1. Arya Mahendra
Pertemuan, jodoh, rizky, dan maut adalah kehendak dari sang pencipta. Begitu jugalah yang dipercayai oleh gadis cantik bermata sayu yang tengah berbahagia itu.
Uly Syahrani berdandan dengan cantik karena malam ini dia akan menyambut sang pujaan hati, Arya Mahendra yang sore ini tiba di bandara Soekarno Hatta.
Setahun menjalin hubungan tanpa pernah berjumpa membuat hati wanita itu kini dilanda kegugupan, dia takut Arya merasa kecewa dengan paras aslinya. Meskipun selama ini mereka sering melakukan video call, tapi tetap saja ini rasanya berbeda.
Uly bergegas keluar ketika mendengar suara klakson mobil di depan pintu rumahnya. Mobil jemputan dari keluarga Arya sudah datang. Iya, dia memang sudah sedekat itu dengan keluarga pria itu, bahkan di waktu senggangnya, Uly sering mengunjungi kediaman mereka.
Mama Tere bahkan sangat menyukai dirinya karena Uly pintar memasak. Seringkali wanita itu memintanya datang hanya untuk belajar membuat kue bersama Uly.
Di antara semua kerabat Arya yang Uly kenal, hanya satu oranglah yang sangat tak suka padanya. Bahkan terkesan sinis dan dingin, yaitu Dewa Angkasa, adik tiri pria itu.
Mungkin dibenaknya Uly hanyalah seorang wanita mata duitan yang mencintai Arya karena hartanya.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa Keluarga Angkasa masuk dalam sepuluh keluarga terkaya di Indonesia. Tapi jujur saja, bukan hal itu yang membuat Uly mau menerima Arya sebagai kekasihnya, karena memang cintanya tulus untuk pria itu.
Arya adalah pria yang baik, lembut, sopan, serta bertanggung jawab. Saat ini pria itu baru saja mendapatkan gelar masternya di Universitas ternama Amerika, dan sudah pasti hal itu menjadi nilai plus di mata Uly. Hal yang positif tentunya.
"Cantik sekali Nona Uly hari ini." Suara Pak Budi terdengar jahil di telinga wanita itu.
"Bapak jangan begitu dong. Saya jadi nggak pe-de," Uly berucap malu.
Pria paruh baya yang menjemputnya sore ini tertawa. "Nona Uly cantik, baik lagi. Semoga langgeng, ya sama Den Arya."
"Amiin. Makasih, Pak Budi," ucap Uly seraya tersenyum manis.
Mobil bergerak membelah jalan raya, membawa serta rasa gugup dan cemas yang Uly rasakan. Malam ini, dia akan menuntaskan segala rindu yang menggunung, dan akhirnya penantian panjangnya telah berujung.
Setengah jam kemudian, Uly sampai di kediaman keluarga Angkasa. Uly memang lebih memilih menunggu Arya di rumah, ketimbang ikut bersama kerabat pria itu yang menjemput di bandara. Lagi pula mereka pergi sebelum jam pulang mengajar Uly selesai.
Gadis itu melangkah santai memasuki rumah besar bak istana itu, sambil menenteng bungkusan plastik yang berisi kue coklat buatannya sendiri yang khusus di masaknya untuk menyambut kepulangan Arya.
"Eh, Non Uly sudah datang toh, sini-sini duduk." Bulek Atik, pekerja rumah ini menyambut ramah Uly yang segera meletakkan bungkusan kue di atas pantry.
"Pergi semua, ya, Bulek?" Uly bertanya seraya menyusun kue ke atas piring.
"Ndhak, Non. Tuan muda Dewa ada di atas," jawab Bulek Atik.
"Loh, dia nggak ikut jemput?"
"Tadi mau ikut, tapi tiba-tiba sakit perut katanya."
"Oh, gitu." Uly selesai menata kue dan meletakkannya di atas kitchen island. Lalu ia berbalik hendak membantu Bulek Atik yang sibuk memasak banyak menu untuk jamuan makan malam.
Suara langkah kaki terdengar memasuki area dapur, Dewa muncul hanya dengan celana olahraga yang menggantung di pinggul, keringat tampak membasahi d**a telanjangnya.
Uly memalingkan wajah karena merasa malu, dia yang notabenenya wanita kolot yang sungguh polos merasa risih melihat pemandangan itu karena tak terbiasa.
Kedekatannya dengan seorang pria pun biasa-biasa saja, hanya sebatas mengobrol dan makan bersama tanpa ada sentuhan fisik. Mungkin hal itulah yang membuat para teman kencannya itu merasa jenuh dan tunggang langgang meninggalkannya.
Uly berharap Arya adalah pria berbeda, mereka sama-sama sudah dewasa, dan wanita itu harap Arya adalah pria yang bertanggung jawab dan memegang prinsip Teguh melindungi wanita.
"Den Dewa perlu bantuan?" tanya Bik Atik sopan.
Cowok itu menggeleng pelan, dengan mata menusuk tajam punggung wanita yang berdiri dengan gelisah di depan kulkas.
Dewa berjalan mendekati wanita itu, menatapnya sejenak sebelum meraih kedua bahu Uly dan menggesernya dengan mudah.
"Minggir! Gue mau minum!" ucapnya datar.
Wanita itu tergagap dengan bibir sedikit bergetar. "Oh, ehm ... apa kamu ingin kue?" tanyanya gugup.
Dewa menaikkan sebelah alis seraya menyambar sebotol air mineral dan meneguknya hingga setengah.
"Apa itu kue buatan elo?" Matanya melirik sepiring brownis yang terletak di atas meja.
Uly mengangguk tanda membenarkan meski nada bicara calon adik iparnya itu terdengar kurang sopan.
Dewa melangkah mendekati meja itu, menyambar sepotong brownis dan melahapnya dengan wajah datar. Lalu, tanpa Uly sangka, laki-laki itu berlalu pergi membawa sepiring kue tanpa berkata apa-apa.
Wanita itu ingin mencegah, tapi entah mengapa bibirnya terasa kelu walau hanya sekedar menegur laki-laki itu.
"Loh, kok dibawa semua? Biasanya Den Dewa ndhak suka makanan yang manis-manis," komentar Bulek Atik heran.
Uly meringis tak mengerti, ia segera melihat kantongan plastik yang tadi dibawanya. Untung saja masih tersisa sedikit potongan brownis yang bisa ia sisakan untuk Arya.
Setengah jam kemudian, segala menu masakan telah terhidang di atas meja, lengkap dengan buah dan menu penutupnya. Tak lama, terdengar deru mobil berhenti di pekarangan rumah, dilanjutkan dengan suara tawa dan langkah kaki yang semakin mendekat.
Uly merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, jemarinya saling meremas dengan getar halus yang merambat.
"Welcome to home, Sayang!" Suara riang gembira Tere terdengar begitu bersemangat.
"Ah, Uly! Kamu sudah datang, Sayang!" pekik wanita itu ketika melihat calon menantu kesayangannya berdiri kaku di seberang meja makan.
Wanita itu mengangguk canggung. "Iya, Ma," sahutnya pelan. Ya, Tere sendiri yang memintanya memanggil dengan sebutan mama.
"Arya ...! sini!" panggil wanita paruh baya itu girang.
Tak lama, sesosok pria tampan dengan balutan kemeja biru navy muncul di hadapan Uly.
"Coba tebak, ini siapa?" goda sang mama pada putra sulungnya.
Senyum pria itu seketika mengembang, menatap lembut wanita yang berdiri dengan jari saling bertautan.
"Hallo, Uly," sapanya lembut.
Wanita itu mendongak dengan tatapan malu disertai detak jantung bertalu-talu.
"Hai, Mas Arya," sahutnya teramat merdu.
Pria itu tak sanggup menahan senyum, direntangkannya kedua tangan seraya berucap, "Nggak mau peluk? Nggak kangen sama aku?"
Uly menunduk malu, menggigit bibir salah tingkah. Arya yang melihat itu menarik kekasihnya gemas, mendekap dengan pelukan hangat sebagai salam perjumpaan.
"Aku nggak nyangka, kamu lebih manis dari yang aku bayangin," kekehnya senang.