Kehidupan yang sudah Alif idam-idamkan sejak dulu nyatanya tidak seindah matahari saat pagi. Dia mulai lelah, mulai bosan dengan kehidupan entertain yang penuh kepalsuan.
Hari sudah sangat larut. Namun pria itu masih berada di sebuah bandara internasional dengan kopernya yang berwarna silver. Dia tidak sendiri, ada setidaknya delapan orang ditambah manager serta MUA.
Dia berada di Manila. Perjalanan kali ini merupakan fans meeting terakhir dalam rangka tour Asia. Dahulu, memiliki banyak fans merupakan impian tertinggi seorang Alif. Namun kini, fans laksana lebah. Mereka berdengung dan siap menyengat menebarkan racun.
Lihat saja, bahkan malam telah mencapai puncaknya. Tetapi fans-fans yang mengendus kedatangan mereka sudah tersebar di bandara. Mereka lebih parah paparazzi. Jepret sana, jepret sini, membuat langkah ke delapan manusia yang rupawan itu tidak bebas melangkah.
Setelah pemeriksaan imigrasi selesai Alif sudah ditunggu mini bus menuju sebuah hotel. Dia memejamkan mata sejenak. Berusaha mengubur penat setelah melakukan perjalanan panjang ke berbagai negara di Asia.
Bagi Alif dan ketujuh temannya tidur ketika berada dalam mini bus menuju tempat-tempat yang mereka tuju adalah sebuah hadiah tidak ternilai.
"Are you Ok, Bro?" tanya sang manager. Alif hanya mengangguk, dia berusaha memejamkan mata, tetapi sulit.
"Semangat, kontrak baru menanti kita."
"Saya gak lanjut, sudah waktunya saya pulang." Alif tiba-tiba mengambil keputusan.
"Jangan bercanda, Babe," tegur Milly satu-satunya teman yang berasal dari Indonesia. Dia adalah perempuan dengan tinggi badan yang menjulang.
"Jangan membuat lelucon aneh, Lif." kali ini sang manager yang menegur. Bahasa Inggrisnya agak aneh mengingat dia adalah perempuan keibuan kewarganegaraan Thailand.
"Alif tidak pernah bercanda. Tidak pernah main-main saat mengambil keputusan." Lalu hening. Suasana dalam mobil mendadak sepi, sesunyi malam ditingkahi dengan pekatnya gulita.
Sesampainya di hotel dia merebahkan diri. Keputusannya untuk menjadikan tour ini yang terakhir sudah tersebar ke seluruh management. Mereka menyayangkan mengingat Alif adalah model sekaligus aktor yang multi talenta.
Dia merindukan Indonesia. Merindukan dinginnya kota Garut terlebih dia merindukan seorang perempuan dengan matanya yang Indah. Dia juga penasaran, seperti apa rupa bayi perempuan yang merupakan darah dagingnya.
Teriakan para gadis bergema keesokan harinya. Mereka membawa poster, aksesoris, lightstick dan berbagai perangkat lain. Jeritan-jeritan yang selalu dia dengar saat fans meeting. Jeritan yang menjadi sebuah tanda bahwa dia harus tetap tersenyum dihadapan mereka. Tidak peduli bagaimana suasana hatinya saat itu.
Kemudian para idol dipaksa bermain game. Pura-pura bahagia, pura-pura tertawa. Setidaknya itulah yang Alif rasakan setelah popularitas mengangkat kedudukannya.
Kebanyakan dia selalu merasa hampa. Kesepian ditengah keramaian.
"Alif, kami dengar kamu terlibat cinta lokasi dengan Milly, benarkah itu?" salah satu fans bertanya pada Alif.
Dengan senyum yang dipaksakan Alif menjawab pertanyaan fans, "Tentu saja tidak, Milly terlihat lebih serasi dengan Mike, bukan begitu Mike?"
Hingga tiba di penghujung hari acara telah selesai. Alif pulang. Iming-iming kontrak dengan nilai tiga kali lipat dari kontrak sebelumnya benar-benar dia tolak.
Lagi-lagi dia berada di Bandara Internasional. Bedanya bandara Internasional Soekarno Hatta ini adalah bandara yang akan mengantarkannya kembali kepada kehidupan yang sebenarnya.
Selamat datang kembali di Indonesia, Alif Akbar. Semoga keputusan yang diambil adalah keputusan paling tepat yang kamu ambil.
***
Dulu, tempat yang dia pijak saat ini adalah sebuah kedai mie. Seorang pria tua keturunan China selalu menjual mie goreng seafood, kwetiaw goreng, nasi goreng ekstra petai juga nasi goreng kambing.
Beberapa Tahun Alif tinggalkan tempat itu berubah menjadi sebuah coffe shop. Tidak ada kios pinggir jalan yang selalu menguarkan aroma bawang. Tidak ada senyum tulus pria tua saat Intan memesan mie goreng untuk mereka santap.
Ah, bicara soal Intan, dia wanita nyentrik yang sedang mengajar di sebrang sana. Rambutnya di warnai, badannya lebih berisi, dan pipinya merah merona. Alif mengawasi wanita itu sambil sesekali menyesap kopi lokal yang dia pesan.
Ruko yang di cat dengan warna kuning membuat tempat itu terlihat terang. Intan Fashion, tempat di mana sang mantan istri melebur dengan dunianya.
Pengunjung cafe kebanyakan anak muda, beberapa di antaranya masih mengenakan seragam SMA. Untuk pertama kalinya dia merasakan kebebasan, dapat duduk lama-lama dalam sebuah cafe tanpa harus mengenakan masker serta kaca mata hitam. Ini Indonesia, pikirnya. Ini rumahnya, tidak ada fans gila yang akan menguntitnya kemana pun dia pergi.
Kepulangannya disambut antusias oleh sang ibu. Bahkan katanya wanita paruh baya itu akan mengadakan selametan. Potong tumpeng, dalam rangka menyambut kepulangan Alif. Lelaki itu sempat menolak, bahkan dia kesal hingga berkata, "sekalian aja mandiin pakai bunga tujuh rupa!"
"Maaf mas, punten, ini kayak artis yang main series di Thailand, Alif bukan, ya?" tanya seorang gadis berseragam putih, mulai dari kerudung hingga sepatu berwarna putih. Sekilas Alif melirik badgenya, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan.
Alif mendengkus, ternyata ada yang mengenalinya. Tidak banyak orang Indonesia yang menyukai series Thailand, sebuah series yang memiliki durasi tayang yang panjang. Berbeda dengan drama Korea yang biasanya tayang dengan durasi satu jam. Itu pula menjadi alasan Indonesia dan Malaysia selalu jadi negara yang tidak dikunjungi saat tour Asia.
"Hah, bukan, Teh, saya orang Garut, orang Karangpawitan," elak Alif, perempuan itu nampak kecewa. Dia kembali ke mejanya dengan wajah tertekuk. Namun, sesekali gadis itu melirik ke arah Alif dengan menodongkan gawainya diam-diam. Mungkin dia memotretnya.
Alif kembali menyesap kopi. Java preanger begitu kata sang barista. Kopinya memang enak. Pertama kali Alif coba, rasa fruty sangat terasa dengan body yang tidak terlalu kuat sesuai dengan ciri khas kopi-kopi Indonesia.
Wanita yang Alif awasi dari tadi meninggalkan ruko. Dengan motor matic dia menyebrang jalanan yang lumayan padat dengan meliuk indah. Rukonya belum dia tutup, ada seorang pria muda yang menggantikannya mengajar. Ah, Intan sudah punya karyawan rupanya.
Sebut saja Alif pengecut, dia tidak punya keberanian untuk mendekati mantan istrinya. Mengingat bagaimana dulu dia meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil muda. Tangisannya selalu jadi mimpi buruk untuk Alif, dia tidak pantas dimaafkan.
Alif merindukan Intan. Dia juga begitu penasaran dan ingin bertemu dengan anaknya.
Perlahan mantan model dan aktor itu akan mencari celah, celah untuk kembali mendekati. Tidak peduli jika dia harus meminta ampun dan bersimpuh karena saat ini, Alif sudah menyadari kesalahan serta kekalahan.
Ada dua alasan kuat mengapa dia harus kembali lagi ke tempat ini esok hari. Pertama Intan, kedua kopi lezat racikan barista muda yang dari tadi dikelilingi mahasiswa berseragam putih.