5

1353 Kata
 “Bobon!” suara Fahri lagi-lagi terdengar lantang di rumah mewah itu. “Bon! Lu di mana sih?! Budeg amat punya kuping!” kesana, kemari Fahri mencari Naja, namun gadis itu tidak juga ditemukan. Berkali-kali juga lelaki itu memanggil nama gadis itu, tapi sang pemilik nama tidak kujung menyahuti. “Bon, kalo nggak keluar gua pites hidung lo!” ancam lelaki itu. “Apa sih mas? Naja lagi di kamar mandi bawah!” gadis itu berteriak lantang pula. Tanpa berpikir panjang lelaki itu langung menghampiri kea rah sumber suara. Fahri berkacak pinggang setelah sampai di kamar mandi bawah. Ke dua matanya memincing menatap Naja yang sedang asyik pada kegiatannya. “Ngapain lu Bon?!” Fahri bertanya dengan menampilkan ekspresi wajah yang tengil. “Menurut ente, ane lagi napain, mas? Lagi ngeronda apa lagi arisa? Kaga lihat apa ane lagi nyuci semvak kesayangan situ?” Gadis itu bertanya tanpa menatap Fahri. “Eh, Jubaedah, yang bersih ya kali nyuci semvak-semvak mahal gua. jangan ampe jahitannya lepas.” “Sabar Naja. Kan kamu tahu sendiri seperti apa pedasnya mulut masmu itu,” batin gadis itu.  “Apa lu liat-liat gua?” Fahri bertanya dengan matap wajah Naja sinis. “Sak ser saya toh mas. Mata-mata saya. Kenapa mas Fahri yang repot,” jawab Naja menatap Fahri sinis pula. “Eh, Mas mau ngapain?” gadis itu menatap Fahri bingung saat lelaki itu ikut masuk ke dalam kamar mandi.  “Terserah gua dong! Ini rumah punya orang tua gua,” jawab lelaki itu seringan kapas. Lalu tanpa berpikir panjang dia membuka boxernya lalu duduk di kloset. ‘Nanya baik-baik, jawabannya bikin kesel!’ lagi-lagi Naja membatin. Nampaknya gadis itu belum sadar tentang apa yang dilakukan Fahri. “Udah deh mas, Naja masih banyak kerjaan. Udah sana pergi, nanti kalo Mas tetap di sini, bisa-bisa kakinya iritasi,” ujar Naja. Gadis itu belum menyadarinya juga. Naja masih asyik menyikati boxer-boxer kesayangan milik kakak angkatnya itu. “Minggir sana gua mau berak,” ucap lelaki itu seringan kapas. Naja yang terlanjur kesal pun akhirnya menoleh dank e dua matanya membola sempurna saat melihat Fahri sudah terduduk di kloset dengan boxer tterlepas dari tempatnya. untung baju yang Fahri gunakan cukup panjang, jadi Naja tidak bisa melihat aset berharga milik lelaki itu. “MAS APAAN SIH! NGGAK MALU APA ADA NAJA DI SINI?!” gadis itu berteriak kencang sampai membuat Fahri harus menutup ke dua telinganya. “Apaan sih lo. Nggak usah teriak juga kali. Udah sono minggir, udah diujung ini.” Fahri mengibas-ibaskan ke dua tangannya untuk mengusir Naja.    “Ihh, jorok banget sih mas! Jangan lama-lama pekerjaan Naja masih banyak!” lalu gadis itu kelaur dari kamar mandi dengan perasaan yang kesal. “Derita Lo!” Fahri menutup pintu kamar mandi kencang sampai membuat Naja yang berada di depan pintu itu terkejut. ‘Anak siapa sih gemesin banget. Rasanya pengen Naja lempar ke sungai sss deh. Terus pengen Naja lelepin di pantai selatan,’ batin Naja kesal. Lima belas menit telah berlalu, namun tidak ada tanda-tanda Fahri akan keluar dari kamar mandi. Gadis itu berdecak kesal karena waktunya terbuang percuma hanya karena menunggu Fahri menyelesaikan ritualnya.  “Mas cepetan !cucian Naja masih banyak!” Naja berteriak tepat di depan pintu kamar mandi. Berharap setelah itu Fahri akan keluar, namun nyatanya tidak. “Sabar Bon. Susah keluarnya.” Fahri membalasnya dengan teriakan pula. Hingga terjadilah aksi teriak meneriak di depan pintu kamar madi. “Makanya mas, lain kali kalau Naja suruh makan sayuran itu nurut! Rasain sendiri akibatnya!” “Udah deh Bon. Dari pada lu bacot nggak jelas, lebih baik beliin gua obat apa kek!” “Obat apaan mas?” “Yang penting bukan obat nyamuk, apalagi racun tikus! Udah sono pergi ke apotek, nggak usah banyak cincong. Sakit nih.” “Iya-iya Naja berangkat.” Fahri tidak berbohong, perut Fahri memang sakit dan sedikit susah untuk buang air besar. Ini salah lelaki itu sendiri, tidak pernah memakan sayuran. Jadilah penceraanya bermasalah. “Ck! Bobon lama banget sih!” gerutu Fahri yang masih menahan sakit di kamar mandi. “Kamu kenapa sih sayang?” tanya Winda nadanya khawatir. Pasalnya, wajah Fahri begitu pucat saat keluar dari kamar mandi. “Fahri susah poop mah.” Fahri menjawab dengan wajah yang memelas. Ke dua tangannya meremas perutnya sendiri berharap rasa sakit itu akan hilang. “Lah, kok bisa sih? Pasti kamu nggak pernah makan sayuran, iya ‘kan? Makanya kalau Naja masak sayur itu dimakan, itu juga buat kebaikan kamu kok,” omel sang mama. Rasanya Fahri menyesal telah mengeluarkan keluh kesahnya, jika pada akhirnya pasti akan mendapat omelan. ‘Nah ‘kan, nyesel gua cerita panjuang lebar, ujungnya juga kena omelan.’ dumel Fahri dalam hati “Sayur itu nggak seenak paha ayam Mah.” Fahri mecoba membela diri. Namun, lelaki itu malah mendapat delikan tajam dari Winda. “Dibilangin malah ngejawab terus, heran deh mama.” Fahri hanya meringis memamerkan deretan gigi putih dan raihnya. Lelaki itu menghela napasnya lega saat gadis yang ditunggu-tunggu telah tiba. “Mas, ini Naja udah dapet obatnya,” ucap Naja sembari memamerkan plastik asoy yang berada di tangan kanannya. Napasnya tersenggal akibat berlari. “Lu ngomong apaan sih Bon. Kalau mau ngomong diatur dulu napasnya. Jan kek orang abis dikejar rentenir,” ujar Fahri menatap Naja begitu heran. ‘ini lebih dari itu ndoro kanjeng,’ ucap Nesya di dalam hati. Gadis itu mengusap peluh yang membasahi keningnya. “Udah ih jangan bawel. Nih obatnya.” Naja menyodorkan plastik tersebut. Fahri menerimannya dengan perasaan ragu-ragu. “Tenang, Naja nggak sejahat itu kali mas,” ucap Naja meluruskan. “Oke lah, kalo gua kenapa-kenapa lu harus tanggung jawab.” “Iyaaaa. Udeh sono cepetan!” Naya mendorong tubuh Fahri kedalam kamar mandi. Winda yang melihat kelakuan ke dua anaknya itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalannya. “Kalian ini nggak bisa ya sehari aja nggak ribut? Pusing kepala mama denger suara kalian berdua. Padahal anak mama cuma dua, tapi udah berasa punya anak selusin.” Cerocos sang mama dengan kekehan. ‘Yang satu anak pungut kali Mah,’ ujar Naja di dalam hati. “Tapi kalau nggak ada kita berdua rumah sepi kan mah?” Naja bertanya dengan menaik turunkan alisnya menggoda. Winda terkekeh pelan. “Iya, bisa aja kamu. Lebih baik kita nonton yuk, udah lama juga kita nggk nonton dan ngobrol bareng.” Winda terlihat begitu antusias, namun seketika Naja menjadi sedih. “Eng— Maaf mah, tapi cucian Naja belum selesai. Bisa-bisa mas Fahri ngomelin Naja lagi, mah.” Naja mencoba memberi penjelasan. Winda mendesah kecewa. “Ya sudah lah kalau begitu. Mama mau ke kamar sebentar ya.” “Mama kenapa? Pusing ya?” tanya Naja panik. “Enggak kok. Alhamdulillah mama sehat.” “Terus kenapa mama mau ke kamar?” Winda terkekeh. “Mama ngantuk sayang ini kan udah jam 2 siang. Jangan lupa nanti istirahat ya.” ‘pengennya sih gitu mah. Tapi anak mama tuh yang segala bikin ulah,’ batin Naja. “Iya mah,” ucap Naja dengan senyum keterpaksaan. Tidak ada cara lain selain berbohong, demi melindungi dirinya sendiri dari omelan Fahri yang begitu menusuk.  “Ya udah, mama ke atas dulu ya.” Naja hanya mengangguk sebagai jawabannya. Naja sudah cukup lama menunggu di depan pintu kamar mandi. Sampai rasanya kaki gadis itu mati rasa. Naja sudah sangat lelah menunggu, hinga pada akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi. “Mas, ngapain aja sih di dalem? Naja udah ngantuk nih mau istirahan. Cucian juga belum beres.” “Yo dah sono kalo mau istirahat Jubaedah, kenapa harus izin ke gua?” tanya Fahri sedikit menaikan nadanya. ‘izin salah, nggak izin juga salah. Maunya apa sih?’ protes Naja dalam hati. “Terus itu cucian gimana?” tanya Naja lagi. “Kan ada mbok Inem.” ‘kenapa nggak dari tadi. Dasar pentol bakso.’ Gadis itu semakin kesal dan hanya bisa menyumpah serapahi Fahri di dalam hati. “Ya udah deh Naja mau tidur.” Gadis itu langung menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Sedangkan Fahri yang masih ada di dalam toilet, lelaki itu sedang berusaha untuk meredakan perutnya yang melilit.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN