Pagi ini Zadda yang bertugas sebagai imam di ruang sholat rumah keluarga Maulana, kebetulan si kembar Swari dan Tya sedang libur shalat karena kedatangan tamu bulanan mereka.
Sehabis shalat Farah memulai bicara dengan Inesh. Tentu saja Dhana, Zadda dan Khaira tidak keluar dari ruangan itu. Mereka bersiap mendukung Farah dan Inesh.
“Tadi malam apa yang kamu rancang dengan kak Khaira Mbak?” tanya Farah “Nujuh bulan kan cuma pengajian saja, apa kamu mau pakai adat misal dodol dawet dan belah krambil?”
“Tidak Mom, kami hanya bahas ingin pakai baju kembaran saja, aku tidak mau pakai acara adat, cukup pengajian saja,” jawab Inesh.
“Seandainya, sekali lagi seandainya, saat pengajian keluarga mertuamu tak bisa hadir bagaimana?” cecar Farah
“Yah tidak apa-apa kan Mom? Siapa pun tidak wajib hadir koq. Kita bikin pengajian buat bayi yang Inesh kandung, jadi walau hanya Inesh yang hadir pun tidak masalah,” jelas Inesh lagi.
“Jadi begini Mbak, kemarin kamu bilang Athrav menginap di rumah mertuamu karena abinya sakit kan? Sebagai besan yang baik, daddy serta Abang dan Mas langsung menengok ke rumah mertuamu.”
“Ternyata mertuamu segar bugar dan Athrav tak ada di sana. Namun Ibu mertuamu sedikit kecewa saat Abang bilang Athrav tukang bohong. Maka Mas telepon Athrav di depan abi dan uminya, dispeaker agar mereka jelas. Saat itu Athrav bilang dia berada di rumah abinya dan baru pulang antar abinya ke dokter,” Farah diam sejenak ingin mengetahui reaksi Inesh.
Khaira menggenggam jemari Inesh seakan memberinya kekuatan.
“Apa Athrav biasa berbohong seperti itu?” tanya Farah pada anak perempuannya.
“Tidak tau Mom, tapi sebagai istri dan sebagai perempuan memang Mbak sering punya rasa curiga karena Mas Athrav suka pulang telat. Namun dia tidak pernah chat an atau SMS apalagi telepon bila di rumah. Di rumah dia jarang pegang ponsel.”
“Jadi tidak pernah bisa menuduh dia macam-macam, apalagi dia tidak pernah tidak pulang koq, baru semalam saja bilang mau menginap di rumah abi karena Mbak izin tidur di sini,” jawab Inesh.
“Delapan bulan lalu saat kamu baru menikah dua bulan, Khaira tidak sengaja lihat Athrav mengantar perempuan hamil enam bulan untuk periksa, di data pasien tertulis suami perempuan itu Athrav Advitya Maliq. Saat itu Khaira belum berani cerita ke Mazmu karena dia takut merusak keluarga kamu,” Farah mengulang cerita suaminya dengan hati-hati.
“Kalau dihitung, sekarang perempuan tersebut sudah melahirkan dan usia anaknya lima bulan. Nah dua minggu lalu kembali Khaira melihat Athrav mengantarkan seorang perempuan periksa ke poli anak, membawa anak berusia 17 bulan dan data di kartu pasien bapak si anak adalah Athrav Advitya Maliq, nama anak tersebut Andika Maliq.”
“Tentu saja Khaira tak ingin lagi menutupi kebusukan Athrav dia mencoba cerita pada Mazmu,” Farah mencoba menarik napas dalam, karena dia tau cerita yang dia ungkap sangat menyakitkan bagi putri tertuanya itu.
“Dan Mazmu butuh lima hari memikirkan jalan apa yang harus dia tempuh untuk mengatasi keruwetan ini. Akhirnya tiga hari lalu Mazmu meminta Abang dan daddy berkumpul di cafenya membahas persoalan ini,” jelas Farah.
“Serius Mommy pun baru diberitahu oleh daddy semalam setelah Maz dan abangmu menemani daddy mendatangi rumah mertuamu,” Farah mendekat pada Inesh dan memeluk anak perempuannya yang mulai terisak.
“Kamu harus kuat, kamu tidak sendirian, dan yang pasti baby membutuhkan bundanya kuat,” bisik Farah di telinga Inesh. Khaira pun ikut memeluk Farah serta Inesh.
Cukup lama Inesh terisak di pelukan Farah, lalu dia melepaskan pelukan dan beranjak menghampiri Darvi tanpa berdiri, dia hanya berjalan dengan lututnya karena mereka semua masih duduk di lantai ruang shalat.
“Daddy!” pekik Inesh memeluk Darvi dan menangis tersedu di dadda pahlawannya itu. Khaira yang melihatnya ikut menangis sambil memeluk Farah sementara Dhana dan Zadda berupaya menahan air matanya agar tak jatuh.
“Princess Daddy kuat. Dineshcara dengar Daddy, kami semua mendukungmu,” bisik Darvi sambil memeluk erat Inesh yang dia anggap masih seperti batitanya yang menangis saat ban sepedanya bocor.
Darvi menciumi puncak kepala anak perempuannya itu. Namun akhirnya Darvi sadar tubuh Inesh di pelukannya menjadi berat.
Sejak melihat Inesh pertama kali ketika Inesh berusia 35 hari,, Darvi tak pernah memanggilnya dengan nama Inesh dia selalu menyebutnya Princess. Dia akan menyebut Dineshcara bila kata-kata yang dia ucapkan membutuhkan perhatian penuh dari putrinya seperti saat ini. Dia ingin princessnya tau kalau semua benar-benar mendukungnya.
“Mbak, Mbak, Dineshcaraaaaaaaaaaaaaa!” panggil Darvi saat dilihatnya Inesh sudah pingsan dalam pelukannya.
“Bawa ke kamar Dadd, biar aku periksa,” perintah Khaira.
Kemarin Dhana memintanya membawa peralatan dan obat standart untuk antisipasi bila mommynya shock dan butuh penanganan pertama. Walau saat ini Khaira sedang ambil spesialisasi untuk menjadi dokter anak, tapi dia pastinya sudah menyandang gelar dokter umum, jadi dia boleh menangani pertolongan pertama seperti saat ini.
Zadda menyiapkan kayu yang diberi paku untuk menggantung botol infus, kayu tersebut dia ikat di kaki kursi dan diletakkan di sisi tempat tidur Inesh.
Inesh baru saja sadar dan tadi dokter kandungan yang dihubungi Khaira sudah datang memeriksa Inesh, dia pula yang menyarankan memberi Inesh infus.
“Mohon emosi Mbak Inesh dijaga agar bayinya aman,” begitu pesan dokter kandungan sebelum dia pamit.
Farah masuk kamar Inesh membawakan nampan berisi teh hangat serta sussu ibu hamil yang Inesh bawa dari rumahnya, serta sarapan berupa serabi dengan kuah gula yang terpisah karena kadang Inesh lebih suka serabi tanpa kuah gula.
“Sarapan dulu Mbak,” perintahnya pada anak perempuannya yang pastinya sedang terluka.
≈≈≈≈≈≈≈
Sejak tadi Athrav menghubungi ponsel Inesh tapi nomornya tidak aktiv. Lalu dia juga mengirim pesan ke nomor istrinya. Athrav tersentak ketika kali ini panggilannya terhubung dengan nomor istrinya, satu-satunya istri resminya karena perempuan yang lain tak ada yang dinikahi, walau nikah siri sekali pun.
“Assalamu’alaykum habibie,” sapa Athrav pada nomor istrinya yang sudah terhubung karena orang di ujung telepon telah menerima panggilannya. Sayangnya istrinya tidak menjawab sapaan manisnya kali ini.
“Honey, koq diem saja tidak balas salamnya Mas?” tanya Athrav lembut.
“Kamu masih berharap Inesh akan menjawab teleponmu?” jawab suara garang di ujung telepon yang tentu saja membuat nyali Athrav menciut.
Bagaimana tidak ciut bila yang menjawab teleponnya adalah karateka sabuk hitam yang menjadi wali nikah Inesh saat dia menikahi istrinya.
“Assalamu’alaykum Mas,” sapa Athrav pelan karena takut.
“Saya minta malam ini kamu dan orang tuamu datang ke rumah saya untuk menyelesaikan persoalan ini. Dan ingat, tak ada kesempatan kedua. Bila malam ini kalian tak bisa hadir.” perintah Dhana lalu memutus sambungan telepon itu.
Athrav yang sejak semalam sudah berada di rumah abinya dan hari ini libur langsung menghampiri abinya serta memberitahu permintaan kakak iparnya kepada abinya.