"Buatkan aku makan malam!" titah pria itu, ini adalah perintahnya untuk yang entah ke berapa kalinya. Sejak tadi dia terus saja meminta Gween melakukan ini dan itu padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
"Astaga! Ini sudah tengah malam dan kamu mau makan? Di mana moto hidup sehatmu itu?" gerutu Gween yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya.
Jero tak menggubris omelan wanita itu dan tetap fokus pada iPad di tangannya. Hal itu tentu membuat Gween berderap menuju dapur dengan omelan yang semakin jelas terdengar.
Wanita itu memasak dengan cepat dan meletakkannya di hadapan pria itu sebelum kembali bersuara. "Sudah selesai, dan tolong jangan bertingkah lagi. Aku lelah dan ingin tidur."
"Hmm." Hanya itu balasan Jero yang langsung saja dimanfaatkan Gween dengan berlari ke kamar dan mengunci pintu supaya pria itu tak bisa lagi mengganggu ketenangannya.
Sepeninggal wanita itu, Jero mendapat telpon dari Red, yang tak lain adalah tangan kanan pria itu yang mengabarkan bahwa dirinya sudah mendapat info lengkap tentang laki-laki yang tadi pergi bersama Gween.
Eits, jangan kira Jero sedang cemburu karena pria itu tidak merasa seperti itu. Ia hanya ingin memastikan Gween tidak berhubungan sembarangan dengan pria lain yang akan berdampak buruk pada Jero nantinya.
"Dia seorang anak dari pengusaha properti sukses yang meniti karirnya sendiri di industri makanan dan minuman. Pria itu tak lain adalah bos di tempat Nona Gween bekerja," lapor Red singkat.
Jero mematikan rokoknya dan berdehem pelan. "Terus awasi mereka," titahnya tenang.
"Baik, Bos. Dan ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan."
"Katakan."
Terdengar dengan kentara Red sedang menarik nafasnya di seberang sana. "Laki-laki itu ... sekarang berada di Indonesia."
Jero diam, sorot matanya tiba-tiba menajam, hingga akhirnya pria itu bersuara. "I know," katanya datar.
Red tahu itu artinya Jero satu langkah lebih maju darinya dalam mendapatkan info tentang perempuan itu, dan Red tak ingin mengorek hal itu karena jelas bukan kapasitasnya.
Jero merasa sudah cukup dengan laporan itu sehingga ia mengakhiri sambungan telepon mereka dan beranjak dari kursinya tanpa menyentuh makanan yang disajikan oleh Gween.
Hingga pagi menjelang dan Gween melihat hal itu sehingga mengundang emosinya yang siap ia tumpahkan kepada Jero Axford, si manusia menjengkelkan menurut Gween.
Namun, wanita itu tak mendapati Jero di sudut manapun rumah itu. Sialan! Sepertinya ia sudah pergi pagi-pagi sekali.
Kekesalan Gween berusaha ia hempaskan jauh-jauh karena saat ini dirinya ingin datang menjenguk sang adik setelah beberapa hari ia tak datang ke sana.
Namun sayangnya entah apa yang ada dalam pikiran Mama dan adiknya itu sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit tanpa mengabari Gween terlebih dahulu.
Jelas saja wanita itu panik luar biasa dan langsung menanyakan kebenaran informasi kepada resepsionis. Dan benar saja, Geisya tercatat meninggalkan rumah sakit kemarin pada siang hari setelah mendapat izin pulang dari dokter yang menanganinya.
Apa sebenarnya salah Gween hingga dirinya begitu tak dihargai bahkan oleh keluarga terdekatnya sendiri?
Padahal sejak mereka ditinggal pergi oleh sang ayah untuk selamanya, Gween selalu berusaha memberikan yang terbaik sebagai tulang punggung keluarga. Meski dirinya selalu dipandang sebelah mata oleh Mama dan adiknya.
Di mata sang mama, Geisya adalah putrinya yang begitu membanggakan. Gadis cantik yang disukai oleh banyak orang dan berpendidikan tinggi. Tak seperti Gween yang harus mengubur mimpinya dalam-dalam untuk bisa bekerja dan membiayai kehidupan mereka.
Langkah wanita itu tampak terburu-buru saat dia sudah tiba di rumah yang ditempati oleh sang mama dan adiknya. Di sana dirinya mendapati Geisya tengah duduk santai di depan televisi sembari memakan cemilan yang Gween tahu adalah buatan sama mama karena itu adalah kesukaan adiknya.
"Kok kalian pulang nggak bilang-bilang aku sih?" tanya Gween to the poin ketika sudah berdiri di hadapan Geisya.
Perempuan dengan dress berwarna merah muda itu mendongak dan berdecak tak senang. "Apasih! Datang-datang malah langsung marah-marah!" sentak Geisya jengkel.
"Gimana aku nggak marah-marah kalau kalian selalu nggak menghargai aku?" tukas wanita itu geram. "Apa susahnya sih ngabarin aku lewat telpon atau sekedar chat?!"
"Ada apa ini ribut-ribut?" Sang mama muncul dengan sebuah nampan di tangan.
"Ini nih, anak Mama. Datang ke sini cuma mau marah-marah padahal dari kemarin dia yang nggak muncul-muncul," adu Geisya kesal.
Talia meletakkan nampan yang ternyata berisi bubur untuk sarapan Geisya. "Kamu apa-apaan sih, Gween? Adik kamu masih sakit kok malah kamu ribut begini," tegur sang Mama yang jujur saja semakin membuat hati Gween sakit.
"Ma, aku cuman mau tahu alasannya kenapa kalian keluar dari rumah sakit tanpa ngabarin aku!" sahut Gween berusaha menahan emosinya.
"Masalah sepele seperti itu kenapa dibesar-besarkan sih, Gween?" Talia menatap anak sulungnya garang.
"Masalah sepele?" Gween membeo dengan raut kecewa yang begitu kentara. "Ma, sebenarnya yang sepele itu bukan masalahnya kan? Tapi aku, aku lah yang sebenarnya tidak berarti apa-apa bagi kalian!"
"Gausah lebay deh! Suka banget nge-drama!" tukas Geisya sinis.
Gween menggeleng tak percaya. Ia mengusap air mata yang jatuh tanpa diminta. "Aku kerja keras dan banting tulang selama ini untuk kalian, tapi ini balesan yang aku depitin. Iya?"
"Ngungkit-ungkit Lo?" sentak Geisya tak terima. "Sana pergi kalau nggak mau ngehidupin kita lagi! Toh selama ini juga gue bisa cari duit sendiri kok!"
"Bisa ya kamu ngomong kayak gitu? Aku ngehancurin masa depanku sendiri demi bisa ngebiain pengobatan kamu, Geisya!"
"Cukuuup!!!" Talia membentak keras. Wanita paruh baya itu kemudian menatap sengit anak sulungnya.
"Kamu nggak pantas ngungkit itu semua, Gween. Semua yang kamu lakukan belum setimpal dengan pengorbanan Mama saat melahirkan kamu!" ucap wanita itu berang.
"Lagipula Lo dapet duit itu paling juga dari hasil open B.O," celetuk Geisya tanpa merasa bersalah sama sekali.
Gween mundur satu langkah, kepalanya sakit dan hatinya berdarah-darah. Dia benar-benar tak menyangka akan mendapatkan perlakuan seburuk ini dari keluarga tercintanya.
"Mau aku open B.O atau jual organ tubuh sekalipun, kamu seharusnya bisa menghargai itu. Semuanya juga bukan hal yang mudah!"
"Gween! Cukup!" Talia membentak nyaring. "Kalau kamu nggak ikhlas bantu adik kamu, ya sudah Mama akan ganti nanti. Lagi pula, Dandi sudah hampir selesai melakukan pengobatan dan setelah pulang ke Indonesia, mereka akan menikah!"
Gween menggeleng tak percaya dan menatap sang mama kecewa. Talia selalu saja lebih membanggakan Dandi yang dari keluarga kaya raya itu.
"Mama benar-benar nggak ngerti!" ucap Gween lemah, lalu berbalik dan meninggalkan rumah itu dengan gumpalan rasa kecewa.
Masih jelas terdengar di telinga Gween suara Geisya yang bernada penuh ejekan. "Bukan hal mudah apanya? Palingan juga dia keenakan jual diri."
Sedikit harapan terbesit di hati Gween untuk pembelaan dari sang mama, tapi sampai kakinya menyentuh pintu pun tetap tak terdengar suara Talia menegur Geisya.
Kaki Gween diseret paksa sembari membawa luka yang dia sendiri tak tahu kapan akan ada obatnya.
To be continued