Chapter 6

997 Kata
Selamat membaca Saat ini Raymond tengah mengantri untuk membeli tiket film horor di bioskop, sedangkan Selena sedang membeli camilan untuk mereka berdua. Padahal sebenarnya Selena sudah berniat untuk langsung kembali ke rumah setelah jam pulang kerja. Namun, Raymond justru mengajaknya menonton film dengan alasan untuk meningkatkan chemistry di antara mereka berdua agar mirip seperti pasangan sungguhan. Pasalnya, kelak mereka berdua harus bersandiwara di depan orang-orang. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya mereka berdua masuk ke dalam bioskop dan mencari tempat duduk yang terlihat nyaman untuk ditempati. Raymond memang sengaja ingin melakukan kencan yang normal dengan Selena. Ia tidak ingin menyuruh orang lain untuk mempersiapkan segalanya, termasuk membeli tiket atau pun menyewa bioskop hanya untuk menonton film berdua. Bukan karena ia tidak ingin memfasilitasi atau pun melakukan hal romantis kepada Selena. Tapi jika harus sampai menyewa satu bioskop itu sepertinya terlalu berlebihan. Lagipula tidak hanya ia dan Selena saja yang ingin menonton film. Banyak orang yang sedang berkencan bersama pasangannya juga ingin menonton film di bioskop bersama. Jadi, menurutnya itu terlalu egois dan serakah jika ia menyewanya. Meskipun ia tidak masalah jika harus membuang uang untuk itu, tetapi rasanya tidak akan menyenangkan jika berkencan dengan menggunakan kekuasaan dan kekayaannya. Mereka berdua sama-sama fokus menonton film dan tidak saling berbicara satu sama lain supaya tidak mengganggu penonton lain yang juga sedang menikmati film. Setelah film selesai dan mereka keluar, barulah Selena mulai membuka suara. "Apa besok malam kau ada waktu?" tanya Selena ringan. "Kenapa?" "Nenek mengundangmu untuk makan malam di rumah." Raymond terdiam sejenak. "Aku akan datang," sahutnya bersedia. "Kau yakin tidak memiliki pekerjaan yang harus kau selesaikan?" Selena memastikan. "Seharusnya kau tidak perlu memikirkan tentang hal itu. Aku bukan tipe pria yang hanya mementingkan soal pekerjaan," tukas Raymond lugas. "Aku tau," sahut Selena ringan. "Kalau begitu, makanan apa yang kau suka? Besok akan aku buatkan." "Kau bisa memasak?" Raymond bertanya dengan raut wajah tidak yakin. "Mungkin rasanya tidak akan sama seperti masakan seorang chef di hotel bintang lima, tapi setidaknya aku bisa memasak makanan yang sederhana." "Apa kau bisa menjamin aku tidak akan kecewa dengan masakanmu?" "Aku tidak bisa menjamin itu. Tapi kau bisa berkomentar setelah kau mencobanya," pungkas Selena tanpa basa-basi. "Yeah, aku harap masakanmu tidak akan membunuhku nantinya," cibir Raymond tanpa dosa. "Aku mengundangmu untuk makan malam, bukan berniat meracunimu. Lagipula masakanku tidak seburuk itu sampai kau harus khawatir akan mati setelah memakannya," cetus Selena ketus. "Tapi kau terlihat tidak meyakinkan." Raymond memasang wajah yang terlihat menyebalkan di mata Selena. Selena tersenyum manis sembari menahan kesal. "Kau berdoa saja agar tidak ada racun di makanan yang kubuat." "Ternyata memang benar kau berniat ingin membunuhku." "Ya, bahkan aku ingin membunuhmu sekarang juga dengan tanganku sendiri," desis Selena dengan suara berat sembari melotot tajam ke arah Raymond tanpa sadar. Raymond menutup mulut menggunakan sisi tangan yang terkepal untuk menahan tawa melihat raut wajah Selena yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Imutnya. ***** "Ini semuanya Selena yang memasak," ujar Anny tersenyum ceria ketika Raymond datang dan ikut bergabung bersama di meja makan. "Benarkah, Nek?" "Ya, dia memasaknya sendiri. Nenek hanya membantunya memotong sayuran saja." "Cucu Nenek ini memang juara sekali dalam hal memasak. Untuk rasanya tidak perlu di ragukan lagi, kau harus mencoba masakan Selena jika tidak ingin menyesal," sambung Anny terlihat begitu gembira. Raymond tersenyum hangat ke arah Anny. "Ray akan mencobanya, Nek," tuturnya ramah, lalu mulai menyendok makanan yang sudah diambilkan Anny ke piringnya. Anny terlihat tidak sabar menunggu reaksi Raymond saat tengah mencicipi masakan Selena. Matanya berbinar-binar menanti pujian yang akan dilontarkan Raymond untuk cucu perempuannya. Sedangkan Selena terlihat biasa saja, tidak peduli dengan komentar apa yang akan Raymond katakan tentang masakannya. "Sepertinya Selena memang sudah cocok untuk menjadi istriku," puji Raymond tersenyum sembari melirik ke arah Selena yang tiba-tiba tersedak makanan. Raut wajah Anny semakin berseri-seri. "Benar, kan? Selena memang kandidat terbaik untuk menjadi pendampingmu," pungkasnya antusias. "Kita memiliki pemikiran yang sama, Nek," balas Raymond setuju, lalu tertawa renyah. Mereka berdua asik mengobrol hingga tidak memperdulikan keberadaan Selena di antara mereka. "Terima kasih untuk undangan makan malamnya, Ray sangat menikmati ini," tutur Raymond sopan setelah selesai menghabiskan makan malam dan berbincang-bincang ringan. "Sering-seringlah datang kemari," pungkas Anny ramah. "Akan Ray usahakan." "Kalau begitu, Ray pamit pulang dulu, Nek," pamit Raymond tersenyum hangat ke arah Anny. Anny mengangguk. "Hati-hati." Selena berdiri dari kursi untuk mengantar Raymond sampai depan. "Terima kasih sudah mau datang," ujar Selena tersenyum simpul. Raymond terdiam sejenak. "Sering-seringlah tersenyum seperti ini. Kau terlihat jauh lebih hidup jika dibandingkan hanya diam dengan wajah datar mu itu," cibirnya tanpa dosa. Raut wajah Selena seketika berubah datar. "Sekarang aku mengerti, ternyata kau hanya bersandiwara menjadi pria hangat di depan nenek." "Memang, aku harus membangun citra baik di depan nenek agar terlihat seperti pasangan yang sempurna untukmu." Raymond sama sekali tidak menyangkal ucapan Selena. "Kau benar-benar bermuka dua," cetus Selena. "Setelah kita menikah, kau juga akan sama sepertiku. Karena untuk kedepannya kau juga akan menjaga citra dan berpura-pura menjadi pasangan yang baik di depan publik," balas Raymond tersenyum tipis. "Ya, kau benar. Dan itu gara-gara kau yang menyeretku ke dalam permasalahanmu yang akhirnya membuatku harus melakukan sandiwara menjengkelkan itu." Selena membuang wajah ke samping sembari memasang wajah kesal. Cup Mata Selena melebar, wajahnya seketika terasa panas ketika Raymond tiba-tiba mencium sudut bibirnya. Nyaris saja bibir Raymond bersentuhan langsung dengan bibir Selena jika dia menoleh ke arah pria itu "K-kau?" Selena menjadi gugup dan tak bisa berkata-kata. Sedangkan Raymond terlihat biasa saja. "Aku pulang," pamit Raymond tenang seakan dia tidak merasa melakukan apa pun terhadap Selena. Setelah mobilnya meninggalkan halaman rumah Selena, barulah Raymond menyesali perbuatannya. Wajah Selena ketika marah benar-benar terlihat menggemaskan di matanya. Hingga membuatnya tidak bisa menahan diri karena sudah berada di titik batas kemampuan seorang pria. Telinga pria itu berubah memerah saat mengingat kembali tindakannya yang nyaris saja mencium bibir Selena jika dia tidak segera mengendalikan diri. Raymond mengusap wajah kasar. "Seharusnya aku tidak melakukan itu," gumamnya gusar. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN