Keterlaluan. Baru beberapa menit lalu dia melakukannya. Kini, Javier bisa-bisanya melengos begitu saja saat mereka berpapasan di lobi. Hana sempat menyapa Javier, tapi Risa memilih diam karena masih marah. Dan Javier bersikap sempurna seolah apapun itu-tidak pernah terjadi.
Ah, aku butuh pisau untuk menusuk jantungnya. Atau sesuatu untuk memukul kepala pria sialan ini. Risa menghela nafas sepelan mungkin. Kayhan, maafkan bunda nak. Entah kenapa ada penyesalan luar biasa dalam dirinya. Kenapa dia merasakan sesuatu yang rasanya berlebihan? Penyesalan ini bahkan mengingatkannya pada orang tuanya.
"Kenapa tuh bos? Buru-buru amat gitu," Tanya Hana. Pertanyaan Hana tidak disahuti Risa. Tapi dia memang sempat melirik Javier. Dia jalan buru-buru dengan ponsel ditelinganya.
...
Javier meneguk minumannya. Memang bukan alkohol karena dia bukanlah alkoholik. Ada titik dimana-baik dia ataupun Arkan tidak menyentuhnya. Meski papa-mama tidak pernah melarang mereka ini itu, tapi sesuatu hal seperti sudah terpatri didalam diri mereka. Javier maupun Arkan tidak ada yang minum alkohol ataupun merokok. Sebut saja alasannya kesehatan.
"Jadi kapan kamu akan berangkat ke Italy?"
Arkan melirik abangnya itu sekilas. "Besok."
Javier manggut-manggut. "Apa kamu tau siapa yang sedang kamu hadapi Ar?"
Arkan mengangguk. Bagaimana bisa dia tidak tau siapa yang akan dihadapinya? Mereka adalah salah satu klien terbesar hotel-nya.
"Jadi berapa lama kamu akan disana?"
Arkan meneguk minumnya. "Entahlah. Sekitar dua atau tiga minggu. Aku yakin mereka akan dengan senang hati mempersulitku karena sudah menolak putri mereka."
Javier menatap Arkan. "Aku tidak akan memaksamu melakukan ini dan itu. Lakukan apa yang menurutmu harus kamu lakukan. Tapi percayalah, tidak akan ada yang akan menyalahkanmu jika kamu harus memutus kerja-sama dengan mereka."
Arkan manggut-manggut. Inilah Javier. Dia sejak dulu, sejak awal dia memutuskan terjun ke bisnis ini, tidak sekalipun Javier tidak mendukungnya. Javier seperti punya caranya sendiri untuk memberinya kekuatan. Memberinya kekuatan yang sebenarnya. Apa yang Javier lakukan membuatnya kokoh dari akar. Dia sendiri tidak tau bagaimana dirinya jika tanpa Javier. Anggap berlebihan, tapi Vier adalah sosok yang dihormatinya lebih dari siapapun.
Arkan mengangguk. Bukankah abangnya ini luar biasa? Tidak ada yang bisa punya abang seperti ini. Javier bisa memahaminya tanpa perlu ia jelaskan sesuatu. Seperti saat tadi dia menelfon Javier dan mengatakan dia akan ke Italy. Dan disinilah mereka. Salah satu club malam mewah di ibukota.
Javier adalah orang yang tidak tanggung-tanggung jika sudah menyangkut keluarga. Tapi ada satu yang sangat disesalkannya. Kenapa Sean dulu menyakiti Javier dan mengecewakannya? Kenapa harus Sean? Seseorang yang sudah seperti separuh dirinya bagi Vier. Seseorang yang dilindungi Javier sepenuh hati. Itulah kenapa Javier sangat benci penghianat. Biarlah Javier membenci Sean selamanya. Karena dia sendiri akan membenci Sean jika Javier memaafkan abangnya yang satu itu.
"Inilah yang aku inginkan Ar. Aku lebih suka jika hotel itu bangkrut karenamu. Daripada pesat karena Papa."
Arkan menatap deretan botol wine mahal didinding. Tapi bukan itu yang ada difikirannya. "Jadi kamu akan menghabiskan dua sampai tiga minggu disana?" Tanya Javier. Arkan mengangguk. Dan entah apa yang lucu membuat Javier tergelak.
"Kenapa?" Tanya Arkan heran. Apa yang lucu?
"Kamu akan menyelesaikannya lebih cepat dari yang kamu duga. Jika kamu punya alasan untuk kembali."
Jelas saja kalimat Javier membuat Arkan mengerutkan keningnya. Apa maksud Javier dengan alasan untuk kembali? Tapi Javier tidak akan menjelaskan apa maksud ucapannya. Dia bangkit. "Kalau begitu aku pergi dulu. Aku tunggu kabarnya."
"Ya."
"Oh ya. Mampirlah dulu ke rumah Mama. Aku sudah membuatnya shock kemarin," katanya.
...
Risa terbangun ditengah malam. Sebelum beranjak kedapur dia sempat melirik kekamar Kayhan. Ia melangkah pelan menuju refrigerator dan mengambil segelas air dingin. Dipandanginya sekeliling dapur. Sudah berapa lama dia hidup seperti ini? Empat tahun. Sudah empat tahun dia menghabiskan hidup hanya berdua dengan Kayhan dirumah ini. Kayhan adalah pusat dunia dan kebahagiaannya. Jika saja tidak ada bocah itu entah apa yang akan terjadi padanya?
Tapi sampai kapan dia akan hidup seperti ini? Ada satu janji yang selalu diucapkannya. Dia akan membuat putranya itu bahagia. Jadi target terbesarnya adalah membesarkan Kayhan dengan sebaik-baiknya. Maafkan Risa Bu, Yah. Risa tidak bisa jadi anak yang membuat kalian bangga. Maafkan Risa.
...
"Kereta api. Tut tut tut.. siapa hendak turun.." Kayhan bernyanyi dengan riangnya. Risa sampai tidak bisa menghilangkan senyum diwajahnya. Mereka sedang berkeliling supermarket untuk membeli kebutuhan bulanan. Dan Kayhan selalu saja riang jika sudah begini. Risa akan menghabiskan hari ini bersama Kayhan Melupakan rasa penat di kantor.
"Bunda. Kemarin temen Kay ada yang nangis," bocah pintar itu mulai cerita. Risa mendengarkan dengan seksama dan sesekali memberikan respon. "Trus Kayhan kasih bunga. Dia berhenti deh nangisnya." Senyumnya merekah.
"Anak pintar. Memang anak Bunda deh." Risa memberi kecupan hangat di pipinya. Keduanya kembali mendorong trali.
"Kayhan mau s**u rasa apa?"
"Coklat."
Risa mencoba menjangkau s**u coklat yang posisinya cukup tinggi. Dia melihat sekeliling tapi pegawai untuk minta bantuan. Tapi malah pada jauh. Sementara memikirkan cara tiba-tiba Risa tersentak kaget. "Ayo ambil," ucap suara itu. Kayhan diangkatnya hingga bisa menjangkau s**u itu dengan msudah.
"Ini bunda," ucapnya menyerahkan s**u itu kepada Risa. "Makasih om," sambungnya dan memberi sebuah senyuman tulus.
"Sama-sama sayang." Pria itu mengelus pelan pipi Kayhan. Dari sekian banyak orang yang dikenalnya, kenapa dia harus bertemu Javier disini? Dia sama sekali tidak memasang wajah ramah.
"Bunda, kok diam aja? Bilang makasih dong," ucap Kayhan. Risa menghela nafas pelan.
"Makasih pak," ucapnya pendek, datar dan sedikit dingin.
"Om kafe mau beli s**u juga?"
Javier melirik Risa sekilas. Kemudian dia berjongkok hingga posisi tubuhnya hampir setara dengan Kayhan. "Panggil om Javier," ucapnya lembut.
"Om Api?"
Javier tersenyum karena Kayhan tidak bisa menyebut namanya dengan benar. Lalu dia mengangguk dan membiarkannya. "Kamu boleh panggil om apa saja."
Kayhan tersenyum dan menghadiahi sebuah ciuman di pipi Javier. Membuat Javier tertegun. Rasa apa ini? Kenapa dia merasa ada sesuatu saat Kayhan mencium pipinya?
"Sayang, sudah yuk.." Risa menarik Kayhan kedekatnya. Javier langsung bangkit karena tau Risa sengaja melakukan itu. Jelas terlihat kalau dia tidak suka Javier dekat dengan anaknya.
"Ayo. Aku juga mau belanja," ucap Javier lalu menggendong Kayhan tanpa seizin Risa. Dia sengaja meninggalkan Risa dibelakang dan membawa Kayhan lebih dulu. Dia tau Risa akan mengikutinya dibelakang. Risa memelototkan matanya. Dasar si semena-mena ini sesuka hatinya saja melakukan apa. Ia terpaksa mengikuti langkah Javier. Belanja apa? Aku bahkan tidak melihat apapun yang dibelinya. Tangan Javier masih kosong barang belanjaan.
"Turunkan saja dia."
Javier menoleh kesebelahnya. "Kenapa? Dia baru sembuh kan? Kasihan kalau harus jalan terlalu lama."
Risa kalah telak. Tapi gimana Javier bisa tau kalau Kayhan baru sembuh. Javier tidak menjelaskan darimana dia tau. Wajahnya sudah kembali cuek dan sibuk berbicara dengan Kayhan. Risa menggerutu. Kenapa jadi dia yang memonopoli Kayhan? Seolah anaknya sendiri. Risa jadi sebal sendiri. Ya Allah, kenapa dia jadi cemburu saat melihat Javier tertawa bersama Kayhan? Risa melotot melihat Javier mengisi berbagai macam jenis barang kedalam troli-nya.
Apa-apaan ini?
"Apa yang bapak lakukan?" Tanyanya.
"Belanja. Apalagi?"
Risa benar-benar melongo mendengar jawaban Javier. Bisakah aku cekik pria ini sekarang?
...
Risa masih mengomel meski Javier tidak sedang bersamanya. Setelah bisa mengontrol diri dan sadar kalau yang dilakukannya itu adalah sesuatu yang ─ mubazir, akhirnya dia memilih untuk membaca puisi didalam hati atau membaca ayat-ayat pendek atau ayat kursi. Apapunlah yang bisa membuat hatinya tenang dan memusnahkan si setan Javier yang tampan itu. Surah yasin kalau perlu dibacanya sampai habis.
"Ya hallo Han. Aku lagi di supermarket bersama Kayhan," juga Javier, sambungnya dalam hati. "Ya itulah. Makanya punya anak." Risa mengambil selada dan bangkit. Lalu mendengar celoteh Hana.
"Memangnya punya anak gampang? Kawin dulu Ris," jawab suara disebrang.
"Punya anak memang harus 'kawin' dulu kan?" Risa terkekeh. "Iya iya. Nikah dulu baru kawin."
Setelah bercakap sebentar, Risa menysudahi pembicaraan. Tiba-tiba dia malah menghentikan langkahnya. Apa yang Javier lakukan? Beberapa orang perempuan yang memakai pakaian irit bahan sedang mencubit pipi Kayhan. Mereka juga ketawa-ketiwi. Risa bisa lihat dari tatapan perempuan itu yang seperti ingin melahap Javier. Menyesal dia meninggalkan Kayhan pada Javier. Javier dan tiga wanita itu menoleh saat Risa berdehem. Tatapan wanita itu menelisir diri Risa dari atas sampai bawah.
"Sudah?" Tanya Javier dengan santainya.
"Bunda," panggil Kayhan. Membuat tiga wanita itu kaget dan melotot.
Risa meletakkan apa yang tadi dicarinya kedalam troli. Tanpa mengatakan apa-apa Javier langsung saja melengos pergi dengan Kayhan masih dalam gendongannya. Membuat Risa hampir tersedak lsudah sendiri. Dengan keki diikutinya langkah Javier. Sedangkan tiga wanita tadi hanya melongo kaget. Javier bahkan tidak menjelaskan apa-apa. Karena dia memang lebih suka membiarkan orang berasumsi.
Javier terhenti saat Risa tiba-tiba berdiri didepannya. Dia menatap perempuan itu bingung. Risa susah payah mengendalikan diri agar tidak mencakar Javier saat ini juga. Sepertinya ide menggebuki Javier dengan keset ini adalah ide bagus. Kan dia sama keset ini sama. Sama-sama welcome.
"Turunkan Kayhan!" Ucapnya tegas. Berusaha agar tidak membentak karena tidak ingin Kayhan melihat sisi mak lampir ibunya.
"Ada apa Ris?" Tanya Javier tidak menuruti keinginan Risa. Ada apa? Ya tuhan. Risa serasa ingin membenturkan kepalanya ke dinding.
"Kamu tidak─?" Javier sengaja menggantung kalimatnya. Dia tau ada hal yang tidak boleh didengar Kayhan. Risa melotot. Apa Javier mengira dia cemburu. Oh please. Segeralah sadar Tuan Gomez. Aku sangat ingin melumatmu dan menjadikan kau sosis dan kau mengira aku cemburu? Batinnya.
"Kayhan mau makan. Dia sudah lapar karena kamu belanja terlalu lama." Risa akan segera menggantung diri setelah ini. Kenapa jadi dia yang mengendalikan keadaan? Risa memandangi Kayhan dan itu membuatnya speechless. Baiklah. Demi Kayhan.
Setelah membayar semua belanjaan yang menimbulkan sedikit drama dulu antara Javier dan Risa yang ribut dengan barang belanjaan akhirnya dimenangkan Javier. Dia membayar semua belanjaan dan tidak memisahkan apapun. Mereka bahkan dipandangi ibu-ibu disekitar kasir dengan senyum yang entah untuk apa? Mereka tidak mengira kalau Javier dan Risa pasangan suami-istri kan?
...
“Aku pasti sudah hilang akal!” Batin Risa.
"Aku kira kamu akan pura-pura tidak mengenalku."
Risa memutar bola matanya. Aku bahkan berniat mencincangmu. "Bapak tidak perlu melakukan ini," ucap Risa dingin dan tegas.
"Apa?" Javier melirik Risa sebentar.
"Baik pada Kayhan."
Risa masih belum mengarahkan pandangannya pada Vier. Tapi dia tidak main-main dengan ucapannya. Apa Vier tidak tau ada ketakutan didalam dirinya? Ketakutan yang susah payah dikuburnya sejak lima tahun lalu.
"Memangnya kenapa. Apa masalahnya?"
"Masalahnya adalah saya tidak ingin Kayhan bergantung pada Bapak dan mengha─" Risa terdiam. Seolah sudah salah bicara.
"Mengha apa?" Tanya Javier. Risa tidak menjawab. Mengharapkan yang lebih. Mengharapkan apa yang selama ini tidak pernah dimilikinya, batin Risa.
"Yang jelas saya tidak suka bapak memanjakan dia. Saya harap ini terakhir kali bapak bertemu dia."
Sebelah tangan Javier terangkat dan mengusap dagunya. "Apa yang membuat kau berfikir aku akan mengikuti keinginanmu?"
Risa menoleh. Matanya membulat. Dan Javier juga sedang menatapnya.
"Aku akan melakukan apa yang aku ingin lakukan. Kamu tidak akan bisa melarangku jika aku ingin bertemu dengan Kayhan!" Ucap Javier tak kalah tegas. Risa bersiap meledak kalau saja Kayhan tidak bangun. Selamat kamu kali ini Javier.