Tangan mungil wanita itu terangkat begitu saja untuk mengetuk pintu yang berada di hadapannya. Sampai ketukan ketiga, pintu dibuka dan menampilkan raut datar Jero yang membuat Gween merasa gugup seketika.
"Apa yang kamu tunggu?" tanya Jero begitu dingin.
Gween berdehem pelan dan mengangkat kepala tegas. "Aku akan menyelesaikan tugasku," ujarnya.
Jero mengangkat kedua alisnya. "Wanita tidak berpengalaman sepertimu akan mendatangkan masalah padaku di belakang hari. I just need s*x, not a relationship." Pria menekan kalimat di belakangnya.
"Aku juga tidak mau berhutang budi yang di belakang hari bisa saja menimbulkan masalah untuk hidupku. Dan tenang saja, aku tidak pernah bercita-cita untuk mempunyai hubungan dengan pria sepertimu."
Jero berdecih sinis. "Pria sepertiku? Seperti apa maksudmu?"
Gween menggeleng dan mengibaskan tangannya. "Lebih baik kita selesaikan sekarang juga, jangan membahas yang lainnya."
"Of course. Jangan menyesal dengan pilihanmu dan jangan muncul lagi di hadapanku setelah ini," ujar pria itu sebelum mendorong Gween ke atas ranjang dan melanjutkan aktivitas mereka yang sempat terhenti.
Sementara di tempat lain, seorang pria dengan celemek di tubuh sedang memasak sesuatu di dapur resto miliknya yang sepi karena hari sudah larut. Sesekali ia akan melirik jam yang melingkar di tangan kirinya dan berdecak pelan karena wanita yang ditunggu-tunggunya sejak pagi tadi tak kunjung terlihat.
Ia sudah menghubungi ponsel perempuan itu namun tidak tersambung dan hal itu cukup membuatnya khawatir. Karena selama ini ia selalu tepat waktu dan tak pernah ingkar janji.
Pria yang kerap disapa Reza itu meletakkan dua piring pasta di atas meja dan menatap makanan yang ia yakin pasti akan terbuang ke tong sampah.
Reza ingin tetap menunggu, tapi ia yakin semua akan berakhir sia-sia. Diliriknya sebuah kotak beludru berwarna merah di atas meja yang berisi sebuah cincin dimana ia sengaja membeli itu untuk melamar sang wanita. Akhirnya ia memutuskan untuk mematikan semua lampu dan pulang saja, mungkin ini belum saatnya dan ia berencana melamar wanita itu di lain hari.
Keesokan paginya, Gween terbangun dan mendapati ranjang di sebelahnya kosong. Wanita itu berpikir apakah semua yang terjadi malam itu hanya sebuah mimpi. Jika iya, maka bolehkan ia bernapas sedikit lega?
Gween bergerak untuk menatap sekeliling kemudian kembali memejamkan mata. Kilas balik yang terjadi bersama Jero membuatnya dipukul kenyataan bahwa yang terjadi malam itu nyata adanya.
Ia kemudian melirik pintu balkon yang terbuka dan menampilkan Jero yang sudah memakai pakaian lengkap khas pria parlente ibukota. Bolehkah Gween pura-pura mati saja sampai Jero pergi lebih dulu dari hotel ini. Tentu saja itu tak mungkin ia lakukan.
Gween bergerak lambat demi meminimalisir suara yang akan menarik perhatian pria yang masih membelakanginya itu. Ia hendak berjalan menuju kamar mandi, tapi sialnya rasa ngilu di bagian intim wanita itu tak mampu ia tahan.
"Awww ...." Ia berdesis pelan dan jelas saja telinga tajam Jero sangat mampu untuk mendengarnya.
"Are you okay?" tanyanya yang sudah berdiri di belakang Gween, membuat perempuan itu merasa terkejut.
Are you okay, are you okay, your head!
"Aku bisa sendiri," tolak Gween saat tangan Jero terulur ingin membantu.
"Jangan keras kepala, kakimu saja bergetar seperti jelly." Jero tak mengindahkan penolakan Gween dan mengangkat tubuh perempuan itu ke kamar mandi.
"Jelas saja seperti jelly, anda melakukannya seperti orang kesetanan hingga dini hari," gerutu Gween dalam hati.
Jero menurunkan Gween di bawah shower. "Apa kamu perlu bantuanku? Aku tidak keberatan jika harus mandi lagi pagi ini."
Jelas sekali senyum smirk di wajah pria itu, dan Gween sangat mengerti untuk tidak mencari mati.
"Tidak perlu, aku masih sangat mampu untuk memandikan diriku sendiri," jawab Gween tegas.
Jero mengedikkan bahu dan keluar dari sana tanpa banyak protes.
Gween menghembuskan nafas lega saat pria itu tak terlihat lagi dari pandangan matanya. Entah mengapa ia tanpa sadar menahan nafas sejak dalam gendongan pria sialan itu.
Tak ingin berlama-lama dengan pikirannya yang mulai campur aduk, Gween memulai ritual mandinya dan selesai dalam waktu lima belas menit. Sungguh, ia ingin cepat-cepat pergi dari sini sebelum kinerja otaknya semakin rusak saja.
Selesai mandi, Gween merasa bingung karena gaunnya semalam sudah sangat tak layak untuk digunakan. Perempuan itu berinisiatif akan meminjam kaos atau pun kemeja pria itu.
Namun saat ia keluar dari kamar mandi, sebuah paperbag dan juga sarapan sudah ada di atas meja. Gween berkeliling mencari keberadaan Jero, tapi tak kunjung ia temukan.
Wanita itu memakai dress berwarna biru muda yang ternyata melekat pas di tubuhnya.
Benar-benar pemburu wanita sehingga langsung tahu ukuran dari sekali lihat saja.
Gween memang benar-benar lapar, jadi ia tak akan melewatkan makanan yang sudah terhidang di atas meja. Ia perlu tenaga untuk ke rumah sakit dan menjelaskan pada mama dan adiknya bahwa mereka tak perlu mengkhawatirkan tentang uang lagi.
Perempuan dengan tinggi semampai itu menyelesaikan makannya dengan cepat, lalu membuang sampah dan membereskan meja. Tanpa sengaja, ia menemukan black card yang teronggok di atas meja.
Ia yakin itu milik Jero, tapi kenapa pria itu ceroboh sekali meninggalkan barangnya seperti ini. Lalu, kemana ia harus mengembalikannya?
Gween segera keluar dari kamar itu dan tak mau repot-repot untuk melapor ke resepsionis karena itu bukan tugasnya. Ia yakin Jero sudah mengurus semuanya sebelum meninggalkan tempat ini.
Sebelum ke rumah sakit, Gween berpikir untuk mampir ke apartemen Mami Flo untuk menitipkan kartu kredit milik Jero karena ia tahu pria itu adalah pelanggan setia di sana. Jadi, jelas Mami akan bertemu kembali atau pasti bisa menghubungi pria itu untuk mengembalikan kartu tersebut.
"Ada apa, Gween? Pagi-pagi sudah datang ke sini," tanya sang Mami yang tampaknya baru saja bangun dari tidurnya.
"Aku mau meminta tolong Mami untuk mengembalikan ini." Gween menyodorkan kartu di atas meja.
Mata Mami Flo membola sempurna dan menatap black card itu dengan wajah terkejutnya. "Ini punya Jero?" tanyanya memastikan.
"Iya, Mi. Tertinggal di hotel," sahut Gween menjelaskan.
Mami Flo berdehem pelan lalu tersenyum lebar. Wajahnya tiba-tiba tampak lebih cerah. "Baiklah, Mami akan berikan ini padanya. Kamu jangan khawatir," ucap wanita itu.
"Terima kasih, Mi. Saya pergi dulu."
"Okay, hati-hati, Sayang!"
Gween mengangguk dan berlalu dari sana. Tujuannya adalah rumah sakit dimana Geisya dirawat setelah mengalami kecelakaan tunggal beberapa waktu lalu. Unting saja nyawa perempuan itu masih terselamatkan. Benar-benar keajaiban dari sang maha pencipta.
TO BE CONTINUED