Masakan Mamih.

1338 Kata
Matahari mulai mengintip dari persembunyiannya, cahaya jingga kemerahan mulai nampak dari ufuk timur. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini aku memulai rutinitas harianku, tentunya dengan segala hal yang berhubungan dengan dapur. Dari dapur, dapat kulihat Mas Doni keluar dari kamar. Dengan mata yang masih terlihat mengantuk, dia menghampiriku. berjalan pelan dengan sesekali mengucek matanya. "Mas, mau aku buatkan kopi?" Aku yang menyadari kedatangan mas Doni, menawarinya secangkir kopi. "Iya, tapi aku mandi dulu ya" Mas Doni mendekat, meraba pinggangku pelan dan memelukku dari belakang. Dijatuhkan dagunya dipundakku, dengan wajahnya menghadap ke leherku––bahkan nafasnya bisa kurasakan hangat berhebus. "Ya sudah, sana Mandi!" Ucapku sambil mengelus kepalanya lembut. "Kau wangi, sudah mandi yah?" Tanya Mas Doni mendongakkan kepalanya melihatku. "Iya mas, ini handuk saja masih menutup rambutku yang basah." Jawabku dengan senyum. "Padahal pingin mandi bareng." Ucapnya manja, seraya tiba-tiba membalikkan tubuhku menghadap kearahnya. Saat kami saling berhadapan, dengan cepat diangkatnya tubuhku dan dibiarkannya kaki ini melingkar kuat dipinggangnya. Didudukan olehnya aku diatas meja dapur. Kami masih saling menatap mata satu sama lain. Padahal meja dapur dimana aku didudukan cukuplah tinggi, tapi karena portur Mas Doni yang jangkung membuatnya tetep berada lebih tinggi dariku. Mas Doni terlihat menunduk mendekatkan wajahnya kearah wajahku. Tau akan maksud tujuannya, dengan lembut kuterima pangutan lembut bibir Mas Doni yang menyentuh bibirku. Kunikmati setiap desiran yang tercipta dari pangutan-pangutan itu. Mata ini secara spontan memejam karena meresapi setiap sentuhan yang terasa. Darah mengalir deras keseluruh tubuh. Dengan bibir yang masih menyentuk bibirku, tangan Mas Doni bergerak menarik tali simpul yang mengikat jubah mandiku. Dilepasnya ciuman itu, ditatapnya mataku dalam. Tak ada kata yang terucap, hanya senyuman menyeringai penuh arti yang nampak dari bibirnya. "Aku sudah mandi loh mas." Rengekku manja. "Hahhaahhaaha.." Mas Doni terkekeh mendengar ucapanku yang malah membuatnya bertambah gemas. Dengan mudah, diangkatnya aku dan dibawanya ke sofa depan TV. Tanpa menunggu lama adegan di dapur yang sempat tertunda itu, kami lanjutkan di sofa panjang dengan penuh gairah. Padahal semalam, pelepasan-pelepasan itu baru saja kami lakukan beberapa kali. Seolah tak pernah merasa puas, pagi ini, kami pun masih diselimuti gairah yang membara. Karena waktu yang tak begitu banyak, pagi ini, kami tidak bisa melakukan lebih lama lagi. Kurapihkan jubah mandiku. Sepertinya aku harus mandi lagi. Kubiarkan Mas Doni mandi terlebih dahulu, karena dia harus bersiap berangkat ke kantor. Sedangkan aku lebih memilih melanjutkan kegiatan dapurku yang sempat tertunda. Kuletakkan kopi pesanan Mas Doni beserta roti di meja makan, sebagai sarapan pagi ini. Mas Doni keluar kamar mandi dan berpakaian dikamar, aku bergantian mandi – untuk yang kedua kalinya dipagi ini. Seperti biasa pukul delapan tepat Mas Doni sudah berangkat, dia selalu berusaha untuk datang lebih awal sebelum jam kerjanya dimulai. Mobil SUV hitam itu telah keluar dari halaman rumah, menjauh berbelok keluar dari gerbang perumahan. Dan rutinitas harianku yang mulai terasa membosankan dimulai kembali. Aku mencari-cari ide, kira-kira kegiatan apa saja yang bisa aku lakukan untuk mengisi waktu agar aku tidak merasa bosan. Karena bekerja kembali dirasa tidaklah mungkin, mengingat Mas Doni yang tidak mengijinkan. Aku sempat bertanya pada Mas Doni, kira-kira selain bekerja kegiatan apa yang boleh aku lakukan agar tidak bosan. Tapi Mas Doni hanya menjawab, jika nanti ada kehadiran anak diantara kita, dengan sendirinya aku akan mempunyai kesibukan. Ya, memang benar apa yang Mas Doni ucapkan. Semoga saja bayi mungil itu dengan cepat akan hadir ditengah-tengah kami, sebagai pelengkap rumah tangga ini. *** Tepat jam setengah enam sore, suara mobil Mas Doni terdengar memasuki halaman rumah. Aku yang sedang berada dikamar, bergegas menuju luar rumah untuk menyambut kepulangnya. Dari teras dapat terlihat, tepat disamping kemudi, terdapat ibu mertuaku yang duduk tepat disamping Mas Doni. Sepertinya Mas Doni menjemput ibunya dahulu, sebelum pulang kerumah. Mereka turun dari mobil. Rupanya mereka tidak berdua, ada Clara juga yang keluar dari pintu belakang. Aku menyambut mereka dengan senyum, merasa gembira karena malam ini rumah akan terasa ramai. Kusambut ibu mertuaku dengan ciuman dipunggung tangannya dan kupeluk Clara dengan erat. "Mamih dan Clara akan menginap malam ini." Ucap Mas Doni berjalan lebih dahulu memasuki rumah. "Iya, aku sangat senang mamih datang. Rumah akan terasa lebih ramai." Jawabku dengan merangkul tangan mamih, membawanya berjalan kedalam rumah, diikuti Clara yang sibuk dengan ponsel ditangannya. Kami bertiga duduk di sofa depan TV. Mas Doni yang baru saja keluar dari kamar, berjalan menuju kamar Mandi untuk mandi. "Mumpung ada mamih disini, dek Tari belajarlah masak sama mamih ya! Malam ini aku ingin makan masakan rumah." Ucap Mas Doni, sebelum melangkahkan kakinya kedalam kamar mandi. Aku mengalihkan tatapanku pada mamih, menunggu persetujuannya. "Dasar anak bungsu, mamihnya datang malah disuruh masak." Keluh mamih dengan canda. "Ayo, Tari! Biar pria besar itu tak mengomel nanti." Ucap mamih masih dengan candanya. Sore itu aku dan mamih sibuk berdua didapur, sedangkan Clara seperti kebanyakan anak seusianya sibuk dengan dirinya sendiri bersama ponsel pintarnya. Tepat jam makan malam, semua masakan telat siap dimeja makan. Belum sempat aku panggil, Mas Doni yang sebelumnya sedang berbaring dikamar, tiba-tiba saja telah duduk rapih dimeja makan. "Hemm, aku benar-benar kangen masakan mamih. Sampai-sampai, cuma nyium wanginya saja sudah buat aku jadi lapar." Ucap Mas Doni manja pada Mamih. Aku hanya tersenyum-senyum melihat tingkah laku laki-laki yang telah menjadi suamiku itu. Menganggap sikapnya itu begitu manis. "Ya sudah, ini sudah rapih. Panggil Clara dikamar! Ayo kita makan!" Ajak mamih sambil memundurkan satu kursi dimeja makan untuk dia duduki. "Biar aku yang panggil mi." Sahutku, menawarkan diri. Malam itu Mas Doni terlihat sangat menikmati makanannya, tak henti-hentinya dia memuji masakan mamih setinggi langit. Awalnya itu terlihat sangat menyenangkan untukku, tapi lama kelamaan entah mengapa ada perasaan yang mengganjal dalam hati. Aku sendiri bingung harus mengartikan seperti apa perasaan yang aku rasakan ini. Seperti rasa kecewa tapi bukan kecewa, ada rasa sedih tapi juga tidak merasa sedih, sedikit merasa tidak dihargai tapi aku sendiri tidak yakin dengan itu. Aku ingin Mas Doni pun memuji masakanku seperti ia memuji masakan mamih, walaupun aku tahu itu tak mungkin bisa dibandingkan. Mungkin aku yang harus berusaha, jika aku ingin mendapatkan pujian itu, aku harus berusah belajar pada mamih, agar masakanku sesuai dengan selera Mas Doni. Kutepis perasaan yang tak jelas itu jauh-jauh. Sesegera mungkin aku akan belajar kepada mamih. "Tuh, dek, masakan mamih tuh emang tiada duanya. Itu baru yang dinamakan masakan." Mas Doni kembali memuji masakan mamih saat kami tengah bersantai didepan TV. Masakan mamih memang enak, aku pun mengakuinya. Ciri khas masakan seorang ibu yang penuh cinta untuk keluarganya. Sama halnya seperti aku beranggapan bahwa masakan ibu adalah masakan yang paling lezat, tiada duanya. "Dari yang mamih lihat, sepertinya Tari juga biasa di dapur loh Don. Masakannya juga pasti enak." Ucap mamih yang sedang sibuk dengan tangan yang sedang mengupas kulit jeruk. Mendengarkan ucapan mamih, aku sedikit tersanjung. Tapi tak tau harus menyahut apa, dan akhirnya aku hanya tersenyum. "Doni belum bisa masuk mih masakan Tari. Jika mau mengikuti selera Doni, Tari belum bisa disebut bisa masak." celetuk Mas Doni menanggapi perkataan mamih dengan kata-kata yang cukup membuatku tersentak. Aku cukup terkejut dengan ucapan Mas Doni, tak menyangka dia akan dengan luas berkata seperti itu. Entah dia sadari atau tidak, apakah perkataan nya itu melukaiku atau tidak. Tiba-tiba saja ada rasa kecewa padanya. Ditambah, Mas Doni mengucapkannya didepan Mamih, ibu mertuaku. Entah apa penilaiannya tentang aku nanti? "Mamih akan menginap beberapa hari disini. Nanti Tari masak sama mamih ya, biar tahu bagaimana selera Doni." Ajak Mamih padaku "Iya mih." Jawabku lirih, ada rasa tertahan di tenggorokan, yang membuat kata-kataku tak keluar dengan lepas. Rasanya aku tidaklah terlalu buta tentang masak memasak, tapi mengapa Mas Doni sama sekali tidak bisa menghargai masakanku? Apakah memang masakanku benar-benar tidak enak? Atau jika pun benar masakanku tidaklah enak, apakah mas Doni tidak bisa berpura-pura tetap memujinya untuk menyenangkan hatiku? Atau paling tidak berkata dengan kata-kata yang tetap manis untuk menghargai usahaku yang tulus ingin membahagiakannya. Mungkin inilah pernikahan? Kita akan mengetahui lebih banyak tentang pasangan kita setelah ada didalamnya, bahkan berpacaran lama pun tidak menjadi jaminan kita akan mengenal secara dalam pasangan kita. Apalagi aku yang sebelum menikah, memang tidak banyak mengetahui tentang pribadi calon suamiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN