"Tangkap rusa itu!"
Empat serigala mengepung seekor rusa di tengah hutan. Baru saja si rusa selesai minum dari kubangan yang berisi penuh air hujan, segerombolan serigala itu mengganggunya. Batu kecil membuat si rusa terjerembab. Ia jatuh membuat keempat serigala itu dengan mudah mengepungnya.
Namun, nasib baik berpihak pada rusa itu ketika salah satu serigala bermata biru berpihak padanya. Rusa tidak menyianyiakan kesempatan untuk kabur yang membuat tiga serigala lainnya mengeram kesal. Keempat serigala itu berubah wujud menjadi remaja tampan.
"Rusa itu kabur karena dirimu, Luke," ucap pria bertubuh paling kecil. Domina. Dua temannya―Husel dan Wisky― mendekati Luke lalu memukul wajahnya dengan keras. Luke terjerembab. Ia memegangi wajahnya. Hal ini sudah biasa ia dapatkan.
"Rusa itu terlalu kecil, kenapa kalian ingin memakannya?" tanya Luke. Ia tidak takut dengan temannya, meski ia memiliki kekuatan jauh di bawah mereka.
"Jadi kau ingin kami makan rerumputan?" Mereka tertawa membuat Luke terdiam. Ia segera bangkit, tapi Wisky kembali menendang kakinya hingga terjatuh. Mereka tertawa membuat Luke mengeratkan kepalan tangannya.
"Kau hanya jadi beban dalam kelompok kami. Lebih baik kau diam di rumah dan jangan merengek ingin ikut berburu," ucap Wisky lalu pergi. Diikuti kedua temannya yang lain. Luke merintih kesakitan. Di balik pohon Luke merasakan ada seseorang yang sedang mengintip. Ia bergegas mendekatinya, tapi tidak seorang pun yang berada di balik pohon.
"Apa instingku begitu lemah?" gumam Luke. Ia merasa seperti orang bodoh dan tak berguna.
"Kau tidak lemah, Nak, justru sebaliknya." Luke mendongkak. Ternyata ada seorang pria yang duduk di dahan pohon. Pria itu sedang mengunyah sebatang rumput hijau. Pria berambut putih panjang itu terlihat santai berada di atas sana.
"Siapa kau?"
"Aku? Aku hanya pengembara biasa. Hidupku sangat malang karena tidak satu pun pack yang bersedia menerimaku," ucapnya tanpa berniat untuk turun. Luke penasaran dengan sosok pria aneh itu.
"Apa yang kau katakan?"
Pria itu turun lalu berdiri di depan Luke. "Aku hanya memberitahumu kalau aku lebih suka sendiri tanpa ikatan dalam kelompok."
Luke memicingkan matanya. "Kau ini aneh. Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bercerita tentang dunia ini. Kau ingin bertanya sesuatu? Atau ingin mendengar ceritaku?"
Luke semakin kesal menaggapi pria tua yang tidak dikenalnya. Luke ingin pergi, tetapi pria itu terus mengikutinya. Luke menatap tajam. Namun, pria itu terlihat santai.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Sebut saja aku wolf assassin."
Luke tersentak. Ia pernah mendengar tentang wolf assassin dari ayahnya. Mereka adalah utusan Alpha untuk melindungi desa dari rouge dan pengganggu lainnya. Efan mengatakan bahwa wolf assassin adalah anak buah sang Alpha yang paling kejam dan kuat. Bahkan lebih kuat dari warrior—tentara perang. Namun, melihat pria tua berambut panjang di sampingnya ini bayangan akan pria kejam itu sirna. Luke bahkan tidak mempercayainya.
"Apa kau sedang melucu?"
"Apa kau tertawa?" Pria itu balik bertanya.
Luke menggeleng. Dalam pikirannya, Luke menganggap bahwa pria aneh ini mungkin membutuh pertolongan sehingga menyamar menjadi wolf assassin. Mungkin Luke akan menawarkan makanan supaya pria tua ini pergi.
"Aku bisa menangkap seekor rusa untukmu, tapi jangan mengikutiku lagi," ucap Luke membuat pria itu tertawa.
"Kau bilang menangkap rusa? Kau baru saja melepasnya."
Luke mengepalkan tangan erat-erat. Pria ini sedang meledeknya. Ia akan membuktikan bahwa ia akan menangkap seekor rusa untuk pria itu.
"Aku akan buktikan bisa menangkap rusa."
Luke memejamkan matanya. Telinganya menjadi sangat sensitive setelah matanya tertutup. Ia bisa merasakan target ada di dekatnya. Seekor rusa yang sedang minum air dekat sungai. Bukan hanya satu, tapi tiga ekor. Luke tersenyum lalu membuka mataya.
Ia menatap pria tua itu penuh percaya diri. "Kau tunggulah di sini aku akan membawa seekor rusa untukmu."
Luke segera berubah menjadi seekor serigala. Ia berjalan pelan mendekati mangsanya. Ia mengintip dari balik pepohonan sebelum menyergap mangsanya. Luke bersiap saat rusa itu berjalan mendekatinya yang bersembunyi di balik pohon yang penuh semak.
Dalam sekali lompat ia berhasil menerkam seekor rusa kecil. Luke sangat perkasa berada di atas tubuh rusa itu. Saat mata mereka bertemu Luke pun terdiam. Entah mengapa ia tidak tega melihat anak rusa itu kesakitan. Ia pun menyingkir dari atas tubuh rusa kecil dan membiarkannya kembali bersama keluarganya.
Luke kembali berubah menjadi manusia. Mata birunya perlahan berubah menjadi hitam. Luke menundukkan kepalanya, ia tidak mengerti kenapa setiap kali melihat wajah hewan kesakitan ia juga merasakannya.
"Sudah aku katakan kau tidak akan bisa menangkap rusa."
Luke menoleh. Kali ini pria yang mengaku sebagai wolf assassin itu sedang bersandar pada batang pohon sembari meneguk minuman dari botol. Luke tidak melihat botol minuman tadi, dari mana dia mendapatkannya?
"Hei, itu minumanku," ujar Luke saat melihat lukisan tangan yang menghiasai botol dari bambu itu. Megi yang membuatnya. Dia adalah pengerajin kayu yang pintar melukis.
"Maaf, aku sangat haus. Siapa yang menggambar bunga untuk anak pria? Botol ini punya adik perempuanmu?" tanya pria itu.
"Cih, itu milikku. Hadiah ulang tahun dari ibu." Luke merebut botol minumannya membuat pria itu tersenyum tipis.
"Kelemahanmu adalah kau terlalu baik, Nak. Selama kau hidup di kawasan Graviti, hati baikmu tidak akan membantu menyelamatkanmu dari bahaya. Rouge di luar sana tidak akan segan membunuhmu." Pria itu melompat ke atas batu besar sembari merentangkan tangan. Di mata Luke pria itu sangat bersinar.
"Tapi ayah dan ibu bilang menjadi baik itu adalah yang utama. Kami klan Omega, seumur hidup akan menjadi b***k para Alpha."
Pria itu tertawa semakin keras. "Itu bukan takdirmu. Mata biru itu akan mengubah segalanya."
Luke terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Mata biru? Apa benar ia memilikinya? Mata biru hanya dimiliki oleh para Alpha dan keturunannya, mana mungkin Luke dari klan Omega memiliki mata itu. Kini giliran Luke yang tertawa. Pria itu membohonginya lagi.
Pria itu sepertinya tahu apa yang dipikirkan Luke. Ia melompat dan berubah menjadi serigala hitam. Angin kuat berhenbus ketika ia berlari membuat Luke menutup matanya dengan lengan. Baru saja ia membuka mata pria itu sudah berada di hadapannya membawa seekor rusa yang tak berdaya. Luke terpesona. Ia benar-benar takjub dengan kecepatan yang dimiliki pria itu.
"Namaku Luke, siapa namamu?"
Pria itu kembali berubah menjadi manusia. Ia meletakkan rusa itu di atas tanah kemudian meletakkan tangannya di atas perut sang rusa. Seketika rusa itu kembali hidup lalu berlari menjauhi mereka. Pria itu berdiri gagah sembari berkacak pinggang menatap Luke dari tempatnya.
"Master. Panggil aku Master."
Hidung Luke kembang kempis mendengar nama pria itu. Apa dia sedang membodohi anak kecil. Luke duduk di atas rerumputan. Mendengar bualan Master membuatnya mengantuk. Terlebih angin berhembus sangat kencang dan matahari bersinar terik. Sungguh waktu yang tepat untuk tidur di bawa pohon rindang.
"Aku ingin kau jadi muridku."
"Kenapa harus aku? Teman-temanku sangat hebat, kau bisa memilihnya."
Master mendekati Luke. "Karena kau lemah, Nak. Semua muridku adalah werewolf yang kuat dan itu membuatku bosan. Aku perlu orang bodoh sepertimu untuk dijadikan murid."
Luke mengepalkan tangannya. Lagi, pria itu mengatainya bodoh. "Kau hanya punya satu kesempatan, Luke. Keputusanmu hari ini akan menentukan masa depanmu. Jika kau setuju maka aku akan tinggal untuk mengajarimu."
Luke terdiam sejenak. Ia mulai tertarik dengan Master. Melihat kekuatannya tadi Luke ingin menjadi pria kuat. Tangan Luke mengepal kuat. Ada keraguan yang mengganjal. Ia takut tidak berhasil dalam latihannya.
"Buang rasa takutmu, Nak. Perasaan itu hanya ada dalam pikiranmu. Semakin kau takut semakin sulit kau melangkah. Kau akan hidup dalam penyesalan setelahnya."
Luke menatap lekat sang Master, lalu mengangguk. "Jadikan aku muridmu, Master." Luke bersimpuh di hadapan Master. Kepalanya tertunduk saat melihat sepatu Master-nya berlubang. Jari-jarinya menyembul keluar. Sepatu usang itu tidak muat lagi menampung kaki besarnya. Luke mendongkak menatap sang Master yang sedang mengusap hidungnya yang gatal.
Dia tidak seperti seorang guru, batin Luke.
"Nak, berapa usiamu?" tanya Master. Ia berjongkok menyamakan tingginya dengan Luke yang sedang bersimpuh.
"20 tahun."
Master mengangguk. "Daun muda," gumamnya membuat Luke bingung.