Sayangnya, takdir memang suka bercanda, hingga kita terkadang tak sanggup lagi tertawa.
Seperti yang dirasakan Uly saat ini. Sebulan setelah kepulangan sang kekasih dari luar negeri, hubungan mereka merenggang. Arya terlalu sibuk dengan urusan kantor yang mulai digelutinya, hingga tak ada waktu lagi bagi mereka meski hanya untuk bertukar kabar lewat udara.
Setiap kali wanita itu berkunjung ke rumah Arya, pria itu pasti tak ada di rumah, terkadang lembur, atau memantau proyek di luar kota.
Uly mencoba untuk bersabar, ia cukup memahami tanggung jawab yang diemban pria itu cukup berat. Ini adalah kesempatan emas bagi Arya untuk meraih kepercayaan Abas.
Namun, kesabaran seseorang sungguh ada batasnya. Apalagi saat memergoki sang kekasih yang sedang bermesraan di ruangan kerjanya dengan sekretaris sang papa, Marina.
Uly spontan menjatuhkan kantongan berisi makanan yang ia bawa khusus untuk makan malam Arya, Tere yang menyarankan agar Uly memasak dan mengantar langsung ke kantor karena pria itu berkata akan lembur.
Namun, kenyataan inilah yang ia dapat. Jantung wanita itu seakan diremas saat mendapati sang kekasih sedang menikmati hentakan tubuh telanjang Marina yang duduk di atasnya.
Kedua sejoli itu spontan menoleh saat mendengar benda terjatuh. Arya melompat berdiri saat mendapati Uly yang entah mengapa masih sanggup berdiri meski air mata mengalir deras di pipi.
"Sayang, aku ... aku bisa jelasin," ucap pria itu terbata, seraya berusaha membenahi kancing celana.
Uly menggelengkan kepala, mundur beberapa langkah menjauhi Arya yang terlihat panik luar biasa.
"Aku pikir ... aku pikir kamu berbeda dengan pria lainnya," lirih wanita itu pilu.
"Uly, Sayang, aku bisa jelasin."
Uly menggeleng kencang, mengangkat sebelah tangan meminta pria itu untuk berhenti.
"Cukup, Mas. Lebih baik kita sampai di sini aja, semoga kamu bahagia." Uly berbalik pergi meninggalkan ruangan yang menjadi saksi kesakitannya malam ini, di mana harapannya hancur tak bersisa, dikikis oleh pengkhianatan yang luar biasa.
Sesampainya di halaman gedung bertingkat tinggi itu, kepala Uly menoleh ke belakang dan tak mendapati tanda-tanda Arya mengejarnya. Wanita itu mengusap kasar air mata di pipi. Untuk apa ia mengharapkan hal itu? Sudah barang tentu Arya lebih memilih melanjutkan kegiatannya yang terganggu karena kehadiran Uly.
Gadis itu melangkah gontai, dengan hati yang tercerai-berai. Satu tahun menunggu kepulangan pria itu bukanlah waktu yang singkat, Uly merasa penantiannya selama ini sia-sia saja.
Ia jadi mulai menduga-duga, jika yang dilihatnya tadi sudah menjadi kebiasaan Arya bahkan sebelum pulang ke Indonesia. Gaya hidup bebas di luar sana tak mungkin pria itu lewatkan begitu saja.
Selama ini, Uly berpikiran terlalu naif. Ia selalu percaya bahwa nasih ada laki-laki di dunia ini yang akan menjaga diri hanya untuk sang istri kelak, dan sikap Arya yang lembut dan penuh kasih sayang meluluhkan hati Uly.
Tapi kini, kenyataan bahwa pria sebaik Arya saja tak mampu menahan godaan hasrat yang menggelora membuat harapan Uly mendapat pria baik-baik pupus sudah.
T E R J E R A T B E R O N D O N G
"Makanya, jadi perempuan jangan bego-bego amat!" Diva, sahabat Uly mengomentari sesi curhat yang dilakukan wanita itu sejak satu jam yang lalu.
"Jahat banget sih, Div, temen lagi sedih malah dikatain bego," ucap Uly tergugu, matanya masih basah dan makin memerah.
"Memang bener kok, dari dulu aku udah peringatin sama kamu, laki-laki yang beneran nyata aja nggak ada jaminan bakal lurus-lurus aja, apalagi ini cuma pacar online yang kamu nggak tahu seluk beluk dia gimana!"
"Tapi dia baik, dan ngenalin aku ke keluarganya, bukannya hal itu cukup buat ngambil kesimpulan ternyata dia serius sama aku?" tanya Uly membela diri.
"Terus menurut kamu gimana? Dia serius dengan ena-ena sama sekretaris papanya?" sindir Diva tajam.
Uly kembali terisak, menutup wajah dengan kedua tangan. "Aku nggak nyangka dia sebrengsek itu, Div," isaknya pilu.
Diva menghela napas panjang, tak tega melihat sahabatnya yang terlihat sangat sakit hati dan kecewa. Meski kesal karena sudah berulang kali mengingatkan Uly untuk memutuskan pria tidak jelas itu dan ditolak mentah-mentah oleh sahabatnya, tapi tetap saja ia tak sampai hati membiarkan gadis bodoh itu menangis sendirian sampai besok pagi.
"Gini aja deh, ntar malem kamu mau ikut aku nggak?" tawar perempuan itu.
"Mau ke mana?" tanya Uly senggugukan.
"Cari hiburan biar kamu lekas move on dan nggak terus-terusan nangisin si b******k itu."
"Tapi--"
"Sesekali keluarlah, Ly, biar mata kamu kebuka lebar gimana sekarang udah canggihnya jaman yang mempengaruhi sikap dan prilaku manusia."
Akhirnya gadis itu mengangguk lemah, tak ada salahnya ia sesekali keluar mencari hiburan. Kebetulan nanti malam ia tak ada tugas mengajar malam.
"Nah, gitu dong. Pinter kek sekali-sekali," gurau Diva yang hanya dibalas Uly dengan senyum tipis yang amat sangat dipaksa.
Malam harinya, Uly dibuat terkejut setengah mati saat Diva mengajaknya masuk ke dalam klab malam, tempat terkutuk yang paling Uly benci.
"Kamu ... kamu kenapa ajak aku ke sini?" tanya Uly panik.
Sementara Diva berjalan santai sambil membenahi dress pas badan yang dikenakannya.
"Nggak apa, Ly, sesekali kamu juga harus tahu tempat yang begini."
"Kamu mau jerumusin aku atau gimana sih?" omel Uly kesal.
"Enak aja, memangnya aku temen apaan. Ini tuh biar kamu bisa sedikit lupa dengan patah hati kamu itu. Udah deh, ayo masuk! Kita cuma happy-happy, bukan mau nyerahin diri ke laki-laki," gerutu Diva tak sabar.
Uly terpaksa mengikuti langkah Diva yang kini telah menarik tangannya. Tubuh gadis itu merinding saat kakinya mulai menginjak lantai club yang terlihat sangat ramai. Suara musik mengehentak kencang, bau alkohol bercampur asap rokok membuat Uly enggan menghirup udara di dalam.
"Mas, winenya dong." Diva memesan minuman pada bartender.
Sang pria berambut coklat keemasan itu tersenyum cerah seraya menyiapkan pesanan Diva.
"Kamu mau minum alkohol?" tanya Uly panik.
"Dikit doang, nggak nyampe mabuk," sahut Diva santai.
"Ih, itu 'kan nggak bagus buat kesehatan, Div," ujar Uly memperingatkan, dengan suara yang dibesarkan karena berisiknya ruangan ini.
"Patah hati juga nggak bagus buat kesehatan, Ly," sahut Diva santai.
Gadis itu ingin kembali mengingatkan, tapi terjeda saat pesanan Diva datang. "Wine for beautiful ladies."
Diva membalas senyum pria itu seraya menerima minumannya.
"Kamu harus coba." Gadis itu menyodorkan gelas itu ke hadapan Uly.
"Nggak mau!" sahutnya sambil menutup mulut dengan kedua tangan.
"Dikit aja," ucap Diva meyakinkan.
Uly terus menolak dan Diva tetap memaksa. Hal itu berlangsung sampai beberapa menit, hingga Uly akhirnya kembali mengalah dan mengikuti kemauan Diva.