Luka Dalam Diam

1116 Kata
Bab 2 "Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembilan, cukup." Gadis itu tersenyum dan melempar sisa lembaran berwarna biru itu ke pangkuan Lisna dan berlalu pergi. Lisna di buat bingung dengan semua adegan yang sedang ia tonton. Sungguh ia tak paham semua itu. Mengembun sudah mata Lisna, ia meremas sisa-sia lembaran itu dan memegang tangan suaminya yang duduk di sampingnya, lalu menyerahkan semua uang itu padanya. "Ambil semua mas, sepertinya aku tak membutuhkannya." kata Lisna berlalu meninggalkannya. Ia berdiri dan melangkah keluar tanpa menghiraukan lagi yang terjadi. Namun ia penasaran dengan sikap suaminya, ia menghentikan langkahnya dan melirik ke arah suaminya. Sungguh ia terkejut, Danar mengambil lembaran-lembaran itu. Merapikan lalu memasukkan ke dalam dompetnya. Lisna menggelengkan kepalanya, mengelus dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Sungguh ia merasa semua di luar nalarnya. Jauh dari apa yang ia bayangkan, bahkan ia tak pernah sedikit pun tahu ada hal seperti itu. Lisna melanjutkan langkahnya menjauh dari mereka yang sedang sibuk menghitung hitung bagian mereka masing-masing. Ia memilih berjalan kaki pulang ke gubuk yang ia tempati bersama suaminya. Sesekali ia menatap ke belakang, berharap ada sosok suaminya mengejar langkahnya. Namun getir, sungguh semakin terasa perih menusuk relung hatinya. Di bawah terik ia terus melangkah, ia berharap segera sampai. Lima belas menit berjalan, akhirnya Lisna sampai ke tempat tujuan. Lalu ia membuka pintu dan menuju ruang tengah yang terdapat meja kecil di mana ia meletakkan teko berisi air minum dan beberapa gelas di atas nampan kecil. Berjalan di tengah terik membuat tenggorokannya terasa kering. Lalu ia menuang segelas air dan menenggakknya hingga habis tak bersisa. Sejuk menjalar ke dalam dadanya, sedikit mendinginkan perasaannya. Namun perjalanan dengan perasaan tak menentu sungguh membuatnya lelah. Ia masuk ke dalam bilik kecil yang terdapat di gubuk itu, bilik tempat ia dan suaminya beristirahat. Lisna merebahkan diri ke atas balai yang hanya beralaskan bambu tanpa tikar. "Huft, Keras juga ini bambu. Sekeras Hati mereka. Ah, bukan keras lagi kalo mereka, Atau malah membatu. Ya salam, kenapa begini? Sepertinya aku benar-benar salah melangkah.” Gumam Lisna lirih. Perih itu kembali menjalar dalam d**a, tanpa terasa matanya sudah basah berlinang air mata. Angannya menerawang jauh, terbayang semua perjalanan kisahnya "Kenapa tak kuhiraukan mereka yg pernah menasehati ku dulu. Yaa Robb,,, bisakah ku ulang waktu." Bathinku lirih. ** Malam mulai merayap, tapi pak suami belum terlihat datang untuk pulang. Atau dia pun lupa bahwa sekarang sudah beristri?? Rasanya ingin berteriak. Tapi ini ditengah hutan. Yg ada tetangga jauh disana mengira aku setan. Huaaaaaaaaaaa.... ** Pagipun menjelang, Lisna terbangun saat adzan subuh menggema. Setelah melaksanakan kewajiban, Lisna menyibukkan diri untuk murotal. Rasanya malas untuk bergelut dengan wajan dkk. Tak berselera, ah biarlaaah.. toh dia punya uang. Biar saja dia mencari sarapan dan makan siangnya sendiri, batin Lisna bermonolog. Tak terasa sudah beranjak itu matahari. Terasa hangat saat sinarnya mengintip diantara celah dinding geribik bambu yg Lisna tinggali. “Maa syaaAlloh.. nikmat mana lagi yg ku dustakan” gumam Lisna tersenyum simpul menenangkan hatinya sendiri. Lisna beringsut dari tempat duduk dan mengambil handuk bersiap mandi dan pergi ke kantor. Tinggalkan urusan tak penting digubuk ini. Setelah siap, Lisna me lirik balai bambu yg ia gunakan untuk tidur. Ada sosok yang semalan ia nantikan kehadirannya. Bahkan lisna tidak tahu kapan suaminya itu kembali ke gubuk itu. "Hmmmm... Biarlah.. terserah hidupmu mau bagaimana. Aku bisa sendiri" gumam Lisna melangkah keluar. Setelah menunggu beberapa menit ada angkot yg lewat. Lisna menghentikan angkot itu dan pergi. Sampai dikantor Lisna membuka pintu dan mulai beraktifitas menghilangkan penat. Satu persatu teman yg lain pun hadir. "Pagi mbaa.. duuuh pengantin baru berangkatnya pagi banget.. GK tidur apa semalem.. tuh mata sampai bengkak gitu" sapa Rahmah teman satu kantorku meledek Lisna yang matanya sembab karena menangis semalaman. "Saking lelapnya malah.. makanya bangunya kepagian. Hahahaa" jawab Lisna dengan senyum terlebar. "Diiiiiih... Yg pengantin baruuu.... Aromanya wangi gini. Eh salah... Aroma bawang yaa.. kan masak buat suami tercinta" si Hadi ikut nimbrung. "Hahahaa... Ra Kober masak pak (GK Sempet masak pak). Orangnya aja masih merem waktu aku pergi. Kalo laper nti bangun Yo Ben cari makan sendiri" jawab Lisna ringan. "Ih GK sopan mba, pengantin baru mah mesra-mesraan gituu.. males ngapa-ngapaim maunya berdua dikamar Mulu ama suami" Rahmah masih meledek jg. "Hadooooooh.... Ada tema lain GK yg bis dibahas pemirsa.. " kata Lisna berkacak pinggang. "Hahahaaaaa... Jo nesuh mbaaaa.... Marai cepet tuek (jangan marah mba, bikin cepet tua) " si Hadi duduk dibangkunya dengan segelas kopi dari pantry. Dan kami melanjutkan aktifitas kantor seperti biasa. Lisna yg menjabat sebagai staff administrasi. Sibuk dengan tumpukan kertas yg sempat terbengkalai karna di tinggal cuti menikah sepekan yg lalu. "Alhamdulillaah.. beres jg". Lisna melirik arloji yg melingkar dilengan kirinya sudah menunjukan pukul 16:15. Selalu tersenyum jika menatap arloji yang setia menemani kemana pun ia beraktifitas. Arloji kesayangannya, benda yang tak pernah lepas dari pergelangan tangan kirinya itu. "sudah sore saja. Rasanya enggan mau pulang" gumam Lisna lirih. " Mbak mau bareng GK? Kebetulan aku mau lewat arah rumah mbak Lisna nih" Rahmah menawari tumpangan. "Eh boleeeeh" Lisna beranjak dari kursi malasnya, ia meraih tas dan keluar lalu mengunci pintu. "Tapi aku rasanya GK pingin balik kerumah Lo mah. Yuk makan mi dulu" kata Lisna menepuk pu dak Rahmah ketika melewati gerobak mi ayam di pinggir jalan. Rahmah pun membelokkan motornya ke depan gerobak mi ayam yang di tunjuk Lisna. Mereka pun turun dan mencari bangku koaong yang di siapkan penjual mi ayam tersebut. "Emang mas Danar enggak dirumah mba?" Tanya Rahmah menyelidik. "Ada, enggak tahu males Saja balik" jawab Lisna pelan. Rahmah menangkap kecurigaan dengan sikap sahabatnya itu. "Lagian kenapa enggak ngontrak saja si Mba. Apa tinggal dulu sama mama atau mertua gitu. Kok Yo tinggal ditengah kebon begitu. Habis nanti kamu dimakan nyamuk mbaa.. hihihi" Rahmah nerocos tanpa jeda. "Besok lah aku tak cari kontrakan" jawab Lisna lirih tanpa ekspresi dari candaan Rahmah. “iyalah, mas Danar kan gajinya besar, masa iya tinggal di gubuk begitu, mana di tengah hutan pula. Nasibmu mbak.” kata Rahmah lagi. Lisna mencebik mengingat kisah cinta sahabatnya itu. Mengapa begitu malang, setelah menemukan sosok yang pas di hati, tiba-tiba pergi begitu saja. Kini menikah dengan orang yang sepertinya menyayangi Lisna, tapi entah apa kabar pernikahannya yang baru seumur jagung tapi keadaan menyatakan tidak baik-baik saja. Pesanan datang, mereka pun hendak menikmatinya. Tiba-tiba ada yang mengagetkan mereka dengan suara lantang. “Mbak Lisna! Ngapain di sini, pulang kerja itu langsung pulang. Bukan kelayapan enggak jellas. Ingat sudah punya laki juga, dasar!” Rahmah dan Lisna serta beberapa pengunjung menatap ke sumber suara. Sebagian orang berbisik-bisik, sebagian lagi tak acuh dengan keberadaannya. "Kamu?” Lisna terperanjat mendapati sosok yang berdiri di depan gerobak mi ayam dan masih duduk manis di atas jok motor melipat tangan menatapnya sinis. ****Bersambung****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN