Setelah menghabiskan waktu hampir tiga jam di rumah Teofilo untuk sekedar berbincang dan minum, Lionello tiba di apartemen pukul sebelas malam. Suasana di apartemen tampak sepi. Lampu-lampu setiap ruangan pun sudah padam, menandakan kalau Nieve sudah beristirahat di kamarnya.
Lionello berjalan pelan menuju dapur. Dia mengambil sebotol air mineral di dalam lemari dingin lalu meminumnya. Lionello berjalan ke arah meja makan lalu menarik salah satu kursi. Dirinya duduk di kursi tersebut dan meletakkan botol air mineral di atas meja.
Helaan napas panjang keluar dari mulut Lionello. Pria itu menangkupkan kedua tangan untuk menutupi wajahnya. Posisi duduk Lionello sedikit condong ke depan.
Saat Lionello ingin memejamkan kedua mata, dirinya merasakan sepasang lengan merangkulnya dari belakang. Lionello tersenyum seraya menurunkan kedua tangan. Dia mengelus dengan lembut lengan yang melingkar di bahunya.
"Kau belum tidur, Ma?" tanya Lionello saat merasakan kecupan pada pundaknya.
"Madre merasa kesepian, Sayang. Rasanya sangat kosong. Saat seperti ini … Madre kembali ingat dengan Padre-mu," ucap Nieve berbisik lalu menyandarkan kepalanya di pundak putranya yang kokoh.
"Butuh waktu satu minggu untuk mengurus semua surat-suratnya, Ma. Aku minta Madre bersabarlah sedikit," balas Lionello dengan nada suara pelan karena malam yang semakin sunyi. Sehingga suara pelan pun akan terdengar sangat jelas.
Lionello tahu apa yang membuat ibunya merasa kesepian. Tidak lain pasti karena Estefania. Lionello hanya berharap ibunya dapat bersabar sedikit sampai Teofilo selesai mengurus semua berkas yang dibutuhkan dalam proses pengambilan hak asuh Estefania.
Lionello bisa saja membuatnya selesai hanya dalam hitungan beberapa jam dengan mengeluarkan ribuan uang euro untuk mengurusnya. Tetapi dia tidak ingin melakukan hal itu. Meskipun Teofilo berkata kalau dirinya sudah ditakdirkan menjadi orang kotor sejak lahir, setidaknya berhenti melakukan hal-hal tersebut itu lebih baik. Karena Lionello sudah lelah menjadi orang kotor.
"Memikirkannya tinggal di sana tanpa ada yang menemaninya tidur satu hari saja sudah membuat Madre tidak ingin melakukan apapun, Sayang. Madre tidak bisa tidur."
Sebelah tangan Lionello melepas pelukan Nieve. Dia menarik kursi yang ada di sampingnya lalu mendorong Nieve dengan lembut untuk duduk di kursi tersebut. Lionello menggenggam kedua tangan Nieve lalu mengecup punggung tangannya.
"Dia akan baik-baik saja, Ma. Kau tidak perlu mencemaskannya. Dia tidak sendiri di sana."
Nieve menundukkan tatapannya sekilas lalu kembali menatap Lionello saat kedua hidungnya mulai basah karena menahan airmatanya keluar. "Apa tidak bisa lebih cepat dari seminggu, Sayang?" Nieve masih terus merengek dengan suara terbata-bata.
Lionello menghela napas pelan. Genggamannya pada tangan Nieve mulai terlepas. "Bisa saja, Ma. Tapi dengan cara menyuap mereka," ucap Lionello setelah beberapa saat diam. Nieve pun langsung diam seketika saat mendengar ucapannya.
"Tapi aku tidak bisa melakukan itu," sambung Lionello setelah beberapa saat diam untuk mendengar pendapat Nieve setelah mengucapkan kalimat sebelumnya. "Aku tidak bisa menyuap mereka demi mendapatkan hak asuh Estefania. Aku akan malu pada Estefania nantinya. Saat dia sudah tumbuh dewasa … aku tidak ingin Estefania sepertiku, hadir di dalam kehidupan kita dengan cara yang kotor. Aku ingin berhenti melakukan hal-hal seperti itu, Ma. Selama satu tahun kita tinggal di sini pun … aku berusaha untuk tidak melakukan hal-hal kotor."
Nieve tidak mengatakan apapun. Wanita tua itu hanya diam mendengar ucapan putranya.
"Lagipula … di sini ada Violetta. Aku tidak ingin lagi … membuatnya kecewa untuk kesekian kalinya," sambung Lionello.
Nieve mengalihkan pandangannya. Dia menundukkan kepala. Kesedihan semakin lekat menyelimuti dirinya saat Lionello mengatakan tentang Violetta. Nieve merasa bersalah karena terus mendesak Lionello tanpa memikirkan keadaan putranya.
"Ma-maafkan Madre, Sayang …. " Nieve bergumam seiring airmata yang mulai keluar membasahi kedua pipinya.
Lionello berusaha menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk senyuman tipis. Kedua tangannya membawa Nieve ke dalam pelukan yang hangat. Seketika tangis Nieve memecahkan kesunyian malam di dalam apartemen itu.
"Madre minta maaf … Madre tidak bermaksud … seperti itu … maafkan Madre, Sayang," gumam Nieve di sela isak tangisnya.
"Iya, Ma. Sudahlah, jangan menangis," ucap Lionello seraya mengelus punggung ibunya.
Perlahan pelukan itu terlepas. Lionello mengusap wajah Nieve untuk menghapus airmata ibunya. "Sudah malam. Lebih baik Madre istirahat."
"Madre tidak bisa tidur, Lio. Setiap kali ingin memejamkan mata, Madre ingin melihat Padre-mu dan Estefania."
Lionello menghela napas pelan. "Kalau begitu aku akan menemanimu tidur. Ayo," ajak Lionello lalu bangkit berdiri. Dia merangkul Nieve dan menuntunnya masuk ke dalam kamar.
Mereka beriringan berjalan menuju kamar. Sampainya di dalam kamar, Lionello menyelimuti Nieve saat wanita itu sudah berbaring di atas kasur. Lionello juga duduk di samping Nieve lalu mengelus punggung ibunya.
"Lio …. " Nieve memanggil pelan.
"Iya, Ma," jawab Lionello.
"Apa kau … masih ingat lullaby yang sering Madre nyanyikan saat kau kecil dulu?" tanya Nieve seraya menghadap ke arah Lionello. Dia menggunakan tangan kanannya sebagai bantal.
"Iya, aku masih ingat."
Nieve tersenyum tipis. "Dulu … lagu itu yang selalu nenekmu nyanyikan saat Madre masih kecil. Sampai usia Madre remaja, Madre mulai tinggal sendirian di flat house," gumam Nieve menceritakan masa lalunya. Tatapan matanya seolah menerawang ke dalam masa tersebut. "Mungkin kau tidak tahu kalau nenekmu … dia memiliki rumah b****l demi dapat membayar hutangnya pada rentenir. Kehidupan Madre di masa lalu … tidak pernah membayangkan akan memiliki putra sepertimu, Sayang." Nieve tersenyum seraya menatap sendu pada Lionello. Dia mengangkat satu tangan dan mengelus wajah putranya dengan lembut. "Terima kasih … kau adalah harta Madre yang sangat berharga. Kau adalah … pria yang mencintai Madre lebih besar dibanding siapapun. Madre sangat bahagia memilikimu, Sayang …. "
"Itu artinya Padre kalah denganku," gumam Lionello di tengah keseriusan yang menyelimuti mereka.
Sontak Nieve tertawa mendengar ucapan putranya. Lalu dia menganggukkan kepala seolah mengiyakan ucapan Lionello. "Ya, Padre-mu memang kalah denganmu. Dia mencintai Madre selama 32 tahun. Sedangkan kau satu tahun lebih lama dibanding Padre-mu," ucap Nieve.
"Tidak. Kau salah, Ma. Bukan satu tahun lebih lama. Tapi seumur hidupku," ucap Lionello menyanggah ucapan Nieve.
Nieve tersenyum lebar lalu menganggukkan kepala. Dirinya percaya Lionello akan menyayanginya seumur hidup pria itu. Lionello akan selalu berada di sampingnya.
"Maukah kau menyanyikan lagu itu untuk Madre, Sayang?" pinta Nieve.
Hening. Tidak ada suara dari Lionello. Pria itu seolah membisu merasa ragu untuk menyanyikan lagu pengantar tidur yang dulu selalu dia dengar dari ibunya. Sampai akhirnya alunan lagu pengantar tidur pun dilantunkan oleh Lionello dengan penuh rasa ragu sekaligus gugup.
Saat Lionello hendak menyanyikan untuk kedua kalinya, Nieve sudah tertidur lelap. Lionello pun menyudahi nyanyian tersebut lalu bangkit dari tepi ranjang. Dia membungkuk untuk merapikan selimut ibunya serta mengecup kening Nieve sebelum keluar dari kamar itu.
Lionello berjalan pelan melewati pintu kamar Nieve. Dia menutup pintu perlahan agar tidak membangunkan ibunya. Lionello segera pergi ke kamarnya.