Zea sangat hafal bahwa suara di ujung telepon sana adalah suara Jefry. Zea juga yakin dirinya tidak salah dengar. Hanya saja, kalimat pertama yang langsung pria itu katakan membuat Zea berpikir … maksud Jefry apa?
Zea yang sudah berencana akan memutus sambungan telepon jika tahu itu Jefry, akhirnya tidak jadi melakukannya.
“Maksud kamu apa?”
“Berani-beraninya kamu membawa lari uang tabungan kita!”
“Tabungan kita? Kamu serius berkata seperti itu? Kamu lupa siapa yang lebih sering menyimpan uang? Itu aku!”
“Aku hanya mau kita membagi dua secara adil uang tabungan itu. Masih simpan nomor rekeningku, kan? Aku tunggu transferannya sekarang juga.”
“Kamu gila? Lebih dari delapan puluh persen uang itu milikku! Dan kamu ingin dibagi dua?” kesal Zea. “Selain itu, apa kamu lupa selama ini sering pakai uang pribadiku? Bahkan, kamu beberapa kali membawa selingkuhanmu ke dokter kandungan pakai kartu debit punyaku, kan?”
Bodohnya Zea yang tak pernah mencari tahu lebih detail pengeluaran Jefry. Andai Zea mengeceknya sejak awal, mungkin Zea bisa mengetahui lebih awal kalau Rubi berselingkuh sampai selingkuhannya hamil.
Dalam sebuah hubungan, terlalu percaya juga tidak bagus. Jadi beginilah akhirnya.
“Jangan ungkit hal lain, Ze. Aku hanya mau uang tabungan kita dibagi dua. Terakhir aku ingat jumlahnya sekitar dua puluh juta, kan? Cepat kirim padaku setengahnya. Sepuluh juta!”
“Kamu memang sinting!”
“Cepat, Zea! Ini penggelapan kalau kamu nggak mau bekerja sama,” ucap Jefry dengan nada tinggi. “Baiklah, kalau begitu delapan juta aja deh, anggap aja yang dua juta aku kasih buat kamu,” sambungnya, mencoba bernegosiasi.
“Apa kurang jelas? Lebih dari delapan puluh persen tabungan itu punyaku. Sisanya? Seharusnya menjadi hak aku. Jangan lupa, berapa banyak uang pribadiku yang kamu pakai untuk keperluan pribadimu? Bahkan, sisa yang kurang dua puluh persen dari tabungan itu nggak bisa menutupi semuanya alias masih defisit. Alih-alih minta uang itu, justru seharusnya kamu yang nombok bayar sama aku!”
Zea berbicara lagi, “Haruskah aku cetak rekening koran besok untuk melihat seberapa banyak kamu pakai uangku? Dasar nggak tahu diri banget! Kamu seharusnya bersyukur aku nggak mengungkit apalagi menagihnya.”
Zea mengakui dirinya yang sangat bodoh. Padahal dirinya tidak kaya, tapi bisa-bisanya membiarkan Jefry memakai kartu debitnya. Tabungan bersama pun didominasi oleh uang Zea. Bodohnya, Zea tidak menyadari betapa sifat red-flag Jefry yang sebenarnya telah ditunjukkan pria itu sejak awal.
Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang pun hampir semua uangnya berasal dari Zea. Zea benar-benar bukan hanya rugi waktu, melainkan uang yang jika ditotal sangat lumayan.
Dan yang lebih gila, setahun lalu saat Jefry melamar … mereka berdua memutuskan mengambil KPR dan selama itu pula tidak satu kali pun Jefry membayar cicilannya. Dari DP hingga cicilan per bulan, Zea-lah yang membayarnya. Konyolnya, Jefry-lah yang menempati rumahnya.
Aku memang sangat bodoh. Jika ada lompa terbodoh sedunia … aku pasti juara satu!
Sepertinya kemarin-kemarin Zea masih syok lantaran dirinya batal nikah sehingga hanya memikirkan rasa malu, baru sekarang Zea kepikiran tentang betapa banyak kerugian materi yang dialaminya.
“Jadi intinya kamu nggak mau ngasih hak aku?”
“Oke, aku bakalan kasih hak kamu dengan syarat … kamu harus kembalikan dulu hak aku.”
“Maksudnya gimana, Ze?”
“DP rumah, cicilan selama setahun, pengeluaran kartu debit punyaku yang sempat kamu pakai, pengeluaran persiapan pernikahan yang batal, hmm apa lagi ya? Sepertinya masih banyak uangku yang selama ini kamu pakai. Jadi, balikin sekarang dan barulah aku bisa bagi dua secara adil tabungan bersama sesuai uang masuk. Tentunya aku perlu cek mutasinya dulu.”
“Zea, kamu nggak punya harga diri atau apa? Kenapa kamu ungkit itu?”
“Hei pria sialan! Kamu nggak ngaca? Jelas-jelas kamu yang nggak punya harga diri. Apa aku terlalu kasar kalau menyebutmu mokondo? Sadarkah kamu selama ini numpang hidup sama aku?!” balas Zea. “Aku sempat mengira batal nikah itu bencana, tapi sekarang aku sadar … Tuhan telah menyelamatkanku dari pernikahan yang berpotensi penuh penderitaan di dalamnya.”
“Enggak usah banyak bacot deh, Ze. Terserah deh kalau kamu nggak mau ngasih hak aku. Silakan makan uangku itu!”
Bukankah melelahkan bicara dengan Jefry? Mau dibilang berapa ratus kali pun pria itu tetap tidak akan mengakui fakta kalau Zea yang justru seharusnya minta ganti rugi. Sampai kapan pun Jefry pasti merasa dirinya punya hak dari uang tabungan bersama. Itu sebabnya Zea tidak akan menanggapinya lagi. Buang-buang waktu saja.
Zea yang hendak memutus sambungan telepon mereka, mengurungkan niatnya setelah mendengar Jefry berbicara lagi.
“Ah, padahal aku ingin kita mengakhiri hubungan dengan cara baik-baik. Bisa-bisanya kita harus meributkan uang seperti ini,” ucap Jefry. “Zea, kamu tahu kenapa aku lebih memilih bersama calon istriku yang sekarang?”
“Aku nggak mau tahu!”
“Cih, aku yakin kamu penasaran, Ze. Makanya aku mau memberi tahu kamu,” jawab Jefry. “Aku akui kamu cantik, tapi kamu itu nggak normal. Maksudku, sebagai perempuan … kamu sama sekali nggak hot. Jangankan hot, kamu selalu beralasan ini dan itu saat aku mengajakmu berhubungan badan. Kamu maunya saat udah nikah? Padahal aku mau test drive dulu. Selain itu, kamu juga nggak bisa memenuhi hasratku saat aku menginginkannya, makanya aku lebih memilih bersama calon istriku sekarang yang selalu siap saat diajak tidur bersama.”
“Bukankah itu yang membedakan mana perempuan yang mahal dan murah?”
“Oh, jadi kamu merasa mahal?” kekeh Jefry. “Zea dengar, ini mungkin menyakitkan … tapi aku pikir kamu harus tahu.”
Zea terdiam.
“Aku ragu bakalan ada yang mau sama kamu selain aku. Dalam kata lain, nggak akan ada yang mau sama kamu, Ze. Jangan merasa mahal padahal nyatanya kamu nggak laku karena faktanya nggak ada ada laki-laki yang tertarik sama perempuan sok suci. Apa susahnya melayani hasrat pacar di atas ranjang? Kelamaan kalau nunggu nikah. Bahkan, ciuman aja kamu nggak lihai. Itu sebabnya aku bilang kalau kamu itu nggak normal. Beda banget sama calon istriku yang bisa melayani….”
Zea memutuskan mengakhiri pembicaraan mereka dengan mematikan sambungan telepon yang seharusnya sudah Zea akhiri sejak tadi. Bisa-bisanya ia begitu kurang kerjaan mendengar ocehan Jefry yang tidak berguna dan hanya membuat telinganya sakit.
Setelah itu, Zea kembali menutup kartu lamanya, begitu juga dengan aplikasi pesan yang sudah dikembalikan menggunakan nomor baru. Ia sungguh menyesal telah menjawab panggilan Jefry.
Sial! Seharusnya aku hubungi Stevi pakai nomor baruku, bukan malah mengaktifkan aplikasi pesan menggunakan nomor lama….
Namun, satu hal yang Zea sadari … selama ini dirinya terlalu sibuk merasa hancur karena batal menikah. Belum lagi harus memikirkan rasa malu saat orang-orang mengetahui hal ini. Padahal ada yang jauh lebih parah dari dua hal itu, yakni kerugian besar yang Zea alami. Bukan hanya rugi waktu dan perasaan saja, tapi juga rugi uang dengan nominal yang lumayan besar. Intinya Zea rugi segala-galanya.
Jefry pasti gila karena melakukan ini pada Zea, tapi Zea akui dirinya jauh lebih gila bahkan sangat bodoh yang bisa-bisanya sempat mencintai pria sialan itu.
Aku pasti terkena gendam!
Setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, Zea yang masih duduk di bangku panjang depan restoran, kini matanya tertuju pada beberapa orang yang tampak memasuki tempat hiburan malam yang kemarin Rubi ceritakan.
Zea mulai berpikir, kemarin ia memang tak punya alasan untuk mengunjungi kelab malam. Namun, bagaimana dengan sekarang? Bolehkah Zea mampir sebentar agar setidaknya bisa menghibur dirinya yang sangat kesal dan butuh pengalihan sejenak?
***
Zea tidak se-polos itu. Ia beberapa kali ke kelab malam bersama Stevi sekalipun tidak pernah aneh-aneh dan hal terjauh yang Zea lakukan hanyalah minum lalu menikmati musik disko di lantai dansa, itu pun saat Stevi memaksanya. Tidak pernah lebih dari itu.
Sekarang Zea yang sudah berada di kelab malam Senjaratu, hanya duduk sambil melihat beberapa orang yang sedang menghibur diri di lantai dansa. Ah, untungnya seragam Forena hanya dipakai saat bekerja saja, saat berangkat dan pulang … semua staf berpakaian bebas sehingga Zea tak perlu repot-repot pulang dulu sebelum masuk ke sini.
Apakah Zea kepikiran untuk bergabung ke lantai dansa? Tentu saja tidak. Zea lebih memilih duduk saja sambil meratapi kebodohannya yang lain. Ya, Zea baru saja mengecek marketplace yang biasa Jefry pakai dalam keadaan logout.
Di ponsel Zea memang ada dua marketplace, satunya yang selalu menjadi andalan Zea. Sedangkan satunya lagi yang menjadi andalan Jefry saat berbelanja. Kemarin saat Zea mengecek harga bra sekaligus ongkir ke Senjaratu, tentu saja menggunakan marketplace yang biasa dipakai olehnya.
Itu sebabnya Zea baru sadar kalau aplikasi marketplace satunya dalam keadaan logout. Setelah login ulang, Zea baru mengetahui kalau limit paylater-nya sudah dipakai oleh Jefry.
Jadi ini alasanmu dulu memaksaku mengaktifkan paylater padahal aku nggak mau. Kamu bahkan login marketplace-ku di ponselmu….
Rupanya beberapa hari ini riwayat belanja akun Zea cukup banyak, ada pesanan yang sudah terselesaikan dan masih banyak yang sedang dalam perjalanan. Semuanya dikirim ke rumah yang seharusnya akan menjadi tempat tinggal mereka setelah resmi menikah. Rumah yang pada akhirnya Jefry tempati bersama wanita yang telah dihamili olehnya. Sialan sekali, bukan?
Konyolnya, riwayat belanjanya didominasi oleh perlengkapan bayi, s**u dan vitamin ibu hamil, barang-barang yang Zea yakini milik selingkuhan Jefry hingga perlengkapan rumah tangga.
Dasar nggak tahu diri! Bisa-bisanya Jefry menggunakan paylater milik Zea untuk membeli semua itu. Parahnya lagi, Jefry juga memakai jasa gestun alias gesek tunai untuk mencairkan dana paylater tersebut.
“Bonus dari batal nikah adalah … aku punya banyak utang. Sialan!” gumam Zea tepat setelah mengganti password marketplace-nya. Ia juga membatalkan pesanan yang masih bisa diselamatkan.
Zea yang frustrasi, menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelasnya lalu meminumnya dalam sekali teguk. Masih kurang, Zea melakukannya lagi hingga berulang-ulang sampai akhirnya wanita itu mabuk.
Zea, kamu pikir ini drama yang memutuskan mabuk saat sedang diterpa masalah?
***
Rubi merangkul Zea turun dari mobilnya. Zea yang antara sadar dan tidak sadar lantaran mabuk parah sehingga jalannya pun menjadi sempoyongan. Tiba di depan pintu nomor dua, Rubi mencoba menyadarkan Zea agar memasukkan sandi pintu yang benar. Sandinya tentu sudah diubah semenjak Zea tinggal di sini sehingga Rubi tidak lagi mengetahuinya. Selain itu, kartu aksesnya pun sudah berikan pada Zea.
Rubi terpaksa memeriksa isi tas Zea, tapi ia tidak menemukannya sehingga terpaksa membawa masuk Zea ke tempat tinggalnya. Setelah menutup pintu nomor tiga dari dalam, Rubi membaringkan Zea di kasur miliknya.
Rubi yang hendak beranjak meninggalkan Zea, tiba-tiba Zea menarik kemeja yang Rubi pakai. Entah sekuat apa Zea menariknya sampai-sampai beberapa kancingnya langsung terbuka bahkan ada yang terlepas.
“Oh tidak! Perut kotak-kotak yang menggoda,” ucap Zea yang Rubi yakini masih sangat mabuk.
“Tidurlah,” balas Rubi. “Atau kamu mau minum air hangat?”
Alih-alih menjawab, Zea malah kembali bertanya, “Bolehkah aku menyentuhnya?”
“Kamu mabuk. Sekarang tidurlah….”
“Bagaimana mungkin aku tidur saat pemandangan indah di depan mataku?” balas Zea yang kini duduk dan dengan berani menyentuh perut Rubi sambil mengelus-elusnya. Ini roti sobek yang sejak kemarin sangat ingin Zea sentuh.
Disentuh oleh Zea begini, tak bisa dimungkiri ada perasaan aneh yang Rubi rasakan, terlebih sentuhan tangan lembut wanita itu pada perutnya … menciptakan sensasi yang sudah lama tak Rubi rasakan. Bahkan, tanpa permisi si gagah milik Rubi di bawah sana langsung aktif dan memberikan sinyal agar dipuaskan malam ini.
Tentunya Rubi masih sadar sehingga bisa mengendalikan dirinya. Namun, sentuhan Zea pada perutnya membuat hasrat Rubi semakin menjadi-jadi.
“Zea, tolong lepaskan. Jangan melakukan sesuatu yang besoknya akan kamu sesali.”
“Kenapa aku harus menyesal? Sejak kemarin aku sangat ingin menyentuh ini dan akhirnya mendapatkan kesempatan. Bagaimana mungkin aku melepaskannya?” Zea menyentuh perut Rubi sambil memainkan kedua telapak tangannya.
Hal itu membuat hasrat Rubi semakin membara terlebih saat sentuhan demi sentuhan tangan Zea secara aktif bergerak dengan liar di perutnya. Apalagi kemeja yang Rubi pakai sudah dilepaskan sehingga pria itu bertelanjang da-da.
“Tunggu, ini apa? Kenapa keras sekali?” tanya Zea saat sentuhannya yang semula hanya pada area perut, kini telah merambat ke bawah, tepatnya pada celana Rubi. Ya, baru saja wanita itu menyentuh si gagah kebanggaan milik Rubi.
Spontan Rubi langsung menahan tangan Zea. “Saya harap kamu jangan pernah menyentuh alkohol lagi. Kamu sangat berbahaya saat mabuk begini,” ucapnya.
“Ih, ini apa?” tanya Zea yang lagi-lagi menyentuh ‘si jantan’ yang sedang aktif-aktifnya sehingga butuh dimanja.
“Lepaskan, tolong jangan sampai membuat saya kehilangan kendali.”
Saat hasrat Rubi semakin di luar kendali, Zea pun tak kalah menjadi-jadi. Wanita itu yang masih duduk di kasur dengan berani memeluk Rubi yang berdiri di dekatnya, tapi anehnya … kali ini Rubi tidak berusaha melepaskan diri. Pria itu membiarkan Zea memeluknya.
“Katanya Mas Rubi serba bisa, bisakah mengobati luka patah hati dan frustrasi yang aku rasakan?” tanya Zea yang masih memeluk Rubi.
“Saya akan membantumu dengan memberi saran. Bukalah hati untuk orang baru dan kamu akan melupakan yang lama,” balas Rubi. “Tapi kalau masih trauma sehingga belum siap menerima orang baru, buatlah dirimu sibuk se-sibuk-sibuknya sampai lupa sendiri dengan patah hati yang dirasakan.”
Bersamaan dengan itu, mereka saling melepaskan pelukan. Namun, sialnya Rubi sudah tidak tahan lagi! Ia memberanikan diri mencium bibir Zea lebih dulu.
Terlepas dari Zea yang masih mabuk atau tidak, Rubi tak peduli. Satu hal yang pasti … wanita itu tidak memberikan penolakan dan tentu saja Rubi terus mencium bibir Zea, menikmati setiap detail bibir yang nikmat itu.
Bahkan, Rubi dengan penuh kesadaran mulai membimbing tangan Zea agar kembali menyentuh perutnya, membiarkan Zea menyentuh sesuka hatinya.
“Mas Rubi yakin beneran serba bisa?” tanya Zea di sela-sela ciuman mereka.
“Ya, termasuk memuaskanmu di ranjang ini. Mau bukti?”
“Jangan hanya bicara, tapi buktikanlah,” tantang Zea.