"Teo," panggil Nieve melihat Teofilo ada di ruang tamu bersama putranya. Lalu perhatian Nieve tertuju ke arah Lionello saat menghentikan langkahnya di dekat sofa ruang tamu. "Lio, sejak kapan kau bangun?"
"Hola," sapa Teofilo pada Nieve seraya mengangkat satu tangan.
"Hola," balas Nieve. Dirinya akan berbicara bahasa Spanish hanya pada orang-orang yang tidak mengerti bahasa Italia. Sedangkan saat berbicara dengan Lionello, Nieve menggunakan bahasa Italia, begitupun dengan putranya.
"Sekitar sepuluh menit yang lalu, Ma," jawab Lionello.
"Madre buatkan teh untukmu. Jangan meminum alkohol dulu, Lio," ucap Nieve seraya melanjutkan langkahnya menuju dapur.
"Ada apa?" tanya Teofilo. Meskipun pada awalnya dia tidak mengerti bahasa Italia, tetapi tinggal dekat dengan mereka membuat Teofilo mengerti apa yang diucapkan. Lagipula tidak jauh berbeda dengan bahasa Spanish.
"Tidak ada apa-apa," jawab Lionello.
Sedangkan Nieve pergi ke arah dapur dengan membawa barang belanjaan. Nieve mulai mengeluarkan semua barang-barang yang dia beli hari ini. Beberapa sayuran yang lupa dibelinya kemarin serta beberapa botol minuman soda serta alkohol dan roti.
Nieve menyalakan kompor untuk menghangatkan air. Dirinya hendak membuatkan teh peppermint untuk Lionello agar menghilangkan rasa mual serta sakit kepala. Sembari menunggu air mendidih, Nieve menata barang belanjaannya ke dalam lemari dingin. Sisanya dimasukkan ke dalam laci dapur seperti botol minuman alkohol dan jajanan kue kering.
Tak sampai sepuluh menit, air yang dimasak Nieve sudah mendidih. Dia pun menyiapkan dua cangkir kosong di atas nampan lalu mulai membuat teh. Setelah siap, Nieve membawa nampan berisi dua cangkir teh peppermint tersebut ke ruang depan.
Samar-samar Nieve mulai mendengar percakapan Lionello dan Teofilo tentang pengurusan hak asuh Estefanía. Nieve mulai bergabung dengan mereka dan duduk di samping Lionello. Dia memberikan satu cangkir pada Teofilo lalu satunya lagi untuk Lionello.
"Minumlah," ucap Nieve mempersilakan pada Teofilo dan Lionello.
"Terima kasih," ucap Teofilo dan mendapat anggukkan kecil dari Nieve.
"Ma," panggil Lionello kemudian. "Besok aku harus pergi keluar kota untuk mengurus berkas yang lain. Apa Madre baik-baik saja di rumah?" tanya Lionello saat Nieve menoleh ke arahnya.
"Tentu. Madre tidak masalah. Pergilah," jawab Nieve dengan yakin sembari tersenyum lebar melihat Lionello tampak sibuk mengurus hak asuh Estefanía.
"Lusa aku sudah oulang," sambung Lionello.
"Kau menginap? Apakah harus seperti itu?" tanya Nieve langsung merasa berat hati karena putranya tidak pulang.
"Supaya tidak memakan waktu di perjalanan. Madre tidak perlu khawatir, nanti Teofilo akan membantu menjagamu di sini," jawab Lionello menjelaskan.
Nieve menghela napas panjang. Dia tidak bisa mencegah Lionello pergi demi Estefanía. Perlahan kepala Nieve mengangguk lemah membuat Lionello bernapas lega.
Maafkan aku, Ma. batin Lionello saat memaksakan diri tersenyum pada ibunya.
"Nanti setelah aku selesai mengurus semuanya dan Estefanía sudah datang, kita akan mendapatkan waktu pengawasan selama tiga bulan."
"Madre tidak masalah dengan hal itu, Sayang. Este pasti akan langsung nyaman tinggal di sini dalam waktu sehari," ucap Nieve merasa yakin. Dirinya tidak berhenti tersenyum dan terus bernapas lega membayangkan Estefanía akan datang dalam waktu dekat.
Pandangan Nieve mengelilingi ruangan apartemen yang tampak sepi dan sederhana tersebut. Tiba-tiba saja Nieve ingin mendekorasi ulang apartemen itu dengan cat-cat yang penuh warna cerah serta dinding-dinding yang dilukis dengan sangat cantik. Nieve juga ingin menyediakan satu ruangan khusus sebagai tempat bermain Estefanía serta kamar tidur untuknya yang dipenuhi oleh boneka-boneka lucu.
"Sayang, kira-kira kapan Este akan datang?" tanya Nieve dengan penuh semangat.
"Mungkin …. " Lionello menoleh ke arah Teofilo sekilas. "Satu minggu lagi, Ma. Jika semua prosesnya berjalan dengan lancar, mungkin akan lebih cepat," jawab Lionello.
"Itu artinya masih ada waktu," gumam Nieve dengan senyum mengembang lebar. "Sayang, Madre ingin mendekor ulang apartemen ini. Madre juga ingin menyediakan kamar khusus untuk Este. Bagaimana jika kita mulai melakukannya dari sekarang?"
Lionello tertegun mendengar permintaan Nieve. Dia kembali menoleh ke arah Teofilo. Sepertinya bukan hanya dirinya yang terkejut oleh permintaan Nieve, Teofilo pun tampak menganga tak percaya melihat reaksi Nieve yang berlebihan.
"Tapi, Ma … kalau kita melakukannya sekarang … kita akan tinggal di mana? Semua barang pasti akan dipindahkan untuk mengosongkan apartemen ini—"
"Beli saja lagi," potong Nieve. "Uangmu lebih dari cukup untuk membeli satu unit apartemen lagi, Lio. Kalau kau tidak mau membelinya, kita bisa menyewa tempat tinggal untuk sementara waktu."
"Madre …. " Lionello menghela napas pelan. Dia menjadi bingung karena permintaan Nieve. Sebenarnya Lionello tidak masalah dengan uang, waktunya yang bermasalah. Jika dirinya mengiyakan permintaan Nieve, Sudah pasti Lionello tidak dapat pergi besok pagi. Tetapi jika menolak permintaan Nieve, ibunya pasti akan kembali merajuk padanya.
"Kenapa? Kau … tidak mau?" tanya Nieve dengan suara pelan.
"Besok aku harus pergi." Lionello memberikan jeda pada ucapannya. Dia menatap ke arah lain sekilas dan kembali pada Nieve. "Aku tidak bisa melakukannya. Kita akan melakukannya nanti saat Estefanía sudah ada di sini saja."
Nieve menundukkan tatapannya. Padahal dia sangat ingin melakukannya sekarang. Dirinya ingin membeli berbagai macam boneka untuk mengisi kamar Estefanía. Membeli pakaian-pakaian bagus dan cantik agar Estefanía merasa senang.
"Ya sudah … kalau seperti itu menurutmu," desah Nieve lalu bangkit berdiri. Wanita itu melenggang pergi begitu saja membuat dua pria yang ada di dekatnya diam memperhatikan.
Lionello berdecak kasar melihat ibunya pergi dengan wajah tertekuk. Sudah dipastikan kalau Nieve merasa kesal padanya. Sedangkan Teofilo masih diam memperhatikan sepasang ibu dan anak tersebut.
"Turuti saja keinginan ibumu. Kau tidak perlu mencemaskan tidak bisa pergi besok pagi. Aku akan membantu mengurus semuanya," ucap Teofilo beberapa saat kemudian setelah melihat Lionello hanya diam seolah sedang memikirkan masalah tersebut.
"Aku tidak habis pikir kenapa keinginannya sampai sejauh itu," gumam Lionello diiringi tarikan napas panjang seolah ingin menghilangkan kebingungan yang melandanya.
"Itu karena ibumu kesepian," timpal Teofilo membuat Lionello tertegun. Teofilo tersenyum dan mengambil cangkir teh lalu meminumnya perlahan. "Terlihat jelas dari mimik wajahnya saat dia mengungkapkan keinginannya," sambung Teofilo.
Lionello hanya diam. Dia tidak menolak pernyataan Teofilo seolah membenarkannya.
"Aku dulu pernah seperti ibumu." Teofilo berkata setelah keheningan menyelimuti ruangan itu selama beberapa detik. "Jadi aku tahu seperti apa rasanya."
"Baiklah … nanti aku akan bicara lagi dengannya," putus Lionello membuat Teofilo menganggukkan kepala.
***
Setelah Teofilo pulang, Lionello bergegas mandi untuk menghilangkan bekas keringat kemarin malam. Tidak membutuhkan waktu lama untuknya berada di dalam kamar mandi, kini dirinya keluar setelah tidak sampai sepuluh menit berada di dalam.
Lionello membuka pintu lemari. Dia mengambil pakaian lalu memakainya. Lionello langsung keluar dari kamar setelah selesai mengenakan pakaiannya.
Langkah Lionello melambat saat mendengar suara ibunya tengah berbincang dengan tetangga apartemen di depan pintu. Tidak ingin mengganggu percakapan mereka, Lionello langsung pergi ke dapur untuk sarapan.
"Ini nomor telepon Fernánda. Aku mencatatnya agar lebih mudah. Jangan sampai lupa berikan nomor ini pada Lionello," ucap Margaretta seraya memberikan selembar kertas berisi deretan nomor telepon.
"Ya. Nanti akan aku berikan padanya," jawab Nieve.
Margaretta melongok ke dalam apartemen yang tampak sepi. "Apa Lionello ada di dalam? Boleh aku bertemu dengannya?" tanya Margaretta dengan nada memaksa.
"Dia sedang mandi," jawab Nieve. Dirinya yakin jika menjawab seperti itu pasti Margaretta tidak memaksa masuk ke dalam. Padahal Nieve tahu kalau Lionello pasti sudah selesai mandi.
"Ah, benarkah? Ya sudah kalau begitu. Kau harus ingat pesanku, ya," pinta Margaretta sembari tersenyum lebar. "Dan ini untuk kalian," ucapnya sembari memberikan bingkisan pada Nieve.
"Terima kasih."
"Tidak masalah. Bye." Margaretta mengangkat satu tangan dan melambai pada Nieve.
Nieve langsung menutup pintu apartemen. Dia menghela napas melihat tingkah Margaretta yang gigih ingin memperkenalkan keponakannya dengan Lionello. Padahal ini bukan pertama kalinya Nieve mendapat permintaan agar mengenalkan putranya pada putri dan keponakan-keponakan tetangga apartemen, tetapi Nieve merasa tidak nyaman jika menolak permintaan Margaretta.
Nieve meletakkan bingkisan di atas meja makan. Di sana ada Lionello yang sedang menyantap muffin. Nieve menyusul duduk di kursi lalu membuka bingkisan tersebut.
"Dari siapa, Ma?" tanya Lionello lalu menyesap kopi buatannya.
"Margaretta." Nieve menjawab singkat lalu memberikan kertas yang dia terima dari Margaretta pada Lionello. "Dia meminta Madre memberikan itu padamu. Itu nomor telepon keponakannya, namanya Fernánda Bello."
Lionello hanya diam tanpa ada keinginan mengambil kertas tersebut. Dia lebih memilih menikmati kopi buatannya yang memiliki aroma wangi hingga memenuhi indra penciuman.
"Ma," panggil Lionello pelan membuat Nieve melirik ke arahnya. Lionello tersenyum tipis melihat sikap dingin Nieve. Dia meletakkan cangkir kopi lalu meraih salah satu tangan Nieve. Lionello menggenggamnya dengan lembut hingga Nieve menatapnya. "Bagaimana kalau kita pergi ke La Maquinista?" ajak Lionello.
"Untuk apa pergi ke sana?" tanya Nieve. Dirinya masih berbicara dengan nada dingin dan seringkali mengalihkan tatapannya.
"Bukankah Madre ingin membeli keperluan Estefanía? Kita bisa membeli apapun yang Madre inginkan."
Seketika Nieve menatap Lionello dengan mata berbinar-binar. Senyumnya mulai menghiasi wajah yang mengeriput tetapi tetap terlihat cantik. Hingga menarik Lionello untuk ikut mengembangkan senyumnya.
"Itu artinya … kau …. "
"Ya," Lionello menganggukkan kepala. "Kita akan melakukan seperti yang Madre inginkan."
"Oh Tuhan, terima kasih banyak, Sayang …. " Nieve langsung bangkit dari kursi dan berjalan ke arah Lionello. Dirinya duduk di kursi tepat di samping Lionello lalu memeluk putranya. "Terima kasih, Sayang …. "
Kedua tangan Lionello bergerak membalas pelukan Nieve. Tak berselang lama Nieve langsung melepas pelukannya. Lionello tampak terkejut melihat airmata ibunya yang menetes tetapi langsung dihapus oleh Nieve.
"Madre sangat bahagia, Lio …. "
"Bersiaplah. Kita akan pergi sekarang," ucap Lionello sembari mengelus wajah Nieve.
"Ya," jawab Nieve. Dia mengangguk penuh semangat lalu langsung bangkit dari kursi.
Lionello tersenyum saat melihat ibunya berjalan cepat menuju kamar. Perhatiannya teralihkan ketika bayangan ibunya sulit dijangkau oleh kedua mata. Kini Lionello menatap selembar kertas yang ada di atas meja. Dia meraih kertas tersebut dan menatap angka-angka yang berderet.
Perlahan Lionello bangkit dari atas kursi. Dia melangkahkan kakinya ke arah lain lalu berhenti di pojok ruangan. Lionello kembali memperhatikan kertas dalam genggaman sebelum meremasnya. Dia membuang kertas itu ke dalam tempat sampah sebelum akhirnya pergi ke ruang depan untuk menunggu ibunya bersiap-siap.