Senin dan Jumat adalah waktu sibuknya Pelabuhan Senjaratu. Jika Senin waktunya keberangkatan, sedangkan Jumat merupakan waktu kedatangan. Jadi, orang-orang yang ingin pergi merantau atau meninggalkan Senjaratu … sudah pasti pada hari Senin. Sebaliknya, yang ingin datang atau memasuki wilayah Senjaratu sudah jelas hari Jumat.
Hari ini adalah hari Jumat pada akhir Mei yang cerah, pelabuhan langsung sibuk saat sebuah kapal berukuran tidak terlalu besar sedang berlabuh. Para penumpang bersiap turun sambil membawa barang-barang mereka dan tentu saja para petugas sudah pasti akan bersiaga membantu.
Bahkan, di bawah kapal sudah banyak yang menawarkan jasa angkut barang sampai ke tempat tujuan, termasuk jasa antar menggunakan kendaraan bermotor baik roda dua maupun empat.
Di antara hectic-nya suasana kedatangan, ada seorang pria dengan tubuh tinggi, tegap dan sempurna di bawah sana yang menjadi pusat perhatian bagi kedua penumpang pria yang masih berada di atas kapal. Ah, sepertinya bukan hanya menjadi pusat perhatian dua penumpang, melainkan semua orang yang ada di sini akan spontan memperhatikan seorang pria yang sepertinya sedang menunggu penumpang turun.
“Itu warga sini?” tanya seorang pria sambil menunjuk ke arah pria di bawah sana yang sebenarnya berpenampilan biasa, tapi postur tubuh sempurna dan wajah tampannya berhasil membuat penasaran.
“Kapan terakhir kali pulang kampung sampai nggak tahu Rubi Adnan?” balas pria di sebelahnya yang juga merupakan sesama penumpang kapal dan sedang menunggu waktu turun.
“Hampir setahun.”
“Oh, ya pantes. Sebenarnya dia pendatang, kalau tidak salah sudah sekitar empat atau lima bulanan di Senjaratu dan dia lumayan berbaur sama warga. Makanya terlihat seperti warga pribumi.”
“Warga pribumi apanya? Dia jelas-jelas paling mencolok di antara semua pria yang ada di sini. Dengan wajah tampan seperti itu, kenapa memilih tinggal di sini? Padahal kalau di kota, dia bisa jadi artis atau model.”
“Jangan remehkan Senjaratu. Tempat se-nyaman ini, bakalan jadi favorit kalau seandainya terkenal.”
“Tadi siapa namanya? Rubi Adnan?”
“Ya, dia baru 32 tahun dan memutuskan menetap di sini. Sepertinya dia jatuh cinta banget sama Senjaratu.”
“Menetap hanya untuk bekerja mengangkut barang-barang penumpang yang turun dari kapal?”
“Eits, jangan salah. Dia memang kelihatannya kerja serabutan di sini. Dia itu serba bisa dan mau disuruh ini, itu dan semuanya bisa dia kerjakan dengan bayaran seikhlasnya yang pakai jasa. Tapi, dia bukan sembarang pekerja serabutan. Dengar-dengar, sih, dia aslinya konglomerat yang melakukan semua pekerjaan hanya untuk mengisi waktu luangnya.”
“Serius?”
“Ya, sangat serius. Sebagai informasi tambahan, Rubi Adnan datang ke Senjaratu sekaligus membangun kerajaan bisnis dan mengelolanya sendiri. Dia bukan hanya membuka lapangan pekerjaan dari peternakan ayam petelur dan kebun semangka, tapi dia juga membeli kos-kosan Pak Somat yang terbengkalai dan sekarang udah disulap menjadi kos-kosan seperti di kota-kota. Nyaman seperti namanya.”
“Wow, padahal belum setahun di sini. Tapi udah luar biasa banget, ya? Dia membawa perubahan Senjaratu ke arah yang positif.”
“Nah itu, saat orang kaya memakai uangnya dengan tepat … jadinya memberi manfaat. Dia memang menghabiskan banyak uang untuk membangun kerajaan bisnisnya di sini, tapi saya yakin dia bakal menghasilkan uang jauh lebih banyak karena semua bisnisnya menguntungkan.”
“Kereeen.”
“Para warga sampai menyarankan dia mencalonkan diri menjadi kepala desa, tapi dia menolak. Padahal kalau dia ikut pemilu, kemungkinan akan menang. Pokoknya dia populer banget di sini. Daya tariknya luar biasa. Hampir semua warga kenal siapa, sih, Rubi Adnan.”
“Termasuk saya nih, yang tadinya tidak tahu siapa dia … sekarang jadi tahu,” kekehnya. “Sekarang pertanyaannya … di usainya yang 32 tahun itu, apa sudah ada istri? Siapa tahu aja cocok jadi adik ipar saya. Kebetulan adik saya belum menikah,” lanjutnya lalu tertawa.
“Jangan berharap. Kembang desa saja tidak ada yang berhasil bikin hatinya luluh. Cuma yang pasti dia duda cerai hidup. Entah apa penyebab perceraiannya tidak ada yang tahu. Lagian itu privasi dan urusan pribadi dia juga.”
“Wah, udah beres tangga-nya. Ayo turun!” ajak pria itu. “Haruskah saya pakai jasa Rubi Adnan buat bawa tas besar ini?” tambahnya.
“Itu pun jangan harap, karena dia pasti datang ke pelabuhan karena udah ada yang pesan jasa angkut sekaligus antarnya. Ya, dia pasti sedang menjemput seseorang.”
***
“Senjaratu itu tempat yang nyaman, tapi kalau orang yang terbiasa tinggal di kota apalagi seumur hidupnya, belum tentu betah tinggal di sini,” ucap Jati, sambil memperhatikan para penumpang yang berangsur-angsur turun.
“Saya berasal dari kota dan saya betah di sini,” balas Rubi. “Tunggu, kamu sedang membahas perempuan yang sedang kita sambut, kan? Perempuan dari kota yang akan mengisi posisi di Bank Forena.”
“Ya, benar,” balas Jati. “Aduh, hampir lupa. Ini kertasnya coba pegang lebar-lebar. Supaya kalau dia turun baca ini.”
Sambil mencari wanita yang mereka berdua tunggu-tunggu, Rubi membuka kertas pemberian Jati, ukurannya saat dilebarkan sebesar poster dan berisi tulisan nama wanita itu.
SELAMAT DATANG ZEA AURELIA!
Tunggu, kenapa Rubi merasa familier dengan nama itu? Rasanya ia pernah mendengar nama Zea Aurelia sebelumnya, tapi di mana dan kapan?
“Permisi, aku Zea.” Suara lembut seorang wanita membuat Rubi mendongak. Ah, bisa-bisanya ia menunduk padahal sedang menunggu seseorang.
“Halo Zea, saya Jati. Ketua tim Forena cabang Senjaratu.” Jati mengajak Zea bersalaman dan Zea langsung menyodorkan tangannya. Selama beberapa saat mereka pun bersalaman.
“Oh iya, ini Rubi Adnan. Dia yang bakalan antar kamu ke kosan yang akan kamu tempati selama di Senjaratu.”
Zea langsung mengulurkan tangannya pada Rubi. “Halo, aku Zea.”
“Rubi. Rubi Adnan,” balas Rubi seraya membalas uluran tangan wanita itu.
Rubi kini ingat siapa wanita di hadapannya ini. Namun, ia tak mengerti. Sebenarnya takdir macam apa ini?
Kenapa perempuan ini … ada di sini?