Part 15 - Mantra

1031 Kata
    Senandung cinta berirama syahdu, menyusuri getaran nadi penuh elegi. Tak ada keindahan selain indahnya  dimabuk cinta, tak ada kegembiraan diluar batas selain menikmati jatuh cinta. Rina dan Bowo pagi ini telah terlihat mempersiapkan untuk acara pernikahan mereka. Keduanya telah melakukan foto prawedding. Rana mengenakan pakaian bak putri salju, sedang Bowo terlihat gagah dengan kostum pangeran yang menghiasi tubuhnya.     Di depan kamera keduanya berpose dengan arahan sang fotografer. Senyum merekah menghiasi. Wajah sumringah dengan suasana hati yang membumbung tinggi, menyuarakan tentang keindahan rasa yang dimiliki. Tatapan mata menerobos dinding kemesraan. Bias asmara menyatu dalam cinta yang tersampaikan.      Hampir dua jam pemotretan pun berlangsung sesuai keinginan. Keduanya selalu memamerkan senyum tanpa henti. Seolah tiada kebahagiaan selain kebahagiaan yang Rina dan Bowo miliki. Ungkapan cinta teriring dengan gegap langkah yang serasi. Merenda kisah dalam balutan asrama. Memeluk mesra jiwa yang diselimuti puing-puing surga, damai dan menyejukkan.     Sepulang dari pemotretan Bowo mengajak Rina ke restoran, mereka membicarakan rencana untuk mimpi yang telah lama dinanti. Sebuah pesta pernikahan yang diharapkan. Tinggal menunggu waktu keduanya akan melaksanakan sebuah pernikahan yang sakral.      Rana, menatap jalanan dengan seksama. Pandangannya terfokus di satu titik. Pikirannya tertuju pada seorang nenek yang telah memberikannya sebuah mantra untuk merubah nasibnya. Kayuhan sepeda terhenti. Rana melihat Joko. Laki-laki yang selalu menghujat dirinya, menghina habis-habisan keadaan wajahnya. Tak pernah ada sedikit senyum untuk Rana. Joko selalu menyayat hati Rana. Diapndangnya Joko tanpa lepas. Joko pun demikian. Matanya menatap Rana penuh kejengkelan.      “Hai Juling, sombong sekali kamu, baru jadi tukang cuci piring, apa bagusnya?” Rana masih memendam marahnya, dia masih menatap Joko penuh kesal dan dua tangannya mengepal erat menandakan dirinya tak terima dengan cemoohan itu.      “Kamu itu juling, mukamu berantakan, gak usahlah sombong, lagian mana ada orang yang mau berteman sama kamu” Joko terus saja mengeluarkan kata-kata untuk mengumpat Rana. Rana masih mengunci mulutnya. Ditatapnya penuh tatapan seperti monster, Rana semakin mengepalkan tangannya.      “Juling...juliiiiing...tompelmu di wajah itu menandakan wajahmu buruk sekali...ha..ha...ha” Rana menutup kedua matanya. Sebuah mantra yang di dapatnya dari seorang nenek dalam mimpinya itu diucapkan perlahan. Mulutnya komat-kamit. Setelah selesai matanya pun terbuka lalu mulut Rana terbuka dan meniup ke arah di mana Joko berdiri. Selang satu menit sebuah keajaiban terjadi. Joko yang awalnya mencaci dengan sejuta hujatan tiba-tiba tersenyum lebar. Lalu mendekat ke arah Rana dengan wajah menunduk.      “Maafkan saya, saya akan menuruti apa saja yang kamu minta” Rana tertawa keras. Dia merasa berhasil dengan mantra yang telah diucapnya. Rana menatap kembali Joko dengan ketidakmampuannya di hadapan Rana. Tertunduk seperti b***k pada majikannya.       “Pergilah kamu, bantu si Mbahku berjualan onde-onde di pasar, dan ingat apa pun yang terjadi kue onde-onde itu harus habis seketika” Joko mengangguk tanpa membantah intruksi yang diberikan Rana padanya.  Segera mengambil motor yang di parkir tak jauh dari tempatnya. Joko pun menyalakan mesin motornya lalu menginjak porsneling dan menarik gas secepat kilat. Rana tersenyum lebar melihatnya.      Di pasar si Mbah seorang diri dengan kue onde-onde yang masih banyak belum terjual. Letih terlihat menghampirinya. Sesekali si Mbah mengusap peluh yang menghiasi dahinya. Hari semakin siang, tapi kue onde-onde itu hanya terjual sedikit dan bersisa banyak tumpukan yang siap untuk dipinang pembeli. Si Mbah hampir putus asa, karena matahari semakin terik tanda hari sudah sangat siang, ditambah lagi pasar yang sudah lumayan sepi. Banyak pedagang atau pembeli yang telah selesai dengan urusan-urusannya.       Kue onde-onde si Mbah rasanya tak diragukan lagi, hanya saja hari tak seperti biasanya. Onde-onde yang masih dalam keadaan hangat itu, bulat dengan wijen yang menghiasi. Tetap berada di wadahnya dan belum berpindah. Mata si Mbah melihat disekeliling. Banyak pedagang yang bersiap-siap untuk pulang. Tapi dalam benak si Mbah, doalah yang akan membantunya. Mulutnya pun berdzikir pada Tuhannya. Berharap dagangan yang dia jajakan dapat segera dipinang orang.      Joko datang tanpa diduga. Mengarah ke lapak si Mbah, dan dia pun berteriak memasarkan kue onde-onde yang dijual si Mbah.       “Onde-onde enak dan lezaaat....ayoooo dibeli onde-ondenya,” seru Joko Si Mbah melihat apa yang dilakukan Joko merasa ada sesuatu yang aneh, hanya saja si Mbah tak menegurnya. Joko yang awalnya selalu acuh tanpa memikirkan dagangan si Mbah, kini seolah dia seperti berwujud malaikat yang datang di siang bolong.      “Onde-ondeeeeee....enak dan lezaaat, dijamin pas di kantong, dibeli-dibeli.....” Suara Joko menggelegar, hingga lalu lalang orang yang lewat di pinggir jalan depan pasar mendengarnya, tak sedikit dari mereka pun berhenti, menghampiri lapak si Mbah dan membeli kue onde-onde yang ditawarka. Si Mbah tersenyum syukur, kue onde-ondenya ada yang membeli.      “Onde...ondeeee...enak dan lezaaaat, bikin perut kenyang...dibeli...dibeliiii.....” Joko terus saja berteriak tanpa diminta, si Mbah yang heran pun hanya bisa diam. Melihat Joko dengan usahanya menjualkan kue onde-onde si Mbah. Hingga matahari tepat di atas kepala, kue si Mbah hanya tinggal 3 macam saja. Semua berkat kebaikan Joko.     “Joko...sudah, jangan teriak-teriak lagi, onde-ondenya tinggal 3. Ini buat kamu saja” Joko mendekat ke arah si Mbah, menatap si Mbah dengan senyum simpul yang menghiasi. Tiba-tiba pikirannya teringat akan perintah Rana bahwa kue onde-onde si Mbah harus habis tanpa tersisa sedikit pun. Joko tak peduli dengan kata-kata si Mbah, dia terus saja berteriak menawarkan kue onde-onde si Mbah. Tak pantang menyerah, kini suaranya lebih dikeraskan agar orang yang lewat mendengarnya.      “Joko, sudah...jangan diteruskan, jangan teriak-teriak begitu,” ucap si Mbah Lagi-lagi Joko tak menghiraukan perkataan si Mbah. Dia terus saja berteriak sekencang-kencangnya, tanpa peduli suaranya serak sekali pun. Perintah Rana mendarah daging dalam pikiran Joko. Dia harus berusaha agar kue onde-onde si Mbah habis terjual. Lalu tak lama kemudian ada seorang anak kecil yang digendong ibunya minta dibelikan onde-onde yang dijual si Mbah. Hingga pada akhirnya kue onde-onde si Mbah pun habis terjual.      Si Mbah membereskan segala peralatan yang digunakan untuk berdagang. Hatiny merasa lega dan senang karena kue onde-ondenya sudah tak berwujud lagi.      “Terima kasih, Joko” Joko hanya tersenyum lalu berlalu dari hadapan si Mbah, mengendarai motornya dengan sangat cepat dan hilang dari pandangan. Si Mbah bergegas untuk segera kembali ke rumah. Raut wajahnya sumringah. Kini keuntungan telah diraih karena tak ada kue onde-onde yang tak laku terjual.        Di tengah perjalanan si Mbah pun tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Joko, sungguh si Mbah dalam pertanyaan yang masih belum bisa dijawabnya. Melihat Joko dengan kebaikannya. Padahal setiap harinya Joko tak pernah sedikit pun membantu si Mbah. Meski kadang si Mbah minta tolong pun, Joko tak akan memberikan pertolongan. Si Mbah masih saja diselimuti rasa penasaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN