamu ingin lepas tangan?" Jero bertanya meremehkan.
"Aku bukan ingin lepas tangan. Aku akan bertanggung jawab. Kita harus menemui Mami Flo untuk meminta penjelasannya."
"Dia sudah tidak ada di sini."
"Apa?" Gween memekik tak percaya.
"Dia sudah tidak di Indonesia lagi. Jadi, bagaimana caramu menemukannya?"
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Gween menyipit tajam.
"Tentu aku mencarinya sebelum mencarimu!"
Gween menarik napas panjang, memijat pangkal hidungnya dan menghembuskan napas perlahan-lahan.
"Jadi sekarang apa maumu?" tanya Gween akhirnya.
Jero menjawab dengan santai. "Uangku."
Gween berusaha menenangkan diri. Sialan, dua miliar. Dimana dia akan mendapatkannya?
"Baiklah, aku akan mencicilnya," ujar wanita itu.
Jero tertawa mencemooh. "Mencicil? Seumur hidupmu pun belum tentu kamu mampu!"
Gween mengepalkan tangan erat. "Aku akan bekerja lebih keras lagi untuk membayarnya padamu."
"Seperti menjual diri?" tanya pria itu menyindir.
Gween merasa Jero benar-benar merendahkannya. Tapi ia tak bisa marah karena apa yang diharapkan Gween dari mulut pria pecinta selangkang*n seperti Jero?
"Begini saja," Jero maju selangkah, menatap Gween dengan intens dan tangan yang terangkat menyentuh rambut berantakan wanita itu. "Jadi pengisi ranjangku, maka semua akan kuanggap impas," bisik pria itu serak.
Gween mendelik tak percaya dan mendorong pria itu dengan keras. "You're asshole!" bentak Gween sambil mengacungkan jari tengah.