Alif sedang menyesap kopi ketika melihat Intan dan dokter itu masuk ke area cafetaria klinik. Kopinya seketika terasa hambar. Padahal sebelumnya dia mengeluh kopi kemasan yang dia minum terlalu manis.
Sorot matanya yang tajam tertuju pada keduanya. Sang mantan istri terlihat bahagia bersama dokter itu. Senyumnya serupa dengan senyum yang Intan suguhkan untuknya dulu. Kala cinta keduanya tengah membara. Kini senyum itu bukan miliknya.
Alif kembali menyesap kopi, bahkan kali ini bisa dikatakan dia menenggaknya. Hingga ampasnya yang kasar terasa aneh di lidah. Hilang sudah kesempatan untuk mendapatkan kembali mantan istrinya itu. Pantaskah dia jika kini menyesal?
Diperparah dengan peristiwa yang menimpa Gia. Teringat dengan jelas kala Intan melemparkan satu pack biskuit gandum selai kacang yang dibawa Midah.
"Ini apa?" bentak Intan. "Sudah aku bilang jangan sembarangan bawa Gia jajan." Alief sungguh tidak mengenal Intan sekarang. Bidadari lemah yang dia pinang bertahun-tahun lalu kini menjadi seorang wonder woman.
"Maaf, Ntan. Aku janji hal ini tak akan terjadi lagi," janji Alif.
"Kalau sudah begini kan repot, kamu gak kasihan sama Gia? Belum lagi aku harus meninggalkan banyak urusan gara-gara ini." Intan terus saja menggerutu. Kalau saja Alif tahu dari awal jika Gia alergi pasti dia akan lebih berhati-hati.
Tawa beberapa orang perawat di sudut cafetaria membuyarkan lamunan Alif. Dia melirik ke arah meja Intan. Kosong, keduanya sudah tidak ada di sana.
Alif harus mencari tahu, sejauh apa hubungan Intan dan dokter Niko.
***
"Assalamualaikum, Gia sayang," sapa dokter Niko ketika Alif, Intan serta Gia memasuki ruang praktik dokter.
Tiga minggu berlalu sejak Gia dirawat, kini Alif mengantar Gia untuk chek up terakhir. Kilatan mata Intan begitu hidup kala bersitatap dengan dokter Niko.
Alif cemburu. Alif merasa kalah, dia begitu geram kala sang dokter mengerling dan memberikan senyum yang menggoda. Dia merasa serupa debu, tak terlihat tetapi mengganggu.
Akhirnya dia mendekati putrinya, membantu gadis mungil itu untuk berbaring di ranjang pemeriksaan. Sebelum beranjak menjauh dia kecup puncak kepala Gia. Lagi-lagi, aroma Intan menguar kala dia mencium rambut Gia yang lembut.
Interaksi Intan dan dokter Niko membuat wajahnya panas, hati Alif tercabik merasakan perasaan ini. Cemburu buta.
"Niat bener, ya nyogok anak orang pakai mainan," ejek Alif. Saking kesalnya dia refleks berkata demikian.
Jelas hal itu memancing emosi Intan. Janda cantiknya menginjak kaki Alif dengan kencang. Rasanya sakit, ditambah harga diri sebagai seorang ayah dipertaruhkan di sini.
"Kamu apa-apaan sih, Lif, bicaramu itu kayak orang yang gak pernah sekolah," maki Intan ketika mereka sedang antre di apotek.
"Maaf, Ntan." Alif sebenarnya menyesal juga melakukan hal tadi, sindir-sindir dokter Niko. Tapi baginya tetap saja, yang seharusnya memberi adalah dirinya, selaku seorang ayah. Bukan orang lain.
"Basi!" Intan mengambil jarak, dia beringsut menjauh seraya mengeluarkan gawai dari kantongnya.
"Ayah, mainannya bagus, ya," ucap Gia. Satu set mainan pemberian dokter Niko Gia acungkan dengan bangga.
"Nanti ayah belikan yang lebih bagus," janji Alif. Lantas Gia bersorak bahagia.
Alif merasakan keteduhan kala melihat kebahagiaan Gia. Sudah sepatutnya dia yang memberikan kebahagiaan buat bidadari kecil bermata bulat itu, bukan orang lain, bukan dokter Niko yang selalu berusaha mendekati Intan.
"Atas nama Gianara," panggil seorang petugas di apotek.
Intan beranjak, setengah berlari. Dia meninggalkan gawai yang masih menyala di sofa ruang tunggu.
"Kamu masih sama, Ntan. Ceroboh," desah Alif kemudian mengambil benda itu.
Awalnya Alif membawa gawai Intan hanya karena membantu menyimpannya. Khawatir hilang karena berada di tempat umum yang ramai.
Namun pesan yang Intan kirim untuk seseorang yang diberi nama My Niko membuatnya tercabik.
[Tidak usah cemburu, gantengnya ilang entar!]
Terlambat ku sadari kau teramat berarti ....
Alif menatap punggung Intan, tidak ada lagi kesempatan untuk merapatkan tubuhnya, menghidu tengkuknya yang memabukan.
Terlambat tuk kembali dan untuk menanti kesempatan kedua ....
Tidak ada lagi kesempatan membelai rambutnya yang kini berwarna abu sekelabu langit di hati Alif.
Semua salahnya, semua karena kebodohannya.
Sekalipun rasanya menyiksa, laksana menyentuh keindahan mawar, harus rela tertusuk duri.
Hanya pada Tuhan dia mampu berharap, semoga ada jalan untuk kembali bersama. Selamanya.
Alif tiba-tiba kesal sama lagu yang mengalun dari salah satu ponsel keluarga pasien di ruangan tunggu tersebut. Sampai akhirnya dia mendesah lega kala Intan selesai dengan urusannya di apotek.
***
Hari sudah beranjak siang. Namun, kamar dengan ukuran empat kali lima meter itu masih terlihat gelap. Pantas saja, tirainya masih tertutup. Sang pemilik kamar masih bergelung di atas tempat tidur.
Berkali-kali alarm berbunyi nyaring, tetapi pria itu bergeming. Malah menutup kepalanya dengan bantal. Dia merasa sangat malas. Tidak ada semangat sedikit pun. Lelaki itu merasa kepulangannya sia-sia. Kehidupannya tidak lebih baik dari kehidupannya di Thailand.
Kesepian masih saja terus mencekiknya. Hatinya teramat sangat kosong dan sakit. Hanya saja sosok Gianara dapat menjadi pelipur lara serta kekuatan untuk bertahan lebih lama lagi.
Setelah alarm berhenti berbunyi kini giliran suara ketukan pintu terdengar mengganggu. Alif kesal dengan kasar dia membuka pintu. "Ganggu aja!"
"Sudah jam 10 juga, bangun! Gak baik jam segini masih tidur, nanti rejekinya ...."
"Dipatuk ular?" potong Alif malas.
"Nah itu tahu, jalan, yuk!" Ajak pria seumuran Alif, namanya Putra. Dia sepupu sekaligus sahabatnya sejak kecil.
"Males ah, gue mau ke rumah Gia." Alif beranjak, kemudian membuka tirai serta jendela lebar-lebar. Lalu mengambil satu batang rokok dan menyulutnya.
"Cadas!" pekik Putra. "Baru juga berapa minggu lo udah dapet cewek baru."
"Ngapain cadas, cadasan?"
Alif mendekat kemudian menjitak kepala Putra. Lelaki berkemeja kotak-kotak itu mengaduh, dia mengusap-ngusap kepala yang terkena jitakan Alif.
"Gia anak gue, anaknya Intan," papar Alif. Mendengar pengakuan Alif, kontan Putra membelalakkan mata.
"Ngakunya sahabat, sama ponakan sendiri lo gak tau?" cibir Alif saat melihat reaksi Putra.
"Seriusan? Tante gak pernah cerita, lho."
"Lo kayak gak tahu nyokap aja, dia emang dari awal gak pernah setuju gue nikah sama Intan. Nyokap yang dorong gue sampai ambil pilihan buat berkarier di Thailand. Tujuannya satu, misahin gue sama Intan." Alif menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian mengembuskan asapnya yang pekat.
"Gue kira kalian gak punya anak. Sory Lif, kalau saja gue tahu, gue pasti gantiin lo buat jaga tu anak," sesal Putra. Kemudian Putra beranjak, tangannya tidak diam, dia merapikan meja.
"Intan wanita hebat. Dia masih mau nerima kedatangan gue meski pada awalnya doi marah banget. Kemarin gue abis nganterin mereka nonton sama belanja. Hati gue hangat, pertama kalinya dalam hidup Gue merasa jadi orang yang berguna," kenang Alif. Betapa membahagiakannya kegiatan kemarin.
"Rujuk aja udah, gue dukung Lo. Urusan tante nanti kita tangani bareng-bareng," usul Putra. Usai berurusan dengan meja Alif Pria itu membantu sang sepupu melipat selimut, dia selalu gatal jika melihat kamar berantakan.
"Ngomong-ngomong, ada urusan apa lo jauh-jauh datang ke Garut?" tanya Alif mengalihkan pembicaraan.
"Gue ada urusan dikit. Jawab loh, lo mau kan rujuk sama Intan?"
Alif membuang puntung rokok ke dalam asbak berbentuk kura-kura. Apinya dibiarkan menyala. Dia tidak peduli jika pada akhirnya kamar tidurnya terpapar asap rokok. Toh selama ini pun dia selalu merokok di dalam ruangan.
"Sudah gak ada lagi cinta yang tersisa buat gue, Put. Sudah ada orang lain," bisik Alif pilu. Putra hanya dapat menghibur sepupunya.
"Udah nikah lagi?" tanya Putra.
"Belum, sih, tapi .... "
"Hajar, boss, selama janur kuning belum nancep depan rumahnya," seloroh Putra dengan penuh semangat.
"Dulu gue nikah gak pake janur kuning," ungkap Alif sedih.
"Makanya ampe cere', " goda Putra.
Keduanya tertawa bersama. Berbicara mengenai lamaran buat Intan seperti bermain gambling.
Jika diterima dia akan merasa sanagat bahagia dan beruntung seperti habis menang saat berjudi. Namun dia akan habis dan porak poranda jika kali ini lamarannya tidak seindah lamaran dia dahulu.
Keesokan harinya Alif mengumpulkan seluruh keberaniaannya. Dia melangkah mantap, dengan membawa rombongan dia membawa sebuah cincin emas untuk melamar mantan istrinya. Sang Ibu hanya misuh-misuh tak jelas karena tidak setuju dengan rencana Alif.
Sebuah keputusan besar yang akan mengubah kehidupan Alif. Dan itu membuat dadanya bergemuruh. Kala Fortuner hitam miliknya memasuki pelataran rumah Intan dia sudah sepenuhnya siap. Siap dengan segala resiko yang akan dia terima.
Lamaran ini merupakan sebuah permulaan untuk memperbaiki segala kesalahan yang telah dia perbuat.
Semoga tergerak hati Intan untuk menerima dia kembali. Demi Gia, demi cinta Alif yang selalu membara.