Bathroom Tragedy

1640 Kata
Resepsi berlangsung dengan meriah. Meskipun hati Ayenara hancur berkeping-keping, ia berusaha terlihat bahagia di hadapan semua orang--demi orang tuanya. Ya, ia memang sudah masuk dalam permainan Marcell dan itulah yang diinginkan pria itu. “Selamat, Ay. Happy wedding day. Baarakallahu lakuma wabaraka ‘alaikuma, wajama’a bainakuma fii khair.” Zizi menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat untuk mereka berdua. Mereka berpelukan cukup lama, Ay menekan perasaannya agar tidak menangis di pelukan sahabat karibnya. “Makasih, Zi.” “Hei, are you okay? Kenapa wajah kamu murung gitu?” Zizi mencubit pipi Ay. Sementara Ay hanya menggeleng dan berusaha tersenyum agar tidak terlihat mengkhawatirkan. Zizi lalu turun panggung karena sudah banyak orang yang mengantri di belakangnya. Marcell menggamit lengan istrinya, berbisik sepelan mungkin, “Senyum, jangan keliatan banget terpaksa begitu.” “Bukan urusan kamu.” Ay tidak peduli, memilih membuang pandangan ke sembarang arah dan melepaskan lengannya dari tangan Marcell. Berusaha sekuat tenaga menetralisir perasaannya yang semakin menyesak dan membuat bola matanya panas luar biasa. Pukul 16.30 acara resepsi selesai. Ay langsung dibawa ke rumah Marcell. Mereka berdua masuk ke dalam kamar Marcell yang sangat luas untuk melepas lelah dan menyimpan barang-barang yang dibawa Ay dari rumahnya. Orang tua dan keluarga Marcell yang lain masih di tempat acara, menyelesaikan segala hal yang tersisa di sana. "Di mana kamar yang lain? Aku mau antar barang-barangku ke sana." Ay bertanya dengan suara datar. Ia sudah bertekad tidak akan masuk dalam perangkap Marcell. Kalau pria itu punya rencana keji, maka dia tidak boleh jadi korbannya. Biarlah mereka sama-sama menanggung penderitaan sampai akhir. "Kamu mau ke mana? Tetap di sini. Kamu mau membuat huru-hara di hari pertama pernikahan kita?" Marcell menatapnya tajam. Ay mengembuskan napas kasar. Meletakkan dua buah kopernya di lantai, lalu duduk di sofa. Ya, sekarang masih hari pertama pernikahan mereka, jadi dia harus bersabar. Mungkin sebentar lagi, ketika berkumpul dengan keluarga Marcell barulah dia sampaikan keinginannya untuk memiliki kamar sendiri. Tapi…, apa tidak terlalu kentara kalau mereka punya rahasia? Ah, biarkan saja, itu urusan Marcell. "Bisakah kamu keluar? Aku mau mandi," ujar Ay ketus. Marcell tidak menjawab, perhatiannya fokus mengamati layar tab berukuran 12 inci di tangannya. Sesekali jemari kekarnya mengetik sesuatu di atas layar itu. Ay mengangkat bahu melihat suaminya tetap bergeming, dia juga tidak ambil pusing. Toh berganti pakaian bisa dilakukan di dalam kamar mandi. Jadi ia segera membuka kopernya dan mengambil pakaian, lantas masuk ke dalam kamar mandi. Rasa gerah di sekujur tubuh nyaris membunuhnya. Ay mengamati sekeliling kamar mandi yang luas itu. Lalu memastikan pintunya sudah terkunci sempurna dan tidak ada CCTV di dalam sana. Ia mulai membuka jilbab yang melilit kepalanya sejak di tempat resepsi tadi. Lega. Mengurai rambutnya yang bergelombang kemerahan sepunggung, terasa lepek oleh keringat. Berikutnya membuka gaun pengantin yang cukup menyesakkan d**a, menyisakan pakaian dalam yang menempel ketat di tubuhnya. "Haish, aku lupa ambil sabun!" gerutu Ay begitu menyadari tak ada sabun wanita di dalam kamar mandi. "Gimana ini? Masa harus pake baju pengantin ulang?" Ay berkacak pinggang, memikirkan ide paling simpel untuk keluar kamar mandi tanpa harus mengenakan ulang gaun pengantinnya. "Mana Marcell nggak mau keluar lagi," gerutunya lagi, kini bibirnya mengerucut kesal. Lalu, terbetiklah sebuah ide. Ia menjentikkan jari dengan senyum mengembang. Dengan mengenakan bathrobe yang hanya sepaha, gaun pengantin dililit asal di pinggangnya untuk menutup area kaki, lalu mengenakan jilbab yang baru diambil dari kopernya tadi, Ay keluar dari kamar mandi. Meski Marcell sudah sah menjadi suaminya dan sudah halal melihat sekujur tubuhnya, tapi ia masih 'alergi' ditatap-tatap sedemikian rupa oleh pria itu. Apalagi di antara mereka menyimpan permusuhan, jelas tidak akan mungkin ia rela membuka pakaian di depan Marcell. Ay berjalan seperti pinguin karena gaun yang membebat kakinya terasa sempit. Lalu membuka kopernya, mencari pouch peralatan mandi di bagian ujung. Yes, I found you! Hati Ay terlonjak girang begitu menemukan barang yang dibutuhkannya. Buru-buru ia berdiri untuk kembali ke kamar mandi. Beruntung Marcell tidak memperhatikannya dan masih fokus dengan tablet-nya. Tapi, nahas! Ay menginjak ujung gaun yang membebat kakinya, gaun itu pun jatuh melorot ke lantai. Maka tereksposlah betisnya yang jenjang dan mulus. Bertepatan dengan itu, Marcell mengarahkan perhatian ke arahnya. Ayenara buru-buru duduk membelakangi Marcell. Ugh, malu sekali rasanya! Oh, Ya Allah, bagaimana caranya keluar dari situasi memalukan itu? "Apa yang kamu lakukan di situ?" Marcell menegurnya. "Marcell, please, keluar dulu, aku mau masuk kamar mandi!" seru Ay putus asa. "Bukannya kamu sudah di kamar mandi dari tadi? Kenapa keluar lagi, hem? Kalau mau masuk lagi, ya masuk saja, kenapa aku harus repot-repot keluar kamar," tukas Marcell sekenanya. "Kalau begitu tutup matamu!" teriak Ay lagi. "Kenapa harus tutup mata? Hei, aku ini suamimu, terserah aku mau melihatmu dengan cara bagaimana," bantah Marcell. Ay bergidik ngeri mendengar jawaban yang diucapkan suaminya itu. Marcell meletakkan tablet-nya di atas meja, menyilangkan kaki sambil menatap intens ke arah Ayenara. Sejujurnya ia sangat penasaran seperti apa 'isi' dari seorang wanita berhijab. Apalagi Ay bukan gadis jelek, bahkan dia cantik dengan wajah blasteran dan tubuh tingginya. "Pokoknya tutup mata, awas kalo liat ke sini!" Ay berseru mengancam, lalu sesaat kemudian bangkit berdiri. Marcell hanya tersenyum miring, menatap Ay yang berdiri memunggunginya, berjalan berjingkat-jingkat menuju kamar mandi. Kamu pikir aku bodoh sampai harus tutup mata? Dan… itu… betis yang selama ini tersembunyi dalam pakaian panjang dan longgar terpampang nyata di depan matanya. Anehnya, jantung Marcell langsung berdesir begitu melihat pemandangan itu. Padahal, bukan kali pertama baginya melihat hal itu, ia sudah biasa melihat bahkan yang lebih dahsyat dari itu, bersama Agnez, ataupun wanita lainnya. "Tunggu!" Maka ketika Ay hampir menutup pintu kamar mandi, Marcell segera melesat menahan pintu itu, lalu mencekal lengan ramping yang terbungkus bathrobe, hingga Ay terlihat sangat shock. "Kamu…, mau ngapain ke sini?!" Dengan wajah panik dan nada cemas Ay meronta melepaskan tangannya dari cekalan suaminya. "Menurutmu?" Marcell tersenyum misterius. Merengsek masuk ke dalam kamar mandi dan menghimpit tubuh Ay hingga menabrak dinding. "M-Marcell! Jangan main-main!" Ay menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghindar agar tidak bersitatap dengan Marcell. Marcell meraih kedua tangan Ay, mencengkeramnya menjadi satu di belakang tubuh ramping itu dengan sebelah tangan kekarnya. Sementara tangan sebelahnya lagi menggamit dagu Ay dan mengarahkan wajah cantiknya agar berada satu garis lurus dengan wajahnya. Ay diam terpaku tanpa bisa berkutik. Dunia serasa membeku bersama dengan tubuhnya. Layaknya patung hidup yang bisa merasakan tapi tidak bisa bergerak. Marcell menyingkirkan jilbab yang menutupi kepalanya, hingga rambut indah itu tergerai memukau pemandangannya. Ternyata, Ay sangat berbeda dengan wanita kebanyakan. Dia seperti memiliki magnet tak kasat mata, inner beauty. "M-mar…." Ucapan Ay menggantung di udara tatkala pria di hadapannya itu memajukan wajah dan menyentuh bibirnya dengan pelan. Hangat dan… lembut. Ay masih tidak percaya dengan apa yang sedang dialaminya. Dia hanya diam membisu tidak memberikan respon apa pun. Lalu perlahan kesadarannya menghampiri. Ia segera menghindari ciuman Marcell, memalingkan wajahnya dan meronta agar segera dilepaskan. Oh, tidak! Tidak sekarang! Tidak dengan Marcell! Tidak pula dengan rencana picik pria itu! Batin Ay meradang. Tapi Marcell tidak peduli. Pria itu memegang rahang Ayenara dan memalingkannya lagi hingga wajah mereka kembali berhadap-hadapan. Dan tanpa membuang waktu lagi Marcell segera melumatnya. Memaksakan lidahnya menelusup masuk ke dalam mulut Ay lewat celah-celah gigi. Kasar? Sangat! Marcell memaksa dengan sepenuh tenaganya hingga mulut Ay benar-benar membuka. Dengan ganas ia mencari-cari lidah Ay dan menyesapnya dengan gemas. Lalu setelah puas, kembali ke bibirnya, menyesap kuat dan memberikan pengantar panas yang akan sulit Ay lupakan. Setelah beberapa saat berada dalam situsai seperti itu, perlahan Marcell mengendurkan dirinya. Menyandarkan keningnya pada kening Ay. Ia tahu, Ay juga sudah merasakan hal yang sama. Terlihat dari raut wajahnya yang sayu dengan bola mata menggelap. Jiwa mereka sama-sama bergelora terbakar gairah. "Kenapa, hem? Menikmati? Kamu pasti tahu aku tidak akan main-main dengan ucapanku." Marcell melepaskan istrinya, lalu keluar dari kamar mandi meninggalkan Ay seorang diri yang tenggelam dalam kebingungan. Ay buru-buru berjalan dengan kaki-kaki gemetaran menuju cermin lebar yang menggantung di atas wastafel. Menatap wajahnya yang telah berubah warna itu. Dan, sialan memang, pantas terasa sangat perih, bibir bawahnya bengkak dengan sedikit lecet. Kalau sudah begini, bagaimana mengutarakan keinginannya pada mertuanya? Para orang tua itu pasti menyangka mereka sudah…. "Ck!" Ay berdecak sebal. Ia segera mandi dengan cepat, sekaligus berganti pakaian di dalam kamar mandi. *** "Marcell, Ay! Ayo, makan malam, Nak!" Suara Marisa memanggil anak dan menantunya makan malam bersama selepas waktu maghrib. "Iya, Ma," sahut Ay, lalu bergegas membuka pintu dan tersenyum senang melihat ibu mertuanya juga tersenyum ramah menatapnya. Dan senyuman itu semakin lebar kala melihat Marcell mendekat ke pintu dengan rambut setengah basah. Mereka berjalan beriringan menuju meja makan. Di sana, Pierro sudah menunggu. Para asisten rumah tangga dengan sigap menyiapkan berbagai menu makan malam spesial. Tentu, mereka tidak akan melewatkan malam istimewa itu. "Gimana, Ay? Kamu suka kamar Marcell yang berantakan?" tanya Pierro sambil terkekeh. Ay hanya mesem-mesem, tidak tahu harus jawab apa, karena kamar pria--b******k--itu kenyataannya tidak berantakan. "Tidak usah segan di rumah ini, anggap saja rumah sendiri. Kalian berdua sekali-kali harus bermalam juga di rumah kamu, Ay," ujar Marisa sambil tersenyum. "Iya, Ma," jawab Ay singkat. Mereka menikmati makanan sambil bercerita banyak hal. Tentang persahabatan Chicco dan Pierro sejak masih di Italia, lalu terpisah karena kesibukan masing-masing dengan keluarga dan pekerjaan. Hingga cerita tentang masa kecil Marcell yang membuat Ay tertawa terpingkal-pingkal. "Jadi jangan kira Marcell sekeren ini dari dulu. No way! Dia dulu itu jelek banget, kurus kerempeng, dan suka merajuk minta ampun." Marisa bercerita disela-sela tawanya. Marcell memberengut kesal karena ibunya membuka aibnya hingga ditertawakan sedemikian rupa. Setelah suasana kembali tenang, Ay mulai mempersiapkan diri untuk mengutarakan keinginannya tidur di kamar terpisah. Dia sudah memiliki alasan yang logis dan kuat. Mertuanya pasti akan mengerti dan mengabulkan. "Mmm, Ma," panggil Ay. Pierro dan Marisa menoleh ke arahnya. "Boleh aku ti--" Marcell seketika berdeham menghentikan ucapan Ay yang hampir terlontar sempurna. "Ma, Pa, kayaknya kami mau masuk duluan," ujar Marcell sambil tersenyum penuh arti. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN