Tanda-tanda

1313 Kata
Sudah dari semalam aku merasa tak enak badan. Kepala terasa pusing, badan pun sangat lemas tak bertenaga. Mungkin karena kecapean sehingga menjadi masuk angin. Semalam aku memilih untuk tidur lebih awal, berharap sesudah bangun di pagi harinya badan akan kembali sehat. Sebenarnya sedari tadi, aku sudah terbangun dari tidurku yang cukup panjang, tapi sayangnya sakit di kepala ini tidak juga kunjung hilang. Aku harus tetap bangun, Mas Doni akan segera pergi ke kantor. Aku harus menyiapakan segala keperluan juga sarapannya pagi ini. Dengan sedikit kepayahan aku berusaha bangun dari tempat tidur yang empuk itu, meninggalkan Mas Doni yang masih terlelap sambil memeluk gulingnya. Alarmnya masih satu jam lagi baru berbunyi. . . "Mas, ini kopi nya." Aku menyodorkan secangkir kopi yang baru saja aku seduh di hadapan Mas Doni yang sedang sibuk dengan sarapan paginya. Aku menarik satu kursi dimeja makan yang tepat berada disamping Mas Doni. Mas Doni mengalihkan tatapannya kepadaku yang terduduk disampingnya. "Dek, kamu masih nggak enak badan? Mau kedokter?" Dengan tatapan khawatir Mas Doni menghentikan sarapannya. "Nggak perlu deh mas, aku minum obat warung saja dulu. Biasanya juga aku cocok walau cuma pakai obat warung." "Tapi kalau ada apa-apa kamu kabari Mas ya! Mas akan izin dan langsung pulang." "Iya Mas." Lirihku. "Oh, iya, dek!" Tiba-tiba saja Mas Doni merubah posisi duduknya, menghadapakan tubuhnya kearahku dengan sedikit mengeser posisi kursi tempat ia duduk. "Dek, uang yang waktu itu Mas kasih, masih kamu simpan nggak?" tanya mas Doni dengan mimik muka serius. "Masih mas, memang kenapa?" Sahutku. "Tapi aku sudah memakainya sebagian Mas. Aku sempat sedikit memberi kepada ayah, yang aku izin waktu itu. Sebagian lagi untuk keperluan dapur kita selama ini, yang stok-nya tidak ada dirumah." Lanjutku menjelaskan. "Begini dek, Mas sedang ada keperluan yang mendesak. Kalau boleh Mas mau pinjam dulu uang itu, nanti pasti mas ganti." mas Doni makin lekat melihatku seperti memohon. "Ya, sudah pakai saja mas! Jika itu sangat penting dan mendesak." Bangkit dari kursi yang sedang aku duduki, aku berjalan menuju kamar mengambil amplop coklat yang aku simpan di laci lemari baju. Aku kembali menghampiri Mas Doni yang kembali melanjutkan sarapannya di meja makan. "Ini mas pakailah!" "Terima kasih ya dek, nanti pasti mas ganti." Seraya menyambut amplop coklat yang aku ulurkan dihadapannya, dengan senyum mengembang di bibir. "Kalau gitu Mas Langsung berangkat ya dek." Mas Doni menyeruput kopi dicangkirnya dengan sedikit berdiri. "Kamu tak perlu mengantar! Istirahatlah dikamar! nanti sore saat mas pulang kamu masih nggak enak badan, kita ke dokter ya." Mas Doni berangkat tanpa aku antar ke depan pintu seperti biasanya. Aku kembali ke dalam kamar, merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Tadi hanya terasa pusing, tapi sekarang ditambah lemas seperti semalam. Sebenarnya ingin kembali melanjutkan tidur, tetapi entah mengapa kepala ini masih saja mengajak bekerja walau kondisinya sedang tidak memungkinkan. Bukan bermaksud tidak ikhlas, hanya saja jadi muncul banyak pertanyaan dikepala ini. Untuk apa sebenarnya Mas Doni meminta kembali uang yang dia beri padaku? Bukankah uang yang dia dapat dari bisnis tanahnya kemarin cukup besar? Apa uang itu sudah habis? Bahkan aku sendiri pun tidak tahu menahu untuk apa saja uang itu ia pergunakan, selain satu set perhiasan yang Mas Doni beri untukku juga liburan keluarga besar aku tidak tahu lagi kemana perginya uang hasil bisnis tanahnya. Mas Doni sungguh tertutup jika mengenai keuangan. Sebagai seorang istri, jujur saja ada rasa ingin tahu dalam diriku. Sayangnya, Mas Doni tidak pernah mengajakku bicara perihal keuangannya. Selama ini memang stok kebutuhan pokok dirumah ini dia penuhi, semua barang dapur kumplit dia stok dikabinet-kabinet dapur. Semua pembiayaan rumah ini pun dia yang mengurusnya, dari p********n listrik ,air dan lain sebagainya dia yang tangani. Aku hanya terima beres saja, tetapi aku juga baru sekali itu saja dia beri uang cash oleh Mas Doni. Jujur, nominalnya memang cukup besar apalagi bagiku yang tidak pernah memegang uang banyak. Tetapi nyatanya hari ini dia pinta uang itu kembali. Semakin memikirkan, semakin banyak pertanyaan dan kebingungan dikepalaku. Kenapa rasanya ini tidak sesuai dengan ucapan ibu? Dulu dengan sangat bangganya ibu berkata, bahwa mas Doni adalah laki-laki yang mapan, memiliki masa depan yang cerah. Kalau memang ia semapan itu dan sekaya itu. Kenapa rumah ini saja harus menyewa? Sepertinya juga Mas Doni memang belum memiliki rumah. Dan satu hal lagi yang tidak kurangnya membuatku terheran-heran. Saat itu aku sedang merapihkan dokumen dan berkas-berkas di meja kerja Mas Doni, tanpa sengaja aku menemukan bukti p********n angsuran mobil. Setelah aku baca lebih jelas ternyata itu adalah bukti p********n angsuran mobil Mas Doni yang sedang ia gunakan sekarang, dari keterangan tanggal dan semua yang tertulis dikertas itu, baru aku ketahui bahwa selain rumah yang masih menyewa ternyata mobil Mas Doni pun masih dalam angsuran dengan tenor yang cukup lama. Sebenarnya rumah sewaan dan mobil yang masih cicilan bukanlah masalah untukku, tidak punya mobil pun aku tak mengapa. Tetapi semua terasa aneh jika dirunun dari perkataan ibu dulu siapa itu Mas Doni? bagaimana keluarganya? dan juga apa pekerjaanyan? Semakin banyak yang aku ketahui, malah semakin membuatku merasa bahwa aku memang belum betul-betul mengetahui suamiku secara menyeluruh. Masih banyak hal yang belum aku tahu tentangnya. Bahkan, aku sempat menyangsikan apakah Mas Doni benar semapan seperti apa yang selalu ibu bilang? Makin dipikir kepalaku makin terasa sakit. Aku teringat belum sarapan. Jika mau meminum obat, aku harus sarapan terlebih dahulu. Kubatalkan tidurku, berjalan menuju dapur memeriksa apa yang sekiranya dapat aku jadikan sebagai sarapan. Setelah kuperiksa selain telur yang tersedia hanyalah makanan instan semua, dan baru ingat aku tidak memegang uang sama sekali. Ketika memberikan uang pada Mas Doni tadi, aku lupa menyisihkan sedikit sebagai peganganku. Alhasil sekarang aku tidak memilikinya sepeser pun. Aku memutuskan memakan apa pun yang bisa dimakan, yang penting bisa minum obat dan melanjutkan tidur. Agar rasa sakit dikepala bisa segera mereda. Hari itu masih dipagi hari, ketika semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, aku kembali terlelap karena efek samping obat pereda nyeri yang aku minum. . . Matahari mulai meninggi, ketika cahayanya menembus kain tipis gorden kamarku. Aku yang saat itu masih terlelap tiba-tiba saja terperejat karena terkena cahayanya yang meyilaukan. setelah sedikit mengucek mata aku melihat jam di dinding kamar, jarum pendeknya menunjuk kearah angka 12 dengan jarum panjang yang menimpanya. Aku bangun perlahan, merasakan rasa sakit dikepala sudah mereda walaupun masih ada sedikit yang tertinggal. Tetapi ada rasa mual yang tak bisa aku tahan, aku bergegas menuju kamar mandi untuk memuntahkan semua yang dari tadi minta keluar dari perutku. Rasanya aku sudah tidak tahan menahan tubuh ini. Aku beranjak mengambil ponsel yang kuletakkan dimeja kecil samping tempat tidur. Terdengar nada terhubung dari ponsel yang aku letakkan ditelinga. "Hallo! Ya dek. Kenapa?" Terdengar suara Mas Doni dari seberang panggilan. "Mas, badanku semakin tidak enak. Kira-kira Mas bisa pulang atau tidak ya?" Sebenarnya menelpon memintanya pulang juga tidak enak rasanya, tetapi aku teringat perkataan Mas Doni tadi pagi–agar aku mengabarinya jika merasa semakin parah dan dia akan mengusahakan pulang. "Duh, bagaimana ya dek? Aku sekarang sedang meeting penting. Kira-kira kamu bisa tahan tidak? Kalau tahan aku selesaikan meeting ini dulu baru nanti pulang." "Oh, begitu? Ya, sudah mas tidak apa-apa jangan dipaksakan! Mudah-mudah aku dapat tahan ." Sedikit kecewa aku membiarkan ia melanjutkan pekerjaannya. Ada sedikit sesal dalam hati, harusnya aku tidak perlu menelpon dan memintanya pulang. Harusnya, dia pun tidak perlu bicara seperti itu tadi pagi, jika dia sendiri tidak bisa menepatinya. Setelah muntah yang pertama aku memilih untuk membaringkan tubuhku diatas sofa didepan TV, karena setelah itu rasa mual masih berdatangan dan membuatku harus bolak balik ke kamar mandi. Sakit di kepala memang sudah tidak terlalu terasa tapi sekarang berganti dengan mual dan badan yang masih lemas tak bertenaga. Tok! Tok! Tok! Saat aku sedang lelah-lelahnya terdengar suara ketukan pintu dari depan. Aku bangun untuk memeriksa siapa yang datang. Apa mungkin Mas Doni telah selesai meeting dan langsung pulang? Kuintip keluar jendela dengan sedikit menyibakan gorden jendela depan, ternyata sosok yang ada dibalik pintu adalah Rizki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN