Jangan Lakukan itu, Please

1709 Kata
Sambil menggerutu dengan suara tidak jelas, Ay terus mengikuti langkah Marcell, hingga akhirnya masuk ke dalam kamar. Klik! Pria itu mengunci pintunya. Merasa tidak nyaman, Ay mengambil piyama panjangnya dari dalam koper dan segera masuk kamar mandi. Ya, dia memang belum memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Ay berdiri sangat lama di depan cermin memikirkan cara paling jitu untuk terhindar dari malam pertama. Marcell tentu punya kekuatan penuh untuk menjalankan rencana piciknya itu. Bagaimanapun, ia seorang wanita yang paham agama dengan baik. Menolak 'ajakan' suami bakal mendapat laknat dari para malaikat. Tapi dengan niat jahat yang direncanakan Marcell apakah bukan bentuk kedzaliman? "Pokoknya nggak boleh terjadi apa pun sampe dia menyadari kesalahannya," tegas Ay. Ia menghela napas kasar, menatap pantulan dirinya dengan tajam, segera mengganti pakaiannya dengan piyama, tetap lengkap mengenakan jilbab dan outer yang terjulur di atas piyama. Lalu keluar dari kamar mandi masih dengan hati dan pikiran yang tidak tenang. Marcell menatapnya sesaat dengan tatapan dingin, lantas gantian masuk kamar mandi. Tidak lama kemudian, pria itu keluar lagi dengan bertelanjang d**a. Menunjukkan d**a bidang yang berbulu dan perut kotak-kotaknya. Pemandangan yang membuat Ay terkejut sekaligus terpana, karena secara umum tubuh Marcell memang kekar atletis. Marcell membuka lemari pakaian dan mengambil piyama satin kesukaannya. Lantas berganti pakaian begitu saja di depan lemari, membuka celana pendeknya, lalu memakai piyama dengan santai. Sama sekali tidak terusik dengan keberadaan Ay yang buru-buru membalikkan badan agar tidak melihat tontonan gratis di depan matanya. Mereka sama-sama terdiam, sibuk dengan urusan masing-masing. Marcell sibuk mengancingkan piyama yang dikenakannya, menyisakan dua kancing bagian atas terbuka. Sementara Ayenara sibuk merapikan pakaian yang masih tersusun di dalam koper. Setelah itu, mengatur sofabed agar nyaman untuk tidur. Dia akan tidur di sana, tidak sudi satu kasur dengan Marcell. Lalu naik ke atas sofabed, bersandar di atas bantal yang disusun tinggi. Lumayan, cukup nyaman karena sofabed itu empuk dan lembut. Marcell duduk di atas ranjangnya, menatap ke arah Ay yang sibuk berselancar di atas ponselnya sambil senyum-senyum sendiri. Gadis itu bahkan masih berpakaian lengkap dengan hijabnya? What the hell?! "Naik ke sini," seru Marcell menepuk kasur di sampingnya, tapi Ay tetap bergeming. "Hei, kamu dengar? Aku bilang naik ke sini, tidur di sini," ulang Marcell dengan kesal. "Ck!" Ay yang merasa terganggu dengan suara Marcell berdecak sebal. "Tidurlah, Marcell, nggak usah pedulikan aku. Pokoknya nggak usah saling ganggu, aku di sini dan kamu di situ, yang penting aku sudah menuruti kemauanmu tidur di kamar ini." "Kenapa susah sekali bicara sama kamu? Apa susahnya tidur di sini? Kamu takut, hem?" Marcell menyeringai. Ay tidak mempedulikan lagi, kembali tenggelam dengan kesibukan di ponselnya. Membaca-baca komentar di media sosial dan karya tulisnya sangat menyenangkan, lebih asyik ketimbang melihat wajah Marcell yang tampan tapi dingin dan menakutkan. Marcell mulai kesal, Ay tidak bisa bekerjasama dengannya. Dia pun bangkit dari duduknya. Pokoknya rencananya harus berhasil, semakin cepat melakukannya dengan gadis itu, semakin cepat pula Agnez kembali ke pelukannya. Dan, tanpa berkata-kata apa pun, Marcell mengangkat tubuh Ay. "Marcell! Apa yang kamu lakukan?! lepas, turunkan aku!" sentak Ay terkejut bukan kepalang. Berani-beraninya Marcell bertindak seenaknya. Marcell tidak menjawab, terus membawa Ay hingga sampai ranjang, merebahkan tubuh ramping yang masih terbungkus rapat itu di atas kasur. "Kita sudah menikah, Ay, nggak seharusnya tidur terpisah-pisah," ujar Marcell menatap penuh arti ke wajah panik Ay. "Kamu pasti lebih tau tentang hak suami istri setelah menikah dibanding aku." Ay bangkit dari pembaringannya, mundur menjauh dari jangkauan Marcell. "Tidak, Marcell. Selama di kepalamu masih ada rencana busuk itu, aku tidak bisa menerimamu." "Begitu? Lalu, bagaimana pendapatmu dengan yang tadi sore di kamar mandi, bukannya kamu juga menikmatinya? Jangan jual mahal dan terlalu sombong, tidak ada yang bisa menolak keinginanku." Kurang aja sekali Marcell ini mengungkit-ungkit kejadian itu! Marcell menyusul naik ke atas ranjang, mendekati Ay yang terus beringsut hingga terdesak di headboard. Marcell tersenyum sinis melihat raut panik di wajah Ayenara. Pasti menyenangkan berkelana dengan istri barunya itu, seperti sebuah... petualangan. Marcell semakin bersemangat membuat wanita di hadapannya mati kutu. "Marcell, please, jangan lakukan itu." Ay mengiba tatkala tangan kekar Marcell berhasil mendarat di dagunya, menengadahkannya hingga bola mata mereka saling bertatapan. Bola mata hitam berkilat-kilat itu masih sama dengan yang ia temui kali pertama, mematikan. Ay menutup mata rapat-rapat tatkala wajah Marcell semakin dekat. Ia bisa mendengar deru napas pria itu, juga embusan napas hangatnya. Jantungnya semakin cepat berpacu sebagai respon tubuhnya yang takut sekaligus gugup luar biasa. "Bukankah kamu tidak menginginkan pernikahan ini? Semakin cepat kamu menyerahkan diri padaku, semakin cepat kita akhiri hubungan kita," bisik Marcell tepat di telinga Ay, sentuhan bibir dan rambut-rambut kasar di atas bibir itu membuat tubuh Ay berdesir. Dan ketika Marcell mulai melepaskan jilbabnya, bersamaan dengan itu meneteslah air mata Ayenara. Apakah dia benar-benar akan menyerahkan dirinya pada monster itu? "Marcell, I hope you don't hurt me for your own benefit," bisik Ay, berharap Marcell berubah pikiran. Tapi kenyataannya, pria itu tetap kukuh dengan pendiriannya. Marcell mulai menciumi bibir penuh Ay, sambil jemarinya menurunkan kancing piyama yang dikenakan istrinya. Lalu menurunkan bagian bahunya hingga kulit putih mulus yang membuatnya penasaran itu tampak di depan matanya. Marcell semakin bersemangat. "I hate you, Marcell. Aku pastikan kita akan berpisah secepatnya. Meskipun kamu berhasil mendapatkan aku malam ini, tapi aku tidak akan membiarkan kamu memiliki anak itu," bisik Ay di sela isakannya yang tertahan. Marcell menghentikan ciuman dan gerakan jemarinya mendengar bisikan barusan. Satu hal yang ia lupakan bahwa Ayenara memiliki kekuatan dari para orang tua. Maka, ia memilih mengalah untuk sementara waktu hingga memiliki cara lain yang lebih tepat dan jitu. "Oke, I care you. Jangan pernah pikirkan soal cerai, aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu. Dan aku juga bisa pastikan, cepat atau lambat kamu dengan suka rela akan menyerahkan diri padaku." Marcell turun dari ranjang, masuk ke kamar mandi dengan wajah dan hati dongkol luar biasa. *** Marcell dan Ay sarapan bersama Pierro dan Marisa pagi itu. Suasana di meja makan jadi suram karena ekspresi kedua pengantin bari itu sangat muram, bahkan tergambar jelas kesedihan di wajah Ay lewat matanya yang sembab. "Kamu baik-baik saja, Ay?" tanya Marisa memperhatikan wajah Ay. Ay tersenyum simpul, berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kegelisahannya. "Nggak apa-apa, Ma. Kayaknya kurang enak badan." "Oh, biasa itu pengantin baru emang gitu. Banyak makan dan minum yang sehat. Nanti Mama suruh Bibi buatkan makanan dan minumam penambah stamina." Marisa tersenyum penuh arti, memahami situasi menantunya karena dia juga pernah jadi pengantin baru. Tapi dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara dua anak muda di hadapannya itu. "Makasih, Ma, tapi nggak perlu repot-repot." Ay menyergah. Sementara Marcell hanya diam dan fokus menyantap sarapannya. "Kalian mau honeymoon di mana? Uncle Achilleo mau kasih kado fasilitas dan akomodasi gratis." Pierro mengalihkan pembicaraan. "Mmm, ng--." "Masih kami bicarakan, Pa. Secepatnya aku putuskan tempatnya," jawab Marcell memotong ucapan Ay. Sebuah ide brilian melintas di benaknya. Ay serta-merta menatap Marcell dengan sorot tajam. Berani sekali suaminya itu memberikan jawaban sepihak begitu? Oh, tapi memang Marcell tidak akan meminta pendapatnya, dia pasti punya rencana baru. Awas saja kamu, Marcell! Setelah sarapan, Marcell dan Ay keluar rumah bersama-sama. Ay akan kembali menekuri pekerjaannya untuk mengalihkan kegelisahan, sementara Marcell akan mengunjungi Agnez--tentu saja. Sepanjang perjalanan mereka tenggelam dalam diam. Tidak ada yang berinisiatif untuk membuka percakapan. Terlebih Ay, ia sangat kesal pada pria di balik kemudi itu. Akhirnya mereka sampai di halaman rumah Ay. Setelah parkir dengan aman, mereka berdua turun dan masuk ke dalam rumah. "Assalamu'alaikum!!!" seru Ay. "Wa'alaikumsalam. Eh, kalian ke sini nggak bilang-bilang. Udah sarapan?" Sisilia menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. "Sudah, Ma. Aku juga mau langsung berangkat," jawab Marcell. Mereka berbasa-basi sejenak, lalu Marcell kembali ke mobilnya. Ay juga langsung menuju ke ruang kerjanya. Menghempaskan diri di kursi, menopang dagu dengan kedua telapak tangan. Bayang-bayang wajah Marcell mendekatinya semalam berkelindan di dalam otaknya. "Hufft!!!" Ia membuang napas kasar. Kalau saja dalam hidup ini berlaku pause dan delete, ia sudah pasti men-delete seluruh kisahnya bersama Marcell. Lalu meraih ponselnya, mengetik nama 'Zizi Bawel' di layar. Tidak menunggu lama, panggilan pun terhubung. "Assalamu'alaikum, apa kabar manten baru?" Suara riang Zizi membuat Ay semakin kesal. "Aku tunggu di tempat kerjaku, sekarang." Ay tidak berbasa-basi, lalu memutus telepon begitu saja. Entahlah apa yang akan dia lakukan bersama sahabatnya itu. Yang pasti sekarang Zizi harus datang dan mendengarkan segala keluh kesahnya. Sekitar 30 menit menunggu, orang yang ditunggu-tunggu muncul di depan pintu. "Ada apa, sih? Bikin panik aja!" sungut Zizi, meletakkan clutch-nya di atas meja, lalu duduk di hadapan Ay. "Wait, wait. Muka kamu kusut gitu. Aku tebak kalian belum bermalam pertama. Bener kan tebakan aku?" Zizi mengamati wajah Ay dengan teliti, lalu menjentikkan jari seolah menemukan sebuah barang berharga. "Ck!" Ay berdecak kesal. "Nggak bakalan aku mau malam pertama sama dia. Kamu tau, dia itu MONSTER. Monster, Zi! Do you know what the meaning of MONSTER?!" Ay berbicara berapi-api. "Hei. Are you Ayenara my best friend? Why do you talk like that?" Zizi semakin heran sekaligus penasaran. Ayenara pun bercerita tanpa jeda tentang rahasia Marcell dan sikap buruknya. Bahkan air matanya turut luruh di sela cerita panjangnya. Zizi terkejut bukan kepalang mendengar kenyataan pahit yang--lagi-lagi--menimpa Ayenara. "Aku nggak bisa terus-terusan hidup sama dia, Zi. Aku rasa bakal menderita depresi kalo terus bertahan dengan pernikahan ini. Dan nggak mungkin aku menggugat cerai secepat ini. Papa dan Om Pierro sahabat lama, bakal nggak enak kalo sampe kami pisah." Ay memijat pelipisnya yahg berdenyut-denyut. "Tapi aku nggak tau mesti gimana supaya terhindar dari hal-hal yang aku takutkan. Aku nggak mungkin mengikuti permainan Marcell. Zi, please, bantu aku. Aku harus gimana?" Ay kembali terisak, air matanya semakin deras mengalir. Buru-buru Zizi bangkit dari kursinya, memeluk sahabatnya dengan erat. Meskipun mereka kerap bercanda kelewatan, tapi ia tidak akan rela melihat Ay begitu menderita. "Sabar, Ay. Dan maaf, aku nggak punya ide untuk masalah ini. Kalian udah resmi nikah, sulit untuk menghindari malam pertama dan malam-malam selanjutnya." Zizi mengusap punggung Ay dengan lembut. Perlahan Ay mulai merasa tenang. "Coba aku browsing dulu, mungkin ada ide brilian dari om Google." Zizi kembali ke tempat duduknya, mengambil ponsel dari dalam clutch-nya, lantas mulai berselancar. Dan beberapa saat kemudian, Zizi mesem-mesem sambil terkikik sendiri. "Nah, ini ide paling keren untuk saat ini!" serunya sambil menjentikkan jari. Bersambung… ======= Wohoooo... bakal diapain yah itu si Marcell? Makasih masi setia mengikuti... Nantikan kelanjutannya... Semoga suka dan menghibur...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN