Brugh!
"Hah ..." Damian menghela napasnya panjang begitu dia membanting tubuhnya di atas sofa. Pria itu melepas kancing teratas kemejanya, berikut disusul dengan dirinya yang mengacak-acak rambut hitam tebal itu.
Setelah melalui perdebatan singkat itu, melelahkan juga rasanya. Bukan fisiknya, namun hati. Damian masih harus berperang dengan perasaannya sendiri. Meski jujur dia masih sangat mencintai Alexis, tapi mau bagaimana pun perbuatan gadis itu juga tidak bisa dibenarkan. Yang namanya kebohongan akan tetap salah apa pun alasannya.
"Tuan, apa ingin dibuatkan teh hangat?" tanya Alice yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapannya.
Damian membuka mata, melirik sekilas.
"Boleh, sepertinya aku membutuhkan sesuatu yang segar malam ini."
Setelah mendapatkan jawaban begitu, Alice mengangguk patuh. Gadis itu hendak pergi namun suara Damian kembali menahan langkahnya.
"Oh ya, Alice. Apa ada seseorang yang berkunjung hari ini? Kenapa ada sepatu seseorang di depan sana?" tanya Damian lagi. Dia hanya merasa heran ketika melihat ada sepatu lain di depan pintu rumah. Tidak biasanya ada seseorang yang datang ke sini malam-malam sekali.
Alice mengangguk. "Ah iya, Tuan. Tuan Andrew baru saja datang, beliau sudah menunggu anda di kamar," ungkapnya.
Damian mengembuskan napas panjang. Andrew lagi. Untuk apa sebenarnya anak itu terus-menerus datang ke rumahnya. Padahal, tidak biasanya dia begitu. Andrew itu sama seperti dirinya yang pemalas, jika tiba-tiba saja dia bersemangat seperti ini, pasti ada hal lain yang mendasarinya.
Damian mendecak pelan.
"Ya sudah, aku ke atas dulu. Nanti minumannya bawa ke atas sekalian. Buatkan juga untuk Andrew." Damian berujar lalu mulai melangkah pergi.
Sedangkan Alice yang masih berdiri di sana hanya tersenyum tipis. Dia merasa lega begitu melihat tuannya baik-baik saja. Padahal, sejak awal Alice sudah khawatir seandainya saja kemungkinan buruk Damian akan pulang dalam kondisi babak belur. Mengingat nada bicara pria yang ada di seberang telepon terdengar begitu marah dan emosional.
Namun sekarang perasaan resahnya itu terbayar sudah. Damian tidak apa-apa, itu berarti semua masalahnya dengan Alexis juga sudah selesai. Atau bahkan, mereka sudah kembali sebagai sepasang kekasih lagi. Itu mungkin saja, bukan?
Karena tidak ingin terus memikirkan hal yang di luar ranahnya, Alice menggeleng ringan. Gadis muda itu memutuskan bergegas ke dapur dan menyiapkan minuman untuk Damian dan Andrew.
Sementara itu, di lain tempat Damian terlihat memasuki kamarnya begitu saja. Dan benar, Andrew memang sudah ada di sana. Dengan santainya pria itu berbaring di atas sofa dan menonton siaran televisi yang sedang menyala. Dia mendecak pelan.
"Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku tanpa izin?" Suara Damian menarik atensi pria itu. Andrew menoleh, tersenyum tipis.
"Ini, laporan soal kecurangan Tuan Levinson. Aku baru saja mendapatkannya dari beberapa perusahaan yang sudah menjadi korban. Ternyata dia tidak hanya memalsukan poin-poin dalam kontrak, tetapi juga nominal laba yang masuk ke rekeningnya." Dia menyerahkan map biru berisi data-data dari perusahaan lain yang telah didapatkannya seharian ini.
Lantas Damian yang semula marah meraih map biru itu. Dia membacanya satu per satu. Hingga, tak lama terdengar suara embusan napas berat dari dirinya.
"Orang seperti ini memang harus diberi pelajaran. Dia tidak bisa seenaknya saja dengan sebuah kontrak!" desis Damian menutup map biru itu dengan kasar.
"Apa kau tetap ingin melanjutkan kerja samanya? Kurasa itu sangat berisiko. Lebih baik kita akhiri saja sebelum terlambat. Kita juga masih bisa mengembalikan modal yang mereka berikan," cakap Andrew.
Damian melenggang memutari sofa itu, lalu menghempaskan tubuhnya tepat berada di samping Andrew. Dia melempar map biru itu dengan kasar.
"Tidak. Aku tidak akan mengakhiri kerja sama itu. Aku sudah punya rencana yang lain untuk membekukan rekening Tuan Levinson," ucapnya.
Andrew terkekeh. "Percaya diri sekali. Apa kau yakin semua rencanamu itu akan berhasil? Oh ayo lah, Damian. Tuan Levinson mempunyai banyak bekingan yang kuat. Dia memang bukan siapa siapa, tapi orang di belakang perusahaan itu bahkan bisa membeli perusahaanmu."
Damian mendecih, melirik Andrew dengan tatapan tajam. "Kau ini bisa diam tidak? Sebenarnya kau ini karyawan ku atau karyawan Tuan Levinson, huh? Tidak bisa kah sekali saja mendukung rencanaku. Dasar sekretaris s i a l a n!"
Sekali lagi Andrew tertawa. Pria itu sama sekali tidak menanggapi serius ucapan Damian. Bertahun-tahun bekerja bersama dengan pria ini sudah membuatnya kebal dengan kalimat-kalimat bad word itu. Bahkan, semua itu Andrew anggap semata-mata hanya sebuah candaan biasa.
"Aku mendukungmu, Damian. Tapi lihat lah bagaimana belasan perusahaan yang tumbang akibat kelicikan Tuan Levinson. Bahkan, mereka semua selalu gagal dalam laporan kasus itu. Tuan Levinson terlalu memiliki banyak power untuk melindungi kejahatannya."
"Karena itu lah aku ingin membuat dia tunduk kepadaku." Damian menoleh, memandang Andrew dengan senyum liciknya. "Jika perusahaan lain tidak bisa melakukannya, maka kita harus menjadi yang pertama menaklukkannya. Kita bisa membuat Tuan Levinson bersujud meminta ampun. Ya, aku yakin aku bisa melakukan itu!" sambung pria itu penuh percaya diri.
Sementara Andrew hanya menanggapi dengan mengangkat bahunya tak acuh. Meskipun mendukung, tapi dia tidak begitu yakin rencana bosnya ini akan berjalan lancar. Jam terbang mereka bahkan masih jauh di bawah Tuan Levinson. Bagaimana bisa mengalahkannya?
Tok tok tok!
"Permisi, Tuan. Minumannya." Suara Alice terdengar dari balik pintu.
Baik Damian maupun Andrew sama-sama menoleh ke titik tersebut, lalu tersenyum kecil.
"Bawa masuk, Alice!" seru Damian.
Dan tak lama, Alice membuka pintu kayu itu dan masuk dengan satu nampan berisi dua cangkir teh. Gadis itu melangkah mendekat dan mulai menyajikan teh teh tersebut.
"Oh ya, kau sendiri tumben sekali sangat rajin mengunjungiku. Padahal masalah ini bisa kita bicarakan di kantor," ucap Damian seraya menyalakan patung rokoknya, dia melirik Andrew sekilas.
"Sejak dulu aku memang rajin. Hanya saja kau tidak pernah mau membuka matamu, Damian."
"Ck! Jangan mulai. Aku tahu kau seperti apa. Kau pasti punya alasan lain saat bersikap rajin begini. Ah, atau uang bulananmu masih tidak cukup?" tanyanya lagi.
Andrew menggeleng kuat. "Ah tidak tidak, itu bahkan lebih dari cukup. Aku rajin karena ingin sering-sering melihat bidadari yang ada di rumahmu ini, Damian ..." Dia berkata dalam setengah sadar, tatapan matanya terus tertuju pada Alice yang sedang duduk di lantai dan menyajikan teh hangat itu. Andrew tersenyum simpul.
"Eh?" Damian mengernyit. Dia yang sadar dengan tatapan mata Andrew lantas memukul kepala pria itu pelan, dia mendecak. "Ck! Jaga pandanganmu, Andrew. Atau jika tidak aku yang akan mencopot bola matamu itu dengan tanganku sendiri!" ancamnya merasa geram.
Andrew terkekeh. "Kenapa kau galak sekali, padahal Alice pun tidak masalah. Bukan kah begitu, Alice?" Pria itu menaik turunkan kedua alisnya seraya menunggu Alice menjawab pertanyaannya.
"Eh, a-aku ..." Sementara gadis itu terlihat sedikit canggung, dia menggaruk bagian belakang telinganya sendiri dengan pelan.
"Bukan kah tidak apa-apa jika kita sering bertemu. Itu bisa membuat kita sedikit lebih akrab, bukan?" ulang Andrew.
Sejenak Alice melirik ke arah Damian yang menampakkan wajah tidak suka itu. Dia menyengir tipis. "I—iya, sama sekali tidak masalah, Tuan..." jawab gadis itu lirih. Sontak senyum Andrew mengembang sempurna.
"Nah ... kau bisa dengar sendiri kan? Alice saja tidak masalah. Dia tidak keberatan jika aku berusaha mendekatinya!"
"Aku yang keberatan, Andrew!" seru Damian dengan nada kesal.
"Apa usahaku menganggu saluran pernapasanmu, Pak?"
"Ck! Tidak, tapi kau membuat kinerja Alice terganggu. Aku membayar Alice untuk bekerja di sini, bukan berpacaran. Sudah sebaiknya kamu kembali ke kamarmu, Alice. Jangan hiraukan bocah g i l a satu ini!" cetus Damian merasa tidak tahan.
Dia bukan kesal karena ocehan Andrew, melainkan takut jika Andrew benar-benar akan mendekati Alice. Dia khawatir insiden di masa lalu terulang kembali. Kisah antara dia, Andrew, dan Grisa. Dia khawatir akan ada yang berakhir tragis di antara mereka, apa lagi jika itu Alice. Tidak, Damian tidak ingin hal itu sampai terjadi lagi. Dia belum siap merasa bersalah untuk kedua kalinya.
Alice yang paham dengan maksud tuannya itu pun mengangguk paham. Dia bangkit dan lekas berpamitan pergi.
Tepat setelah suara pintu tertutup, Andrew menyenggol lengan Damian pelan. Dia tersenyum-senyum lebar.
"Apa kau takut aku mengambil Alice darimu, hum?"
Damian mendecak, mendorong tubuh Andrew dengan kasar. "Ba cot! Pergi lah, aku ingin istirahat malam ini!" serunya.
"Tidak, aku akan bermalam di sini sampai besok pagi. Malas sekali rasanya pulang. Jam segini jalanan juga pasti sangat padat." Andrew memperhatikan jam dinding klasik yang berada di sudut ruangan, dia menghela.
"Ck! Alasan saja!"
"Tidak perlu marah-marah, aku bisa memahaminya, Pak Damian Kenneth ..." ucap Andrew tersenyum simpul. Dalam hati dia masih heran, bagaimana bisa Damian mencintai orang lain dalam raga yang berbeda. Iya, Andrew yakin itu lah alasan mengapa bosnya ini memilih Alice sebagai pelayan di rumahnya. Dia pasti belum bisa lepas dari masa lalunya, dari bayangan Grisa yang masih sering datang kala malam tiba.
Dia menepuk bahu itu pelan, tersenyum. "Belajar lah mengikhlaskan," bisiknya kemudian melenggang pergi.