Prolog

511 Kata
Tidak ada yang lebih mencekam dari hari itu. Semesta seolah sedang berkonspirasi, memberikan kesakitan, menaburkan butiran air yang terperangkap dalam sesuatu yang bernama halimun. Tidak ada yang lebih menyedihkan dalam hidup Intan selain hari ini. Namun, dia terlanjur bodoh dan meyakini bahwa cinta itu berarti membiarkan dia yang dicinta meraih kebahagiaannya. Tangan Alif gemetar, lelaki itu melihat Intan tersenyum, senyum yang benar-benar terlihat pahit. Lantas Intan menyerahkan sebuah cincin yang sebelumnya dia lepaskan dari jari manisnya. Alif nyaris bahagia menerima benda itu, tetapi kenapa dia gemetaran. Bukankah jika bahagia seharusnya bersorak? Tertawa? "Terima kasih." Alif mengucapkan kata itu tanpa belas kasihan. Lagi-lagi Intan hanya menanggapi dengan senyum, tapi ada luka saat Alif mengucapkan kata terima kasih, luka di matanya, luka di senyumnya. Dia terlihat begitu pucat, wajahnya nyaris seputih kapas. Setegar apa pun perempuan bernama Intan, tidak dapat disembunyikan kepedihan dalam dirinya. Air mata itu terus berderai. "Berjanjilah untuk selalu bahagia, Berjanjilah untuk tidak menangis lagi," kata Alif seraya menggenggam sebelah tangan Intan. Air mata perempuan itu tumpah banyak sekali, bibirnya bergetar sesaat kemudian tangisnya menjadi semakin kencang. Alif ingin sekali memeluknya. Namun, dia mengurungkannya karena itu hanya akan membuat Intan terluka lebih dalam lagi. Alif hanya menunduk, menyembunyikan air mata yang juga mulai berjatuhan. Air mata apa? Sedih? Bahagia? Atau sekadar terbawa perasaan melihat seorang perempuan menangis di depannya. "Tidak bisakah kamu pertimbangkan lagi, Lif, demi dia," pinta Intan, tangannya yang lemah menyentuh perut rata tempat bersemayam janin mereka. Alif mendekat, tidak terpikir sedikit pun untuk mengelus perut itu sebagai mana suami mengelus perut istrinya karena bahagia. Yang lelaki itu lakukan hanya menghapus air mata yang meleleh di pipi Intan, lalu mengecup mata itu bergantian, dan pergi tanpa melihat ke arahnya lagi. Sudah untung dirinya tidak menyuruh Intan untuk menggugurkan anak yang dia kandung. Hati Alif, entah harus merasa senang atau sedih. Alif yang menginginkan ini, Alif yang memaksanya, hingga hal ini benar benar terjadi. Perceraian. Alif sudah bertekad, dia tidak akan melihat ke belakang, masa depan cerah sedang menanti dirinya. Cita-cita dan impian yang selama ini dia simpan rapi kini akan segera terwujud. Tangisan itu, tangisan yang lebih mirip seperti sebuah ratapan akan menjadi pengantar kesuksesan seorang Alif Akbar. Persetan dengan pendapat orang tentang seberapa berengseknya Alif karena tega meninggalkan seorang istri yang tengah hamil muda. Ada yang lebih penting dari itu. Mungkin ini juga menjadi sebuah karma untuk Intan karena Perempuan yang kini tengah menangis itu membuat Alif meninggalkan ibunya demi menikahi dia. Alif berpikir saatnya kembali kepada wanita yang telah mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk membesarkan dirinya. Tangisan itu tidak terdengar lagi, tentu saja karena Alif sudah jauh meninggalkan Kediaman Intan, menapaki jalanan meninggalkan masa lalu. Meninggalkan Intan, juga sosok janin yang enggan dia ketahui. Alif tidak pernah mengharapkan keberadaannya. Persetan dengan cinta. Cinta hanya terus memberinya luka. Serupa air di lautan yang menggelitik kakinya kala berjalan di tepi pantai. Serupa taburan garam yang terus-terusan membuat pedih luka yang tak berdarah. Selamat datang hidupku yang baru. Selamat datang mimpi-mimpi baru. Alif merasa tidak perlu mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu. Alasannya karena Alif tidak pernah meninggalkannya, tetapi membuangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN