Alif sebenarnya sudah tahu jika pada akhirnya lamaran dia akan ditolak. Hanya saja tidak ada salahnya mencoba menuruti usul Putra. Namanya juga gambling.
Dia harus menahan rasa sakit kala melihat sebuah cincin berkilauan indah melingkar di jari manis Intan. Cincin yang kemarin dia beli untuk melamar Intan lebih Indah sebetulnya, desainnya tidak sederhana, apalagi dengan harganya. Sayangnya seberapa Indahnya benda itu tetap bukan menjadi pilihan Intan.
Lagi-lagi Alif harus menelan kepahitan. Pahit karena kebodohan yang dia ciptakan atas dasar sebuah ambisi. Jika dapat dia menebak, Leila sang ibu akan kembali tertawa kemudian mencemooh. Untuk itu dia memilih melangkah mengikuti kata kaki, bukan kata hati.
Alif sudah jauh berjalan, betisnya terasa nyeri. Dia melihat derasnya arus sungai Cimanuk dari atas jembatan yang di pijak. Sekilas terlintas dalam pikirannya untuk melompat dan mengenyahkan kesedihannya bersama arus air. Tetapi wajah polos Gia terus saja menari di benaknya. Dia akan tumbuh tanpa ayah jika Alif dengan bodohnya menuruti bisikan setan.
"Kalau mau lompat jangan ragu-ragu, Om. Biar gak kerasa sakitnya." Seorang perempuan dengan balutan pakaian aneh. Celana jeans berwarna hitam yang lusuh dan robek di bagian lututnya. Rompi dengan logam-logam mengkilat di setiap pinggirannya dan topi berwarna merah marun yang menutupi kepalanya. Yang mengusik Alif adalah banyaknya tindikan di telinga, satu di hidung dan lidahnya.
"Saya gak akan lompat, hanya sedang melihat arus sungai," kilah Alif, dia menjaga jarak karena takut dengan perempuan itu.
"Gue gak bodoh kali, Om. Dari tadi gue liat, Om mondar mandir kayak orang mau modar." Perempuan aneh itu tergelak. Aroma tubuhnya membuat Alif sedikit mengernyit. Dia bau.
"Terserah!" Alif beranjak berjalan menjauh dari jembatan itu, sejujurnya dia takut dengan perempuan itu. Dia anak punk, Alif sering melihat gerombolan mereka sedang menyetop mobil pik up atau truk. Atau mengamen sambil bergelantungan di pintu angkot dengan mulut bau alkohol. Sebagian dari mereka menggenggam kaleng kecil, sebuah lem. Sesekali mereka menghirupnya, sepeti sedang menghirup harum mawar di taman.
"Ngapain ngikutin, hah?" tanya Alif gusar. Dia menghentikan langkahnya.
"Gak ngikutin, kebetulan arah kita sama." Perempuan itu berdiri santai, dia melihat kuku tangannya, kemudian menggigit dan membuang potongan kuku seperti seorang yang sedang meludah.
"Kalau gitu, silakan duluan."
"Ogah, nanti situ ngeliatin gue gitu dari belakang?" Ngeselin, Alif ingin sekali marah dan membentak perempuan menjijikan di hadapannya.
"Ngapain juga saya ngeliatin kamu?"
"Situ kan cowok, gue cewek. Bohong banget kalau gak nafsu ngeliatin b****g gue."
Alif geram, "siapa juga yang nafsu ngeliat perempuan seperti kamu?"
"Semua orang sama aja ternyata, cuma melihat orang lain dari bungkusnya." Perempuan itu melotot tajam, Alif bergidik ngeri. Kalau boleh memilih dia lebih baik bertemu dengan hantu jembatan Cimanuk atau kuntilanak sekalian, mereka bisa kabur ketika Alif merapalkan ayat kursi dan doa-doa yang dia hapal. Tetapi ini, perempuan ini lebih mengerikan dan Alif tidak tahu harus mengusir sosok itu dengan apa.
"Sori." Dia tidak mau terlibat terlalu jauh dengan perempuan itu, dia buru-buru menyeret langkahnya. Mencari tempat yang agak ramai sebelum memesan taksi online melalui aplikasi dalam gawainya.
"Ah ... Akhirnya," desah Alif ketika mengempaskan punggungnya di jok depan samping sopir.
"Maaf, Pak. Saya lama jemputnya," ucap sopir tulus.
"Justru Bapak cepet dan saya merasa sangat tertolong, terima kasih, Pak." Sopir taksi Online itu tersenyum lembut.
"Bapak seperti sedang ketakutan, tidak ada masalah, kan pak?"
"Tadi saya diikuti anak punk, Pak. Dia perempuan, cuma mengerikan dan maaf agak bau." Sang sopir tergelak mendengar penjelasan Alif.
"Rambutnya panjang pakai topi merah bukan, Pak?" tanya sopir itu.
"Iya, Bapak kok tahu, pernah diikuti juga?"
Lagi-lagi sopir itu tertawa, "Bapak beruntung, sebetulnya gadis itu sedang melindungi Bapak dari bahaya. Namanya Mumtaz, dia sering banget nolongin orang-orang yang hendak di ganggu oleh gerombolan anak Punk lainnya."
"Kok bisa? mana mungkin saya ada yang ganggu, tadi dari arah jembatan sampe supermarket itu saya gak liat ada yang lain."
"Mumtaz bukan anak punk biasa. Dia bisa mengendalikan anak-anak punk di jalanan ini. Anggap aja dia penguasa jadi mungkin anak-anak yang mau gangguin Bapak pada ngumpet gak keluar."
Alif mengangguk pura-pura peduli, sebagai rasa hormat kepada sopir yang usianya lebih tua dari dirinya. Mata sembabnya kemudian tertuju pada gawai yang baru saja dia rogoh dari kantong celana, rasa sakit yang sempat dia lupakan kini seperti luka yang di garami. Perih. Saat dia melihat status WA terbaru Intan. Foto jemari dengan cincin pertunangannya dengan caption, Merindukanmu.
Tak ada yang tersisa, Intan bukan lagi menjadi miliknya. Tak ada harapan, ambisi telah menelan semuanya. Rasa sakitnya tidak dapat dia gantikan dengan apa pun. Dan itu sepadan dengan apa yang telah Alif lakukan di masa lalu.
Udara pagi lebih panas beberapa derajat dari biasanya. Alif yang selalu mengubur diri di bawah selimut tebal kini memilih berbaring tanpa menutup tubuhnya.
Bulir keringat membasahi pelipis hingga leher. Kipas angin yang berputar menemani sepanjang malam tidak memberikan efek sejuk.
"Lif, sudah siang. Kamu gak bangun?" ujar Leila, melihat putranya patah hati perempuan itu sedikit menurunkan ego.
"Males, Bu," gumam Alif.
"Masih mikirin mantanmu?" tanya Leila khawatir.
"Memang Ibu peduli?" sindir Alif.
"Kalau kamu lupa, Ibu yang ngandung kamu hampir sepuluh bulan. Ibu yang brojolin kamu, nyebokin, nyuapin, Ibu rela ngelakuin apa aja demi kamu. Sudah pasti Ibu peduli, bahkan lebih dari yang kamu tahu, Lif," lirih Leila. Perempuan yang sudah tidak muda lagi itu menyeka pipinya.
"Kalau Ibu peduli semua ini gak akan terjadi, Bu. Kalau saja Ibu peduli Alif akan bahagia bersama mereka."
"Lif ...."
"Sudahlah, Bu. Maafin Alif, dalam waktu dekat ini Alif bakal balik lagi ke Thailand. Alif gak sanggup menjalani hidup dekat-dekat dengan Intan. Asal Ibu tahu, rasanya sakit."
Leila mematung, baru saja dia bahagia karena putranya pulang kini harus menerima kenyataan Alif kembali pergi. Melarikan diri dari kota kecil ini.
Alif beranjak, dia menyambar sebuah handuk yang terlipat rapi dekat lemari. Lantas dia seret langkahnya menuju kamar mandi.
Selesai mandi Alif mendapati Putra duduk manis depan meja. Sepupunya itu sudah berpakaian rapi. Koper yang tergeletak di bawah sofa menandakan bahwa kunjungan sang sepupu sudah habis. Dalam diam, Alif, Leila dan Purta menyantap masing-masing seporsi nasi kuning buatan asisten rumah tangga mereka.
"Tante, Putra pamit, ya. Terima kasih tumpangannya," pamit Putra. Alif yang dari tadi menunduk kini mengangkat wajahnya. Senyum aneh dia lihat dari Putra. Patah hati membuatnya lupa, ada sesuatu yang ingin Putra sampaikan kepadanya.
"Lho, kok buru-buru, Put?" tanya Leila.
"Aku harus pergi ke suatu tempat, Tante," jawab Putra.
"Gue anter ya, Put," tawar Alif. Putra tersenyum kemudian menggeleng sebagai tanda penolakan.
"Gak apa-apa. Sekalian Gue mau ke Bandung."
???
Keluar dari pelataran rumah Alif dikagetkan dengan kehadiran perempuan yang dia takuti. Topi merah marun terlihat begitu kumal menutupi rambutnya yang kemerahan. Satu hal yang berubah, Alif tidak menghidu aroma yang tidak sedap darinya. Sepertinya dia mandi.
Perempuan itu menyeringai, membuat Alif bergidik. Aneh, kenapa orang itu bisa tahu rumah Alif.
"Gue tau dari Bapak sopir taksi Online tempo hari, Om," kata perempuan itu seolah-olah dapat membaca apa yang Alif pikirkan.
"Ada perlu apa?" tanya Alif sinis.
"Kangen," tegasnya.
Alif hampir saja mengarahkan kepalan tangannya ke wajah perempuan itu. Namun Putra datang melerai. Setelah berbicara sebentar dengan Putra perempuan itu pergi.
"Urusan kita belum selesai, Om. Nanti gue balik lagi."
"Sialan!" umpat Alif.
Perjalanan menuju kota Bandung hening. Alif fokus nyetir sedangkan Putra fokus dengan gawainya. Beberapa kali Putra membuka mulut hendak mengutarakan sesuatu. Namun dia selalu mengurungkan niat ketika melihat seraut wajah Alif yang terlihat menyedihkan.
Namun, Alif menyadari hal itu, sehingga dia bertanya, "ada apa, Put?"
Putra tertawa, tetapi dalam sekejap raut wajahnya berubah sendu. "Gue datengin lo karena gue lagi patah hati. Gak taunya orang yang gue temui lebih patah hati."
"Gak usah ngeledek, lo," tukas Alif.
"Serius. Awalnya gue merasa jadi orang yang paling menderita. Ditinggal seseorang yang gue cinta. Ternyata lo lebih parah."
"Iya, sudah gak ada harapan. Lo liat sendiri, kan, wajah Intan ketika memperlihatkan cincin tunangannya?"
Putra mengangguk. Lalu dia melontarkan kalimat penghibur agar sepupunya tidak sedih lagi. Tidak lupa menceritakan kisah sedihnya ditinggal seseorang entah kemana.
"Ngomong-ngomong, sejak kapan lo bergaul sama anak punk?"
"Gila aja! Lo kasih apa tadi sampe tuh cewek pergi?" tanya Alif geram. Bisa-bisanya anak punk itu mengikuti dia sampai ke rumah.
"Nomor telepon lo," jawab Putra santai.
Alif terkejut. Bisa-bisanya Putra bertindak gegabah. Jika tidak sayang nyawa, saat itu juga dia ingin menabrakan mobil yang dikemudikan pada tebing di sepanjang jalan Lingkar Nagreg.