Pagi bersambut dengan hadirnya sinar mentari yang menjadi tumpuan setiap insan. Suara kokok ayam bersahutan. Para petani telah siap dengan cangkulnya. Pasar ramai dengan segala aktivitas perdagangan, tak terkecuali si Mbah telah bersiap untuk kembali berjualan agar dapur masih tetap mengepul. Sebelum berangkat dilihatnya Rana yang masih terbungkus selimut. Dihampiri dengan langkah yang tak terdengar suaranya. Memandang cucunya yang masih pulas dalam tidurnya. Si Mbah hanya menatap dengan penuh kasih. Hatinya masih dipenuhi rasa iba dengan apa yang tadi malam dilihatnya.
Si Mbah meninggalkan rumah dengan perasaan yang selalu terpacu pada Rana. Dia memikirkan nasib cinta yang telah dirasakan oleh cucunya. Berjalan pelan dengan semangat yang tak seperti biasanya. Pikiran si Mbah tak bisa terlepas akan Rana.
“Duh Gusti, nyuwun pangapuro”
Si Mbah terus memuji sang Tuhan, bibirnya penuh dengan untaian dzikir. Sampai pada akhirnya dia telah sampai di pasar dan segera menggelar dagangannya. Si Mbah mencoba ceria melayani para pelanggan kue onde-onde.
Mata Rana terbuka, saat sinar mentari menerobos jendela kamarnya. Menatap dengan pandangan yang masih kosong. Dipaksakan tubuhnya untuk bangun dari ranjang yang membawanya ke alam mimpi. Duduk dengan mata yang masih sedikit menahan kantuk. Masih terdiam dan menatap ke arah tembok bambu yang kosong tanpa hiasan apa pun.
Waktu berjalan begitu cepat, Rana bergegas untuk segera berangkat kerja. Terburu-buru mempersiapkan diri, mandi seperti bebek, menggunakan baju seragam secepat kilat dan wajahnya pun tanpa hiasan make up sedikit pun. Dia menyadari jika bangun kesiangan dan segera untuk mengayuh sepeda secepat mungkin. Rana melenggang pergi.
Suasana restoran sudah ramai oleh karyawan yang siap bersinergi dalam tugas hari ini. Semua telah memagang peran masing-masing. Rana terlihat begitu cemas karena keterlambatannya. Memasuki area restoran terlihat Bu Devi sudah berdiri di depan pintu masuk. Melihat Rana yang lari terbirit-b***t seperti tengah dikejar maling. Langkahnya terhenti saat di depannya terlihat sosok yang amat ditakutinya. Bu Devi berdiri dengan tangan tolak pinggang setinggi d**a. Keringat Rana bercucuran membasahi tubuhnya. Napasnya pun tersengal. Dia berdiri dalam ketakutan.
“Sudah jam berapa ini? Kamu baru menampakkan batang hidungmu”
Rana menunduk, dia menyadari kesalahannya. Dia pun tahu pasti akhirnya bu Devi akan memberikan teguran kepadanya dengan nada tinggi.
“Maaf, bu, saya terlambat”
“Apa maaf bisa mengembalikan waktu yang kamu korupsi, Rana”
“Tidak, Bu Devi”
“Masuk, dan ingat ada potongan gaji untuk karyawan yang terlambat lebih dari 15 menit”
Rana mengangguk dan berlalu dari hadapan bu Devi. Dia segera menuju tempatnya untuk mengerjakan tugas yang siap dijamah oleh tangannya. Tak lama para pengunjung restoran pun telah padat memesan menu sarapan. Para karyawan pun telah siap melayani dengan tugas dan tanggung jawab.
Rana menghidupkan kran. Dilihatnya ada sebuah nampan yang perlu untuk dibersihkan. Mengambil sabun cuci, menggosok dengan busa lalu membilas nampan itu sampai tak ada noda lagi. Lalu Dicarinya sapu untuk membersihkan lantai yang masih tersisa sedikit kotoran yang berserakan di meja pojok, tempat menaruh barang-barang yang besih.
“Rana, tolong buatkan minum untuk calon istri Pak Bowo, karena di depan lagi rame gak ada yang bisa buatin, tolong ya,” suara Roni terdengar begitu jelas di telinga Rana. Segera diselesaikan tugasnya membersihkan lantai. Lalu mencoba menuruti apa yang telah dikatakan Roni padanya. Rana berjalan menuju ke arah dapur, lalu mengambil gelas dan es batu, membuatkan sirup rasa melon untuk Rina yang tak lain adalah calon istri dari pak Bowo.
Setelah minuman selesai dibuat, Rana pun segera menaruhnya di atas nampan, membawanya menuju ruang kerja pak Bowo. Rana melangkahkan kakinya dengan amat pelan. Seperti ada sesuatu yang tak bisa dijelaskannya. Hati kecilnya seperti berbisik lirih, akan tetapi dia tak paham untuk mengartikannya.
Pintu ruangan pak Bowo diketuknya. Lalu dia pun membukanya, dengan wajah yang ditundukkan dan mencoba memberanikan diri berjalan ke arah Rina yang telah duduk di atas kursi dekat meja kerja Pak Bowo.
“Permisi, ini minumannya, bu,” kata Rana mengawali
“Taruh saja disitu,” sambil menunjuk tempat untuk menaruh minuman
Rana pun menuruti apa yang Rina katakan, dalam hati Rana terucap sebuah keinginan yang ingin diwujudkan. Rana ingin melihat calon istri pak Bowo dari arah dekat, karena selama ini dia hanya tahu wajah Rina terbatas jarak. Meski kadang berjarak dekat tapi Rana tak pernah berani menatapnya. Dan kini keadaan seperti mendukung, jarak antara Rina dan Rana tak lebih dari satu meter. Rana pun mengumpulkan nyalinya. Perlahan dia mendongakkan kepalanya dan tatapan mata itu tepat tertuju pada mata Rina. Keduanya kini telah beradu tatap.
Mata Rana menancap tepat ke arah mata Rina. Keduanya saling memandang dan tak ada aktivitas lain yang dilakukan selain fokus pada sebuah tatapan. Hampir tiga menit berlalu mereka saling melihat wajah satu sama lain. Pandangan itu berakhir saat Rina berteriak seketika.
“Stop, jangan lihat aku, wajahmu seperti....”
Rina tak melanjutkan kata-katanya, Rana segera meninggalkan Rina seorang diri. Keduanya saling berpikir. Rupa yang baru saja dilihat itu seperti ada kemiripa yang tak disangka.
“Kenapa wajahku hampir mrip dengannya?” Rina menatap kaca di ruangan. Memandang lamat-lamat wajahnya.
“Bagaimana mungkin, tapi dia juling, Tuhan pasti menciptakan manusia yang mirip dengan yang lain”
Rina mencoba mengalihkan pikirannya tentang wajah karyawan yang sekilas ada sedikit kemiripan dengan wajahnya. Dibukanya komputer yang ada di depannya. Dia mencoba menepis akan hal itu dengan bermain games agar tak ingat lagi apa yang telah dilihatnya.
Di tempat cuci piring, Rana pun terdiam dalam pertanyaan. Wajah yang tadi dilihatnya dengan sangat jelas itu membuat dirinya berpikir secara dalam. Melihat wajah Rina dia seperti telah melihat wajahnya sendiri. Jarak teramat dekat itu masih berkunang-kunang dalam benaknya. Rana menyerah dia sudah tak mau mengingat pertemuan tadi dengan Rina. Ditepisnya dengan mencuci piring-piring kotor yang siap untuk dibersihkan.
Di tempat lain para karyawan pun telah sibuk membicarakan tentang kemiripan wajah Rana dan Rina. Hanya saja apa yang mereka pikirkan itu dijadikan candaan belaka. Tak ada yang serius, wajah Rina yang sangat cantik seperti bidadari, sedangkan Rana, juling dan sedikit tompelnya itu sangat mengganggu pemandangan.
“Memang sih kalau dilihat seksama hampir mirip,” cetus Roni
“Ya gaklah, Bu Rina cantiknya kayak artis, kalau si juling...ha..ha...” lanjut Syifa
“Bodo amat aku, yang penting kerja, gajian. Mau mirip atau gak sih itu urusan pak Bowo, jangan sampai nanti menikah calonnya keliru, betul gak..”
Suasana candaan itu terdengar di telinga Rana, dia hanya bisa diam. Meratapi keadaan yang tak pernah bisa berpihak kepadanya. Rasa cinta yang dimilikinya pupus, tiada harapan yang bisa menjawabnya.