Keberadaan Mamih

1022 Kata
Mas Doni masuk ke dalam rumah dengan membawa satu koper kecil yang masih kepunyaan mamih. Lumayan banyak juga barang-barang yang mamih dan Clara bawa malam ini, sepertinya mereka akan tinggal cukup lama bersama kami. "Dek, kamu masih kuat nggak? Boleh nggak mas minta buatkan kopi.?" Mas Doni berhenti dihadapanku sebelum akhirnya menuju kamar mamih untuk menyimpan koper. Aku yang menyanggupi permintaan Mas Doni tanpa berlama-lama berjalan menuju dapur untuk membuatkan Mas Doni kopi. Aku telah bedrest selama dua minggu semenjak pulang dari rumah sakit, walaupun keadaan badan belum kembali normal seperti sediakala tapi hari ini aku sudah bertekad untuk berusaha menjadi lebih kuat, ditambah ucapan mas Doni tadi pagi membuat tekadku bertambah bulat. Aku menyimpan kopi pesanan mas Doni di atas meja depan TV, mas Doni keluar dari kamar mamih cukup lama dari saat ia masuk kedalamnya. "Mamih sama Clara lagi apa mas?" Aku bertanya pada mas Doni yang sedang berjalan menuju sofa dimana aku duduk. "Lagi beresin barang-barang, nanti juga keluar." Mas Doni duduk di sampingku. "Kamu kok bangun? Dokter-kan suruh bedrest?" "Dari tadi pagi juga aku sudah bangunkan mas. Lagi pula aku sudah tiduran terus di atas ranjang selama dua pekan. Hari ini aku merasa lebih baik." "Dek, sepertinya mamih dan Clara akan tinggal bareng kita cukup lama ya. Kalau kondisi kamu seperti ini terus mungkin mamih dan Clara akan disini sampai kamu melahirkan." Tutur Mas Doni yang meraih cangkir kopi diatas meja. "Iya, mas aku senang jika mamih dan Clara mau tinggal disini." Jawabku. "Selama mamih dan Clara disini, cobalah untuk lebih mendekatkan diri dengan Clara." "Ya, aku selalu mencobanya mas." "Juga satu lagi, sementara biar nanti mamih yang menghandle semua kebutuhan rumah ini sampai kondisi kamu jauh lebih baik. "Iya, mas, aku nggak masalah kok." Kenapa yah? Belakangan ini mas Doni itu mudah sekali berubah-ubah. Terkadang dia bersikap sangat lembut padaku, bahkan dari sorot matanya dapat aku yakini bahwa dia tulus mencintai aku. Tetapi tak jarang juga dia bersikap ketus. Perkataannya sedikit menyakitkan tanpa memikirkan perasaanku, bahkan terkesan memerintah sesuatu tanpa berdiskusi dulu padaku. Seperti hal-nya mamih yang tinggal bersama kami saat ini, mas Doni tidak meminta pendapatku terlebih dahulu. Mas Doni hanya memberitahu bahwa dia akan mengajak mamih untuk tinggal dengan kami sementara waktu, tanpa meminta pendapatku lebih dulu. Dan sekarang pun dia tidak mengajak aku diskusi, dia terkesan meminta aku untuk menerima keputusannya tentang mamih yang meng-handle rumah ini. "Don, Clara bilang dia lapar. Kira-kira apa ada yang bisa dimakan?" Mamih keluar dari kamar bertanya saat tepat ada disamping sofa yang kami duduki. "Ya sudah, aku keluar dulu sebentar ya cari makanan. Aku juga belum makan malam." Mas Doni bangun dari duduk dan digantikan oleh mamih duduk di sampingku. Mas Doni meraih kunci mobil yang tergantung, kembali memastikan adakah yang ingin kami titip selagi dia keluar rumah. Setelah Mas Doni keluar, tinggal aku dan mamih yang fokus dengan tayangan TV didepan kami. Tidak terlalu banyak obrolan yang terjadi antara aku dan mamih, hanya sesekali mamih menanyakan bagaimana keadaanku. "Mamih sudah melahirkan sebanyak 12 kali, dari 12 anak yang ada hanya 10, 2 lagi meninggal saat masih bayi." Mamih membuka obrolan diantara kita. Aku mendengarkan dengan seksama, membiarkan mamih bercerita tentang pengalamannya. "Setiap perempuan, bahkan setiap kehamilan itu beda-beda bawaannya––tidak semuanya sama. Ada yang tidak mengalami mabok hamil sama sekali tapi ada juga yang mengalami mabok hamil yang sangat parah, seperti kamu sekarang ini. Tapi mau bagaimana pun coba dan berusaha untuk tetap makan dan masuk nutrisi dalam perut. Jangan diikuti perasaan tidak nafsu makan atau lemasnya itu. Harus kuat, semangat." Tutur mamih kepada aku malam itu. Aku menangguk-anggukan kepala, tak tau harus menjawab apa apa. Semua perkataan mamih itu memang benar adanya, apalagi dia yang kaya akan pengalaman itu tidak mungkin asal bicara. Hanya aku semakin merasa kecil saja, aku benar-benar merasa tak bisa melakukan segala hal dengan benar. Selain belum bisa memasak sesuai dengan selera Mas Doni, bahkan saat hamil pun aku sangat merepotkan. Apakah mungkin nanti nilaiku semakin lama semakin berkurang dimata mas Doni. Aku malah semakin banyak memiliki kekhawatiran. Padahal sebenarnya belum tentu Mas Doni berpikiran seperti itu. Entahlah apa perasaanku sensitifku ini hadir karena hormon kehamilan? Mas Doni pulang dengan membawa beberapa makanan dan barang titipan lainnya. Clara hanya keluar untuk mengambil makanannya lalu kembali kedalam kamar, menikmati makanannya sendiri disana. Mas Doni selalu memintaku untuk mendekatkan diri pada Clara, tapi sayangnya Mas Doni sendiri tidak pernah berusaha menbantuku atau mungkin memberitahu Clara sesuatu hal yang dapat membukakan hatinya untukku, semua jadi terkesan sia-sia saja karena hanya aku yang berusaha sendiri. Aku, mas Doni dan Mamih masih berada di depan TV setelah menyelesaikan makan kami. Tanpa pamit mas Doni masuk kedalam kamar tetapi ternyata kembali lagi dengan memegang sesuatu ditangannya dan kembali duduk di posisi ia sebelumnya. "Mih, ini tolong mamih pegang! Ini untuk keperluan rumah. Selama mamih tinggal disini tolong mamih yang atur semua urusan rumah. Uang saku Clara juga belanja keperluan dapur bisa ambil dari situ, mamih yang urus!" Mas Doni menyodorkan amplop coklat yang sepertinya berisi uang, pada mamih. "Ini nggak apa-apa mamih yang pegang?" Mamih memindahkan pandangannya bergantian kearah Mas Doni dan kearahku. "Kenapa tidak biar Tari saja yang pegang." Lanjutnya. "Tidak apa-apa mih, tadi aku juga sudah bicara pada Tari. Dia sama sekali tidak keberatan." Sahut Mas Doni. "Sementara saja kok, mih, sampai kondisi Tari lebih baik." Lanjut Mas Doni. "Iya mih, biar mamih saja yang pegang." Seruku kaku, saat mamih kembali mengarahkan tatapan kearahku, seolah menunggu persetujuanku. Aku tidak pernah ada maksud ataupun keinginan untuk menguasai semua kepemilikan Mas Doni, baik itu berupa harta ataupun dirinya. Tetapi saat mas Doni mempercayakan uang itu pada mamih, jujur saja aku merasakan kekecewaan. apa yang terasa di dadaku terasa aneh, merasa ada yang salah dengan apa yang mas Doni lakukan. Mas Doni seolah melibatkan mamih dalam rumah tangga ini. Bahkan saat ia memberikan uang itu pada mamih, ia sama sekali tidak memberi kepadaku, bahkan tidak sedikit pun sekedar untuk peganganku. Seolah jika aku memiliki suatu keperluan atau keinginan aku harus memintanya pada mamih. Sayangnya, aku tidak mungkin bisa mengungkapkan isi hatiku karena mas Doni tidak pernah menanyakannya, selain itu aku juga tidak memiliki keberanian untuk menyuarakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN