Like the moon and stars hidden in the dark. Finally, I found myself in your eyes. If we were meant to be, my love. Why do we keep making mistakes? Nothing can fulfill us in this world. Give me hopes to believe in our fate.
Zwei - Last Game lyrics.
--0--
Tifa bersama teman-teman seperjuangan dan setanah air, sibuk membersihkan lab setelah ujian Farmakognosi. Salah satu ujian paling rempong yang mereka alami. Teknis ujiannya menggunakan beraneka jenis ekstrak. Tiap praktikan mendapat secara acak ekstrak yang akan di uji dan semuanya mendapatkan jenis yang berbeda-beda satu sama lain. Maka jumlah vial yang di gunakan lebih dari 100 biji--sesuai dengan jumlah praktikan yang ikut ujian. Belum dihitung dengan alat-alat yang juga digunakan selama dilaksanakan ujian. Seketika lab itu berubah menjadi toko pecah belah.
Sebagai praktikan yang sudah bebas dari satu lab--walaupun belum ditentukan apakah mereka lulus maupun tidak. Mereka memiliki kewajiban bergotong royong untuk membersihkan ruangan yang sudah mereka gunakan selama satu semester. Apalagi besok adalah hari sabtu, mereka lebih memilih menyelesaikan pada hari yang sama, agar peringatan hari 'pulang kampung berjamaah' tidak terganggu. Siapa coba yang mau datang ke kampus hari sabtu?
Seharusnya mereka sudah pulang pada pukul lima sore, tetapi dengan kerja rodi yang tak terelakkan tersebut, waktu sudah menunjukkan jam 6 lewat 10 menit. Satpam yang biasa ronda di fakultas sudah menyenteri jendela-jendela lab dari lantai dasar, seperti ada lampu sorot yang menyinari wajah-wajah kusut mereka. Satpam itu telah memberi tanda 'mengusir' untuk siapapun yang masih ada di lantai empat.
"Sudah selesai semuanya?" tanya ketua tingkat Tifa, salah satu pria yang paling bisa diandalkan di angkatannya. "Kita udah diusir. Cepat semuanya! Liburan sudah di depan mata." Seluruh praktikan yang masih santai membersihkan, segera mempercepat gerakannya setelah mendengar kata 'liburan'. Kata semu yang kadang mereka lupa definisinya.
Untung saja, Tifa sudah selesai mengepel lantai, teman sekelasnya pun telah menyelesaikan tugasnya masing-masing. Mereka akhirnya bisa bersiap pulang dan mengucapkan selamat tinggal kepada kampus selama dua hari kedepan. Suara tangisan haru dan sorak-sorai memenuhi seluruh fakultas yang sepi bagaikan manusia sudah punah di sana.
Gedung fakultas telah gelap gulita. Berhasil meningkatkan rasa takut kawanan farmasis itu. Tifa yang sudah putus urat takutnya terhadap hal-hal gaib, menuruni tangga dengan santai. Tas ranselnya yang ia kenakan, digenggam oleh salah satu teman perempuannya dan begitu seterusnya hingga terbentuk kereta yang panjang. Berhubung jumlah pria di kelasnya hanya 4 ekor, mereka membuat formasi 1-2-2 untuk menjaga satu sama lain.
Sesampainya mereka di tempat parkir dengan selamat, Tifa segera menaiki motornya dan berpisah dengan kawannya. Rata-rata dari mereka mengarah ke kota. Sedangkan Tifa yang bermukim di kos belakang kampus, berlawanan arah dari kota, menuju jalan poros kabupaten.
"Tifa! Mau kami ikut antar?" tanya salah satu teman cowok sekelas Tifa.
"Engga usah repot-repot. Kosku dekat kok, lebih baik kalian pulang duluan, mau sholat maghrib, loh!" Tifa menolak tawaran temannya dengan alasan klasik.
"Yakin? Kamu itu masih ingatkan jenis kelaminmu?"
"Hei! Kamu menyinggungku, hah?" Tifa mulai marah karena keperempuannya dipertanyakan.
"Hahaha, habis ... kamu tuh beda banget sama cewek-cewek yang lain yang taunya cuman merengek terus, pengen ditemani ke mana-mana," sambung ketua tingkat yang diikuti dengan tawa tiga ekor cowok lainnya.
"Jangan meremehkanku. Gini-gini aku udah biasa belajar bela diri, tau!" Tifa menganjungkan jempolnya bangga.
"Yah ... belajar dari youtube, bukan? Apa yang kamu tonton? Smack Down?"
Tifa yang sudah sebal dengan teman-teman cowoknya, langsung melempar batu kali yang berjejer di atas tanah. Masih sayang nyawa, mereka langsung tancap gas dan tertawa disepanjang jalan, meninggalkan Tifa sendirian di tempat parkir. Gadis berambut hitam itu hanya bisa melempar batu yang ada digenggamannya, jauh ke lapangan sepak bola di seberang fakultasnya.
--0--
Adzan maghrib telah berkumandang. Jalan raya mulai sepi, kendaraan yang melintas hanya bisa dihitung jari. Dengan santainya, Tifa mengendarai motor biru kesayangannya tanpa beban. Sehingga gadis berkacamata itu membawa motornya tidak terlalu kencang.
Tifa yang bosan di atas motornya, memikirkan Aris yang mulai bertingkah aneh akhir-akhir ini. Lelaki berambut kelabu itu mulai jarang memanggil Tifa, Cony maupun Eni ke rumahnya.
Padahal dia paling sering panggil aku dan Cony untuk memeriksa laporan praktikum atau menginput nilai ujian. Atau meminta Eni memasok kulkasnya dengan makanan lezat buatan Mama beranak dua itu. Semenjak kasus Theo dinyatakan tuntas, Aris juga tiba-tiba menjadi pendiam daripada biasanya ....
Tifa membayangkan Aris yang sedang melamun di teras rumahnya. Sambil mengelus Kopiko yang sedang tertidur pulas di pahanya, air mukanya redup dan lemas. Setiap kali ditanya, dia seperti berpura-pura tuli, tidak ingin diganggu. Cony dan Eni yang sudah lama bersama Aris pun kebingungan terhadap tingkah lakunya.
Beberapa hari yang lalu, Tifa tidak sengaja mendengar isi hati Aris yang gundah. "Apakah sudah benar, menghukum orang yang tidak sengaja melukai orang yang dicintainya? Apakah sebuah kesalahan harus dibalas setimpal?" gumam Aris yang duduk di depan televisi namun matanya sama sekali tidak fokus menonton tanyang di hadapannya.
Tifa yang baru tersadar telah mengkhawatirkan si-pria-bermulut-bisa-sematikan-ular-Black-Mamba. tifa sontak menampar keras pipinya dengan tangan kiri, tanpa melepas tangan kanannya yang terus mengegas motor.
Kampret! Ngapain aku mikirin cowok sialan begitu! Cih, mungkin aku harus cepat minum air kelapa. Pikiranku sudah kotor dengan racun yang dia sebar di kepalaku.
Sesampainya di pertigaan, gadis itu membelokkan kendaraannya ke arah kanan. Jalanannya pun sedikit demi sedikit, mulai menyempit. Gang menuju kos Tifa adalah jalan tikus, dinding tinggi di kanan kiri menghimpit jalanan yang hanya muat untuk dua motor.
Saking sunyinya, pertahanan Tifa sangat lemah. Tanpa dia sadari--dari arah belakang, ada motor yang dikendarai oleh dua pria tidak dikenal. Mereka nampak berusaha mengejar gadis berkuncir kuda itu. Sepertinya kedua pria itu sudah mengawasi Tifa sesaat memasuki gang.
--0--
Dinginnya malam mulai merasuk ke dalam tubuh Tifa. Gadis itu mengendarai motornya dengan kecepatan 20 km/jam. Sinar dari lampu depan motor adalah satu-satunya sumber cahaya baginya. Tifa bersenandung lagu yang akhir-akhir ini dia putar di pemutar musiknya. Tanpa menyadari bahwa beberapa detik lagi dia akan mengalami kejadian yang tidak akan pernah dilupakan seumur hidupnya.
Tepat di belakang, ada motor hitam yang dinaiki oleh dua laki-laki. Cowok yang memakai jaket tebal yang membawa motor, dan cowok yang dibonceng memakai kupluk abu-abu. Mereka berdua terlihat tidak mencurigakan sesaat Tifa mengintip dari kaca spionnya. Padahal mereka sudah tersenyum penuh nafsu untuk melaksanakan niat jahatnya.
Si cowok berjaket menaikan kecepatan motornya, berhasil menyamai laju motor Tifa. Ketika motor mereka bersanding, cowok yang memakai kupluk menyambar tas Tifa yang jaraknya hanya sekitar sepuluh sentimeter dari dirinya. Akibatnya, gadis itu terpelanting ke arah kanan jalanan, terseret sepanjang satu meter di semen yang keras dan kasar. Untungnya, tembok pembatas jalan berhasil menghentikan laju motor Tifa yang tetap melaju walau sudah berada posisi terbaring.
Kejadiannya terjadi sangat cepat. Tifa hanya bisa merintih kesakitan sebab pinggangnya yang mendarat terlebih dahulu di aspal. Kedua tangannya berusaha menahan beban tubuhnya dan menghasilkan luka memar setelah terseret. Kunci motor Tifa disematkan pada gantungan leher panjang--yang biasanya ia kaitkan di kaca spion, namun entah mengapa dia lupa melakukan kebiasaannya, dan malah menyebabkan kaki kanannya tersangkut di dashboard motor bersama dengan untaian kain dari gantungan itu.
Beruntung kacamata Tifa tidak terlepas dari hidungnya. Bila hal itu terjadi--dia tidak akan bisa melihat dalam malam, apalagi dalam kegelapan. Menyebabkan Amel, kakaknya, selalu mengolok Tifa dengan sebutan mata ayam, saking tinggi minus mata yang diderita Tifa. Masih syok, dia berusaha mengerjapkan matanya berkali-kali hingga pandangannya yang samar kembali normal. Bintik-bintik hitam melayang-layang di pengelihatannya, seperti semut-semut yang bergerak di siaran televisi yang kehilangan sinyal.
Tifa berusaha untuk melepaskan kakinya dari lilitan gantungan kunci. Ditarik kunci motor hingga lepas dari tempatnya. Setelah itu berusaha mencerna kembali musibah macam apa yang menimpa dirinya.
Motor kedua cowok itu di hentikan, pas di sebelah Tifa yang terbaring dalam posisi terlentang. Lelaki yang memakai kupluk turun dan mulai berusaha merampas tas ransel Tifa dari punggungnya secara kasar.
"Lepaskan! Atau kamu mau kupukul, hah!" ancam cowok kupluk sambil mengepalkan tangannya, bersiap untuk melayangkannya ke Tifa yang tidak berdaya.
"Cepat! Langsung rampas saja tasnya. Kelamaan, bakalan ada orang yang lewat," ucap pria berjaket yang terus berada di atas motornya yang menyala, untuk bersiap kabur bila mereka berdua berhasil melaksanakan aksinya.
Bukannya memikirkan cara untuk melarikan diri dari situasi genting itu. Terpintas dikepala Tifa salah satu acara yang dia suka tonton, di salah satu channel kesayangannya. Fight Science--acara edukasi tentang ilmu bela diri. Salah satu episodenya, Human Weapon, memperkenalkan salah satu teknik dalam membela diri dengan menggunakan barang yang ada disekitar, menjadi senjata yang mematikan.
Di tangan kiri Tifa, ada kunci motor yang digenggamnya. Tanpa berpikir panjang, dengan rasa kesal dan marah karena telah menjatuhkannya seperti sebuah domino, juga merusak motor biru kesayangannya. Ia membiarkan tangan kanannya melepas selepang tasnya, sehingga si pembenggal akan sedikit terdorong kebelakang akibat energi tarikannya. Mendapat kesempatan, dengan secepat kilat, Tifa memindahkan kunci motor tersebut ke tangan kanannya. Diselipkan di antara jari tengah dan telunjuknya.
Tifa sudah memprediksi bahwa si pembenggal otomatis akan berusaha melepas selempang tasnya yang sebelah kiri. Maka saat dia berada di sisi kirinya, Tifa menggenggam kunci motor sangat erat. Beberapa detik kemudian, melayangkan tinju tepat di mata pemuda itu. Ujung dari kunci motor yang bergerigi--melayang tepat pada iris mata sebelah kiri si pemuda kupluk. Suara teriakan bergema keras di seluruh gang.
"Arghhhh!" Lelaki itu berteriak kesakitan, spontan Tifa mencabut kunci motor.
Cipratan darah menyembur dan mengenai tangan dan wajah Tifa. Pemuda malang itu segera menutup mata kirinya yang sudah menumpahkan air mata kemerahan. Cowok yang memakai jaket yang sedari tadi menunggu di motor, langsung membanting stirnya, melaju meninggalkan temannya yang merintih kesakitan.
Melihat kepergian salah satu pembenggal, Tifa kembali melirik ke tubuh yang meringkuk di sebelahnya, menatap ngeri lelaki itu. Dia berusaha menekan matanya yang sudah mengeluarkan banyak cairan merah segar. Bau anyir darah tercium di antara aroma rumput liar yang basah di pinggir jalan. Tifa memandang kedua tangannya yang di penuhi noda darah. Ia gelisah dan kebingungan, apakah yang dia lakukan sudah benar?
Samar-samar, dari balik dinding, terdengar kegaduhan. Tifa ingat, tepat di balik dinding tingga yang menjulang itu, terletak sebuah mushola. Semua jamaah yang telah selesai melaksanakan sholat maghrib, ternyata dikagetkan dengan suara teriakan. Mereka berbondong-bondong menuju asal suara.
"Ada orang di sana?" Terdengar suara teriakan bapak-bapak di balik dinding.
Tifa sontak berdiri dan menjawab, "Iya! Tolong! Tolong saya!"
"Tunggu di sana, Dek! Jangan pergi ke mana-mana. Kami akan segera ke tempat Adek!"
Setelah bapak itu sudah memberikan secercah harapan kepada Tifa. Suara mesin motor dan mobil yang dinyalakan satu persatu berhasil membuat keributan di malam yang awalnya sunyi itu. Begitu banyak suara laki-laki di balik sana, berusaha menenangkan Tifa yang masih terkurung di dalam gang.
Cowok yang akhirnya menjadi korban dari aksi heroik Tifa, mulai menangis kesakitan dan meringkuk di dekat motor Tifa. Tifa kelelahan, bagaikan dirinya baru saja berhasil lolos dari maut. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya keras ke aspal. Entah rasa lega atau kesal, Tifa hanya tertawa ke arah pembenggal yang gagal melaksanakan aksinya.
"Rasakan! Kalau mau, sini, kutusuk matamu yang satunya!" Walau Tifa berkata demikian, air matanya sudah mengalir deras dari pelupuk matanya. Ia menangis terisak-isak, melepaskan rasa sakit dan ketakutannya yang sedari tadi dia tahan.
Tidak cukup satu menit, bala bantuan datang. Mereka segera membawa Tifa dengan motor ke luar dari gang dan menggiringnya ke dalam mobil salah satu jemaah yang terparkir di bahu jalan. Sedangkan sang pelaku di bawa di mobil yang terpisah. Tifa yang sudah merasa lebih tenang, memandang keluar dari dalam mobil. Motornya diungsikan oleh para warga. Body part-nya sudah rusak di sana-sini. Dia hanya bisa menyesal karena terlalu meremehkan bahaya yang bisa terjadi secara tiba-tiba.
Tuhan ... maafkan Tifa, kalau Tifa punya banyak salah hingga detik ini. Dan terima kasih telah melindungi hamba-Mu ini dari musibah tadi.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Tifa tidak henti-hentinya berdoa atas keselamatan dirinya dari pembegalan, salah satu kejahatan yang terus menghantui kota besar seperti Makassar.
Kisah ini kuambil dari cerita teman-temanku maupun seniorku yang pernah dibegal (alhamdulillah aku belum pernah, dan semoga tidak pernah ). Mirip memang dengan penjambretan, tapi begal lebih sadis. Biasanya pelaku berani sekali untuk memukul korban, sampai-sampai bawa pisau atau celurit dan engga segan-segan membunuh loh!
Semoga kita terus berada dalam perlindungan-Nya, ya, amin ....