Ayah dan Ibu.

1042 Kata
Setiap pagi setelah Mas Doni berangkat ke kantor, Teh Asih masih datang untuk membantu aku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Yang berbeda hanya saat siang hari, setelah Teh Asih pulang ayah sudah tidak datang lagi untuk menemani aku karena sudah ada mamih. Sedangkan Clara mulai pagi ini dan kedepannya dia akan pulang dan berangkat ke sekolah dengan diantar oleh Mas Doni. Mamih, diusianya yang tidak lagi muda tergolong masih terlihat sangat sehat dan kuat. Dengan anak tertua yang berumur sekitar 50 tahunan, sekarang ini mamih memiliki umur sekitar 70 tahunan, tetapi dia terlihat jauh lebih muda dari umurnya. Dia juga merupakam wanita yang aktif berorganisasi, masih memiliki banyak relasi walaupun dimasa-masa pensiunnya. Mungkin itulah yang membedakan antara orang yang memiliki uang dan tidak. Berbeda sekali dengan ayah, kerasnya hidup bahkan membuat ia terlihat jauh lebih tua dari umur ayah sebenarnya ditambah lagi kondisinya pasca stroek dulu membuat ia terlihat sangat ringkih. Ada rasa penyesalan dan sedih yang teramat dalam bila aku teringat ayah. Kadang aku menyesali keputusanku menikah yang saat itu dibalut emosi. Jika saat itu aku bertahan dengan pendirianku dan bisa lebih keras melakukan penolakan pada ibu mungkin pernikahan itu tidak akan terjadi, sehingga lebih banyak waktu, perhatian bahkan uang yang dapat aku berikan padanya. Tetapi aku tidak mau menyesali semua yang telah terjadi sebab semua juga terjadi karena keputusan aku sendiri yang pada saat itu dipenuhi rasa kecewa kepada Andi. apalagi aku cukup berbahagia dengan rumah tanggaku ditambah kehamilan pertamaku yang sangat aku syukuri ini. Diusia senjanya saat ini ayah harus hidup tanpa seorang istri yang menemaninya untuk saling menjaga satu sama lain. Hal itu juga menjadi salah satu sesalku karena tidak bisa selalu ada untuk menemaninya. Beruntungnya saat ini Rani mau memikul tanggung jawab itu menggantikan aku. "Tar, lagi apa? Kok bengong di sini?" Mamih tiba-tiba saja datang dari dalam rumah menyadarkan aku kembali dari lamunan. "M — mamih?" Aku terkejut. "Nggak ngelamun kok, mih. Ini aku lagi lihatin taman aja, bunga-bunga yang aku tanam sudah mulai tumbuh kuncup baru." Aku berkelit. "Ya, sudah. Ayo, masuk!" Ajak mamih. "Mamih mau bikin cemilan, kamu temani ya! Kalau tidak kuat, tidak usah membantu cukup duduk saja temani mamih." Mamih kembali masuk ke dalam mendahuluiku. Sejauh ini mamih memperlakukanku cukup baik, aku bersyukur atas itu. Sepanjang pagi tadi aku terus saja merasa mual, sarapan yang aku makan tadi pagi saja sudah aku keluarkan lagi. Sebenarnya perut ini terasa kosong dan lapar tapi rasa mual membuat aku tidak memiliki nafsu makan sama sekali. Mamih masih sibuk dengan masakan di depannya, ditemani aku yang duduk disalah satu kursi di meja makan, tetapi lama kelamaan aku merasa pusing dan mual karena mencium aroma masakan. Mamih yang melihat aku gelisah menyuruh aku untuk istirahat di kamar. "Kenapa, Tar?" Mamih sedikit menaikan bola matanya menatap kearahku. "Pusing, mih? Sama agak mual." Aku memegang perut. "Tiduran saja sana dikamar! Mamih nggak apa-apa sendiri." Aku bangun dari kursi meja makan dan berjalan menuju kamar. Menjatuhkan tubuhku perlahan diatas ranjang. Aku sedang mencoba untuk memejamkan mata tetapi terasa sangat sulit. Menyadari kondisi kehamilanku yang begitu sulit, aku jadi teringat akan ibu. Apakah dulu saat dia mengandung aku, dia juga sama kepayahannya seperti aku sekarang? Lamunan ini membuatku merindukannya. Aku bersyukur mamih adalah mertua yang baik tetapi saat seperti ini rasanya pasti sangat nyaman jika ibu ada untuk menemani aku, mungkin akan sangat menyenangkan bila bisa sedikit bermanja pada wanita yang telah melahirkanku itu. Mau berkeluh kesah dan bermanja pada mamih rasanya tidak mungkin aku bisa melakukannya, pasti akan terasa canggung. Setelah menikah kembali, aku dan ibu sudah jarang sekali bertemu. Kami hanya mengetahui kabar satu sama lain melalui sambungan telepon atau pesan w******p. Bahkan dari semenjak aku masuk rumah sakit sampai saat ini sudah kembali pulang kerumah, ibu belum juga datang untuk menengok keadaanku. Kabar yang aku tahu, sekarang ibu sudah tidak tinggal dengan nenek, ibu menyewa sebuah rumah yang letaknya masih berdekatan dengan rumah nenek. Ibu dan suami barunya itu juga tidak tinggal bersama setiap hari, hanya ada 1 atau 2 hari dalam satu minggu waktu dia untuk mengunjungi ibu. Saat suaminya itu tidak ada di rumah, ibu akan pulang ke rumah nenek. Tetapi semenjak menikah ibu dan Om Hendra cukup sering ke luar kota, itu juga yang buatnya terkesan sibuk dengan suami barunya sehingga tidak sempat untuk berkabar atau bertemu dengan aku. Kenapa rasanya setelah menikah aku menjadi seperti tidak punya orangtua. Aku lelap dalam pikiran. Entah mengapa seharian ini bawaannya aku jadi selalu teringat dengan ayah dan ibu? Secara perlahan aku tertidur meninggalkan mamih yang masih sibuk di dapur. *** Clara pulang sekolah seharusnya pukul 2 siang. karena Papa-nya baru jemput pukul 5 sore, jadi sepanjang pukul 2 sampai pukul 5, Clara menunggu di rumah tante-nya, salah satu kakak perempuan mas Doni. Kakak perempuan Mas Doni ini biasa mas Doni panggil dengan sebutan Kak Rita, sebenarnya dia salah satu saudara yang paling dekat dengan Mas Doni tetapi malah tidak begitu dekat dengan aku. Mungkin karena keluarga itu cukup besar, agak sulit bagiku untuk dengan cepat dekat dengan semua anggota keluarga. Selain itu kak Rita juga cukup cuek akan kehadiranku. Aku malah cukup dekat dengan beberapa ipar sesama menantu di keluarga itu atau kakak kandung Mas Doni yang memiliki selisih umur jauh diatas aku. Aku terbangun sekitar pukul empat sore, saat aku keluar kamar mamih sudah tidak sedang didapur melainkan sedang asik menonton TV dengan camilan yang tadi ia buat. Terlihat ada secarkir teh hangat juga beberapa kukis dan cake di atas meja. Rupanya tadi mamih membuat kukis dan cake, tetapi aku bukannya membantu malah tertidur karena badan yang belum bisa diajak kompromi. "Sini Tar! Coba cake buatan mamih!" Mamih melambaikan tangan padaku yang baru saja keluar kamar. Aku berjalan perlahan dan duduk tepat disampingnya. "Tapi enaknya aku buat teh hangat dulu deh mih." Aku berdiri dan berjalan menuju dapur. Tak butuh waktu lama aku kembali ke depan meja TV dengan membawa secangkir teh hangat ditanganku. "Enak mi, aku juga nggak eneg makannya jadi nggak bikin aku mual." Aku kembali mengigit cake yang masih ada dipeganganku. "Syukur kalau gitu, kamu juga kan belum makan siang. Dari sarapan yang dimuntahkan tadi belum diisi lagi perutnya." Seloroh mamih yang bagiku merupakan sebuah perhatian. Sore itu Mas Doni dan Clara sampai di rumah sekitar pukul 6 sore, sedikit lagi menuju adzan maghrib.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN