BAB 8: KEPERCAYAAN

1760 Kata
Ini adalah cuplikan "The Soul Keeper" karya Kireisky. Mampir, ya. Ada di Dreame kok. Tinggal ketik judulnya, pasti dapat. Kuy, baca buat yang suka cerita fantasi yang seru! ===== ===== ===== ===== Mohon maaf, Hygea lagi kurang enak badan sehingga belum sempat nulis lagi. Doakaan ya biar aku bisa lanjutkan kisah Ery dkk. Malam, guys. Ada satu protokol umum tentang teleportasi. Bahwasanya, Luxa tidak boleh melakukan space contaminantion atau cemaran ruang. Space contaminantion didefinisikan sebagai segala hal yang melanggar aturan limitasi ruang di dimensi ketiga. Sederhananya bisa dikatakan segala sesuatu terkait ruang dan dimensi yang tidak diterima akal manusia. Ruang dan waktu adalah kontinuitas terbatas untuk dimensi mortal. Terdapat tiga limitasi paling umum untuk aturan ruang di dunia manusia. Batasan pertama, tidak ada materi yang mampu berada pada dua koordinat berlainan dalam satu waktu. Batasan kedua, materi membutuhkan periode waktu tertentu dan konstan--yang selanjutnya disebut dengan kecepatan--untuk melintasi ruang. Batasan ketiga, segala pergerakan yang terjadi dari titik awal hingga titik akhirnya tidak boleh bertentangan dengan batasan pertama dan kedua. Space contamination terjadi apabila ada satu dari ketiga batasan tersebut yang tidak terpenuhi. Kesalahan yang paling sering dilakukan para Luxa adalah melakukan teleportasi tidak pada tempat yang tepat, yang kemudian terlihat atau terekam teknologi manusia dan menjadi suatu "kejanggalan". Teleportasi memindahkan substansi tanpa memerlukan waktu, sehingga akan mengakibatkan suatu materi "tampak" berada dalam dua ruang yang berbeda dalam satu masa. Hal ini melawan batasan ruang yang pertama dan kedua. Kemunculan suatu materi secara tiba-tiba tanpa diawali titik awal pergerakan juga akan mengejutkan manusia dan melanggar batasan yang ketiga. Hari ini Zen mengunjungi fakultas tempatnya bertabrakan dengan manusia bernama Dheryza Akselia--yang mengawali semua perkaranya--dalam wujud roh. Selain karena ingin menghindari interferensi pada sensornya, Zen juga mewanti-wanti keadaan yang mengharuskannya berteleportasi secara spontan. Lagipula, manusia yang satu ini memiliki kemampuan khusus untuk berinteraksi dengan Luxa. Meski Reva dan Rava masih meragukan. Zen mengerdarkan padangan ke pelataran kampus yang belum ramai aktivitas. Ia memilih duduk di salah satu bangku dan menatap ke layar digital yang dipasang di lobi. Seorang lelaki tampan penuh kharisma selaku dekan fakultas memberi sambutan di sana. "Pemimpin fakultas ini masih muda." Zen bergumam. Jauh berbeda dengan ketua jurusannya di kelas Pendidikan Kematian dulu. Ah, Zen mungkin lupa mengatakan ini, tetapi Luxa juga tumbuh dan berkembang. Zen mengalihkan perhatian ke ponselnya dan membuka sebuah aplikasi yang diberikan Reva dan Rava. Kamus Besar Bahasa Manusia. Reva dan Rava bersaudara merupakan lulusan jurusan Human Language and Literature. Mereka memiliki kemampuan memahami berbagai bahasa dan dialek dengan cepat, yang mendukung perannya sebagai informan. Zen bahkan pernah mendapati keduanya melakukan wawancara terbuka dengan kucing jalanan. Ini memang bukan kali pertama Zen berbicara dengan manusia. Zen pernah berbicara dengan pemilik warung, penjaga kafe, juga penjual cilok yang nangkring di pinggir lapangan, namun komunikasi mereka hanya sebatas transaksi jual beli. Bahasa manusia yang sebenarnya sangat pelik. Dan di antara 195 negara di dunia, Indonesia adalah negara dengan bahasa yang teramat sulit dipelajari. Bukan karena ribuan bahasa dearah atau kosa-katanya yang rumit, tetapi karena manusia di dalamnya yang gemar membuat bahasa alay yang katanya bahasa gaul. Bayangkan saja, ada berbagai jenis kata baru yang muncul tiap hari dengan perluasan dan penyempitan makna yang berbeda-beda. Tak heran dari semua pelajaran umum, Zen mendapat nilai paling rendah pada materi penguasaan bahasa alay orang Indonesia. Zen paling tidak mengerti dengan kebiasaan orang di negara ini yang seringkali mengubah penyebutan suatu kata dengan alasan untuk "memperhalus makna". Contohnya saja kata "anjir", "anjrit", dan "a***y" yang berakar dari satu kata yang sama--untuk mengumpat. Mungkin itu sejenis bahasa satire dan terdengar lebih halus dari pada kata asal. Tetapi ketahuilah wahai manusia Indonesia yang gemar menggunakan bahasa alay, sepanjang niat dan tujuannya sama, sehalus apapun bahasanya, tidak akan mengubah penilaian malaikat pencatat amal buruk. Timbangan dosanya tetap sama. Maka dari itu, Zen menerima dengan senang hati aplikasi pemberian Reva dan Rava yang memuat definisi, daftar istilah dan singkatan, serta segenap bahasa alay manusia di dalamnya. Aplikasi tersebut dibuat oleh sejarawan dan pakar bahasa yang tersohor di dunia Medieter. Zen lupa namanya siapa. Ketika salah satu kronograf pada horolog Zen menunjukkan pukul 7 lewat, seorang perempuan memasuki lobi fakultas. Dialah Dheryza Akselia yang ditungginya sedari tadi. Zen lekas berdiri, dipandanginya gadis yang tampak buru-buru sambil mengaduk isi tas tersebut. "Ya, kakek? Apa? Dua orang yang kemarin? Katakan padanya Dyza tidak ada di rumah. Kalau mereka terus mengganggu, biar Dyza lapor ke Pak RT!" Zen melihat gadis yang menyebut dirinya Dyza itu menutup telpon. "Tuhan, ini masih pagi! Apa kakek Andrew tidak meminum vitaminnya lagi? Akhir-akhir ini delusinya semakin parah. Malaikat penjemput? Ada-ada saja," katanya lalu bergegas. "Tunggu! Hei, manusia!" Zen terbeliak dan mempercepat langkah. "Dheryza Akselia!" panggilnya. Berhasil. Perempuan tersebut refleks menahan langkah dan berbalik. "Lho, kamu yang waktu itu, kan?" Zen menahan napas sejenak begitu bertemu mata dengan gadis yang memandangnya dengan wajah kaget bercampur bingung. "Ya. Kamu ingat, 'kan? Kita pernah bertabrakan di pelataran sebelumnya." Zen berujar pelan. "Kamu memberitahuku letak Klinik Poli hari itu." "Polikilinik." "Oh, iya. Maksudnya itu." "Kamu tahu nama lengkapku dari mana?" "Aku melihat nametag-mu." Zen melihat perempuan tersebut berpikir dan mengangguk kecil. "Baiklah. Aku ada ujian, permisi." "Tunggu!" Zen mencegat. "Dheryza Akselia! Tunggu!" "Panggil Dyza saja." "Oke, Dyza." Dyza menghela napas. "Jadi kamu ada perlu apa denganku?" "Aku ingin minta pertanggungjawaban," tutur Zen langsung ke intinya. "Pertanggungjawaban?" Dyza mengerutkan kening. "Biaya perawatan karena aku menabrakmu hari itu?" Zen menggeleng cepat. "Bukan." "Lalu?" "Sebelumnya, apa kamu benar anak Indihome?" "Indihome?" Dyza mendengus. "Begini, sepertinya kamu salah fakultas. Aku anak jurusan farmasi. Mungkin yang kamu maksud itu anak komunikasi. Jurusan itu ada di Fakultas Sains." "Tidak! Tidak! Aku memang mencarimu." Zen mulai panik, sepertinya ia salah menyebut istilah. Ia bersegera membuka ponsel dan mengecek kata yang baru disebutnya pada aplikasi Kamus Besar Bahasa Manusia. Duh, kok malah layanan internet, sih! Indi ... indi apa, ya, kata Rava kemarin? "Nggg ... itu, semacam kemampuan melihat makhluk astral. Indi ... apa lagi, namanya?" Zen mendesis. "Kamu tahu, tidak?" "Maksudmu indigo?!" "Benar!" Tanpa sadar Zen bersorak. "Kamu anak indigo, 'kan?" Dyza memutar matanya dengan malas. "Tolong, ya, jangan bercanda! Aku benar-benar tidak punya waktu!" "Aku tidak bercanda! Aku kemari untuk memberimu peringatan!" "Peringatan apa?!" Dyza yang baru saja berbalik kembali menghadap Zen. Lama-lama ia kesal juga. "Peringatan untuk menghadiri sidang di dunia Medieter." "Dunia Medie ...." Dyza melotot. "Kamu tahu soal email itu?! Jangan-jangan kamu yang menerorku selama ini! Kamu pasti penguntit!" Kini giliran Zen yang melotot. "Jangan sembarangan! Aku ini Seeker yang terhormat! Email itu dikirim langsung oleh kementerian tinggi!" "Masa bodoh dengan kementerian tinggi itu!" Dyza mendekap erat bukunya, memasang sikap siaga. "Kamu pikir aku semudah itu untuk ditipu?!" "Siapa yang menipu! Aku datang dengan niat baik untuk memperingatkanmu. Kamu menjadi tersangka utama pelaku perusakan soul-scanner milikku karena energimu yang luar biasa--" "Stop!" Dyza memekik. "Hentikan semua omong kosong itu atau akan kulapor pada security!" "Jangan sembarangan memotong ucapan orang! Ngomong-ngomong security itu apa?!" "Dih, kudet! Satpam, tahu!" "Sebentar." Zen kembali mengecek ponselnya. Ia harus berterima kasih pada Reva dan Rava setelah ini. Aplikasi yang mereka berikan sangat membantu. "Oh, maksudnya penjaga!" Zen mematut. "Aku pikir semacam dewan sanksi." "Orang tidak waras!" Dyza makin bergidik melihat tingkah laku Zen. "Kamu pikir aku bermain-main, hah? Akan kupanggil security dan kamu akan ditangkap!" "Kamu pikir securi ... apa tadi?" "SECURITY!" "Oke, terima kasih." Zen berdeham sebentar. "Kamu pikir security itu bisa menangkapku?" "Kenapa tidak?! Kamu meremehkan layanan keamanan di kampus ini?!" "Bukan. Tapi ... ah, sudahlah! Tidak enak berbicara di sini." Zen mengamati sekelilingnya yang mulai ramai. "Ikut aku!" Zen yang menarik tangan Dyza tiba-tiba melihat potongan memori gadis tersebut dalam sekejap mata. Tidak terlalu kentara, semacam peristiwa kecelakaan yang mengerikan. Terkejut, Zen menghentikan langkahnya. Sementara itu Dyza yang sudah meronta-ronta memanfaatkan situasi tersebut untuk berteriak. "Tolong! Ada orang jahat! Ada penguntit!" "Hei! Apa yang kamu lakukan?" Zen sontak melepaskan genggamannya. "Kamu bisa menarik perhatian orang-orang!" Seolah tidak mendengar perkataan Zen, Dyza terus berteriak. Ia berjongkok menutupi wajah dengan histeris. "Kamu bukan anak indigo, ya?" Zen meringis, tidak mengerti dengan reaksi Dyza yang bertindak seolah wujudnya bisa dilihat manusia-manusia lain yang mulai berkerumun dan menatap aneh pada mereka. Hanya pada Dyza tepatnya. Oke. Anggap saja Dyza tidak mengetahui hakikat dirinya dalam wujud roh. Maka untuk mencegah gadis itu makin histeria, Zen memanfaatkan kesempatan itu untuk segera berteleportasi. Dyza mengangkat wajah saat suara Zen tidak terdengar lagi. Benar saja, laki-laki itu kabur. Pasti karena takut diamuk orang-orang yang berkerumun, begitu pikirnya. "Terima kasih." Dyza bangkit dan membungkuk pada orang-orang yang berkerumun kemudian bersicepat menuju ruang kelasnya. "Apa-apan, sih! Cewek gila!" celetuk salah satu perempuan yang ikut mendekat mendengar Dyza menjerit. "Bukan gila." Seorang lelaki keluar dari kerumunan. "Tapi menarik." "Sepertinya kamu juga ikut gila, Ryo!" "Sepertinya." Ryo tertawa kecil lalu mematikan kamera perekam yang masih berjalan di ponselnya. --Let's Find Ghost!-- Ini adalah salah satu hari terburuk sepanjang sejarah bagi Dyza. Di awal pagi tadi ia sudah dibuat pusing dengan email terkutuk yang kembali memenuhi kotak masuk pesannya. Merasa sudah cukup terganggu, alih-alih menyayangkan bantuan privasi pada layanan surel tersebut, Dyza langsung melakukan pemblokiran. Siapa sangka, email itu datang lagi saat Dyza baru saja membuka mata subuh tadi. Dyza merasa seperti sedang diteror. Yang tidak kalah mengesalkan adalah laki-laki aneh yang menjadi dalang di balik teror via email tersebut, yang dengan beraninya muncul di hadapannya lalu meminta pertanggungjawaban dan mengajaknya pergi. Seperti sebuah kejahatan berencana. Apa katanya tadi? Dunia Medieter? Seeker? Soul scanner? Lucu sekali! Beruntung Dyza memiliki otak cerdas yang bisa bekerja dalam segala situasi dan kondisi. Walau fokusnya terbagi dan ia terlambat mengikuti ujian, semua soal dapat diselesaikannya dengan baik. Yang jadi masalah sekarang adalah rasa paranoidnya kalau-kalau laki-laki penguntit tadi masih berkeliaran di sekitar fakultas. "Apa kulapor ke security saja untuk jaga-jaga?" Dyza berpikir sendiri. "Dyza! Kamu sudah lihat postingan baru Notix?!" Dyza mencebik malas begitu pikirannya terpecah saat suara cempreng Erika yang berpotensi merusak gendang telinga memanggil namanya. Notix yang dimaksudkannya adalah akun berita populer fakultas. "Kamu masih sempat mengurusi Notix?!" Dyza mendelik pada Erika yang sempat-sempatnya mengurusi Notix di saat yang lain masih sibuk berdiskusi tentang soal ujian tadi. Ya, walaupun pada kenyataannya itu tidak mengubah isi lembar ujian. "Ini penting, Dyza!" Erika menukas lalu memperlihatkan postingan terbaru Notix yang terputar di ponselnya. Awalnya Dyza tidak sepenuhnya memberi atensi, hanya untuk menghargai niat Erika saja. Namun semakin lama, lensa matanya semakin berdilatasi hingga mencapai titik maksimal. Postingan tersebut memuat rekaman dirinya saat bersiteru dengan laki-laki penguntit aneh tadi di lobi fakultas. Bukan masalah yang besar, bahkan Dyza bisa menceritakan hal tersebut pada Erika dengan lebih muda. Jika saja, dalam video tersebut ia tidak melakukan pembicaraan dua arah dengan udara kosong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN