08 - Kedatangan

1277 Kata
Malam ini kondisi ruang inap Gala sangatlah ramai karena kedatangan Cakka, Elsa, dan Daison yang sedikit terlambat mengunjungi cucu mereka. Sedari tadi Alena mencibir melihat dandanan sang suami yang membuat matanya perih. "Mas, kenapa harus dandan gini sih!" Alena kesal. Bagaimana tidak kesal jika hanya melihat cucu sakit saja harus memakai Boomber dan celana belel. Daison menyugar rambutnya yang sedikit memutih. "Papa nih semakin tua, semakin hot." Gala yang memang sudah sadar ikut tergelak melihat Opi nya membuat seluruh pasang mata menatap kearahnya.  "Gala sayang kenapa ketawa?" tanya Elsa sembari mengelus rambut cucunya. "Pi ma..Pi," kata Gala sembari menunjuk Daison yang menyengir. Alena mendengus jengkel "Biarin aja Opi mu. Jangan dilihat," bisik Alena setelah berada disebelah cucunya. Mata Daison menyipit curiga. "Kamu bisik-bisik apa Alen?" "Pi daya," ucap Gala dengan aksen cadel nya. "Pffffttttt HAHAHAHAHA." Tawa Cakka seketika pecah saat mengetahui apa yang diucapkan oleh cucu bungsu nya. "Gala bilang apa Mas?" tanya Elsa penasaran. Ia tidak terlalu mendengar apa yang diucapkan oleh cucunya. "Opi gaya," jelas Cakka membuat Daison mendelik. Semua yang berada di ruangan itu ikut tergelak melihat senyuman Gala hingga menampilkan gigi nya yang terlihat jarang. Cklek! Raina memasuki ruangan bersama dengan Luke. Memang tadi wanita itu pulang karena harus mengurus Alan dan Chacha terlebih dahulu. Baru kesini ketika keduanya sudah terlelap. "Ma, Pa." Raina menyalami keempat orang tua nya diikuti Luke lalu menghampiri Gala. "Anak Bunda kok belum tidur?" tanya Raina sambil mencium pipi Gala yang terlihat tirus. Diantara ketiganya Gala lah yang paling susah sekali lapar. Bahkan disaat kedua Kakaknya meminta makan, dia hanya diam saja. "Ndong Bun..." ujar Gala mengulurkan kedua tangannya. Raina tersenyum lalu mengangkat putra bungsu nya. Gala langsung memeluk erat leher Bundanya dengan tangan sebelah ter infus. Bayi itu sesekali tergelak karena Raina membisikkan sesuatu. "Bun..Lan bun," bisik Gala dengan suara kecil. "Abang Alan tidur. Adek tidur juga ya," bujuk Raina karena sekarang sudah jam 10 malam. "Nda maw Bun." Raina tak ambil pusing. Wanita itu menggoyangkan badan Gala hingga tak lama terdengar deru nafas sang anak yang mulai teratur. Dibantu Luke, Raina meletakkan Gala kembali ke brangkar nya. *** "Huaaaaaa hiks." "Gak papa gak papa. Sakitnya sebentar kok." Seluruh orang yang masih tertidur langsung terbangun kala mendengar tangisan Gala. Terlihat si bungsu sedang di suntik oleh seorang dokter. "Suntik apa ini dok?" tanya Luke menginterogasi. "Pengambilan sample darah rutin Tuan. Setiap pagi sebelum jam makan memang perlu adanya pengecekan untuk melihat perkembangan," jelas sang dokter membuat Luke mengangguk. "Lanjutkan." titahnya lalu kembali bersandar di sofa. "Hasilnya jadi kapan dok?" tanya Alena. "Sekitar jam 12 siang Nyonya," kata dokter itu sopan. "Terimakasih dok." Dokter tersebut mengangguk lalu berpamitan. "Bun Bun..." rengek Gala saat tak melihat Raina. "Bunda masih ambil baju di rumah. Nanti dibawakan kue mau?" bujuk Alena. "Maw Mi hiks ..." "Anak pintar," puji Alena sembari mengecup kening Gala. Sejujurnya Alena sangat terpukul melihat si bungsu seperti ini. Mengapa cobaan berat selalu menghantui keluarga mereka? Sedangkan dirumah, Raina sibuk menyuapi Alan dan Chacha dengan bubur yang sudah dimasak olehnya. Jam 3 pagi tadi ia meminta diantar oleh supir pribadi nya karena harus mengurus kedua anaknya. "Ayo Bang buka mulutnya," titah Raina sembari menodongkan sendok ke depan bibir mungil Alan. "Hiks, Gala Bun." Raina tak tega melihat kedua anaknya terlihat murung setelah mengetahui Galadra sakit. "Adek kalian gak papa kok. Makanya kalian harus makan biar bisa jaga Adek," tutur Raina lembut. Akhirnya Alan mau menerima suapan tersebut. "Bububu aaaaaaa." Chacha membuka mulutnya lebar. Raina terkekeh geli lalu menyuapi si gadis yang nampak sangat kelaparan. "De ana Bu?" tanya Chacha dengan suara yang menggemaskan. "Adek masih diperiksa dokter," tutur Raina. Selesai makan, Raina mengganti pakaian si kembar karena sudah terlihat kotor akibat bubur yang mereka makan tumpah. "Sekarang kita ke tempat Adek ya." Alan dan Chacha bertepuk tangan karena mereka sangat merindukan si bungsu Gala. *** Seperti biasanya, hari-hari Edgar diisi dengan kegiatan rutin di kantornya. Namun ada kegiatan tambahan untuknya beberapa hari ini. Mencari dokter terbaik untuk keponakan tersayangnya Papa muda tersebut mengurut keningnya yang terasa pusing. Sepertinya ia perlu mengirim istri tercintanya agar bisa tinggal sementara waktu dirumah sang Adik. "Permisi Tuan, saya ingin meminta tanda tangan untuk laporan bulanan." Edgar tersentak lalu menatap nyalang wanita dihadapannya Brak! "TIDAK BISAKAH KAMU MENGETUK PINTU TERLEBIH DAHULU!" bentak Edgar dengan rahang mengeras. Wanita yang menjabat sebagai sekretarisnya itu terlihat ketakutan, "M-maaf Tuan, s-saya sudah ketuk pintu tadi." Edgar mengibaskan tangannya agar sang sekretaris itu pergi. Dengan segera wanita itu pergi sebelum menjadi samsak dari seorang Rayyan Edgario. Cklek! "APA LA--" ucapannya terpotong saat melihat siapa yang datang. Edgar menelan ludahnya kasar saat melihat tamu dihadapannya sedang berkacak pinggang. "Apa hm? Tidur luar mau?" tantang Bella, istrinya. Edgar tersenyum kikuk sembari menggaruk kepalanya bingung "Eh sayang, kok gak bilang mau kesini?" "Ih siying, kik gik biling mii kisini?" cibir Bella dengan gaya menye-menye nya. "Maaf sayang. Beneran deh tadi tuh sekretaris tiba-tiba nongol. Ngakunya sih udah ketuk pintu padahal aku gak denger," dumel Edgar dengan wajah memelas. "Terserah deh terserah," kata Bella pasrah, "oh ya, aku mau minta izin ke kamu Gar." Lanjutnya sedikit ragu. "Ijin mau kemana?" Suara Edgar tiba-tiba berubah menjadi datar. Bella menelan ludahnya kasar. Aura Edgar seperti buto ijo jika sudah seperti ini "Mau izin nginep di rumah Raina. Mau bantu jaga kembar. Kan sekalian mereka bisa main sama Gre," jelas Bella dengan kepala menunduk. Tangannya sudah sibuk saling memilin jari jika gugup seperti ini. Hening Tak ada sahutan apapun dari Edgar membuat pikiran Bella bercabang. Dengan segera ia mendongak guna menatap suaminya. Tanpa disangka, Edgar tersenyum sambil menunjuk bibirnya. Bella yang mengerti maksud Edgar pun menahan senyumnya "DASAR OMES!!!" *** Beberapa orang dengan pakaian putih dan hijau tengah melakukan rapat penting "Hoe is de situatie vandaag? Is er enige vooruitgang?" tanya pria berseragam putih. "Er is geen. Het werd alleen maar erger," jelas pria berseragam hijau. "Wie is er verantwoordelijk als er iets gebeurt?" tanya pria berseragam putih lagi. "Degene die het heeft gevonden. Alle kosten voor de beste dokter ter wereld zijn de verantwoordelijkheid van de vrouw." jelas pria lainnya. "Oke. De bijeenkomst van vandaag is voorbij. Volgende week hebben we weer een bijeenkomst. Als er geen vooruitgang is, wordt het als een coma beschouwd." ucap ketua tim mengakhiri. Satu persatu dari mereka mulai keluar dari ruangan dengan raut wajah yang terlihat tegang. "Hij is een sterke man. Spoedig zou hij uit zijn lange slaap ontwaken," ucap teman satu profesinya menenangkan. "Ik hoop het," katanya dengan tersenyum tipis. Keduanya berjalan menuju kantin untuk menenangkan pikiran yang selama beberapa waktu ini menghantui mereka. *** Seorang pria berwajah tampan baru saja tiba di Bandara Halim Perdanakusuma. Setelah menempuh 16 jam perjalanan, akhirnya ia bisa kembali menginjakkan kakinya di tanah air lagi. "Bisakah Bapak mengantar saya?" tanya pria tersebut kepada supir taksi bandara. "Bisa Tuan. Mau diantar kemana?" tanya Bapak tersebut dengan semangat. "Rumah sakit permata," ucapnya lalu terkekeh. "Tentu. Mari." Pria itu mengikuti sang supir memasuki taksi. Wajahnya berseri-seri karena sebentar lagi akan bertemu dengan keluarganya. Tak lama taksi tersebut tiba di pelataran rumah sakit. Segera pria itu memberikan beberapa lembar uang berwarna merah "Tuan ini terlalu banyak!" kata supir itu berteriak karena pria tadi sudah menjauh. "Ambil saja Pak!!" jawabnya berteriak. Supir tersebut mengucapkan syukur karena penumpangnya memberikan uang sangat banyak. Sedangkan pria tadi berdiri di depan meja resepsionis. "Pasien atas nama Galadra Exadior, di ruangan mana ya?" tanya pria tadi sopan. "Sebentar Tuan." Terlihat resepsionis itu membuka buku yang berisikan data pasien. "Mohon maaf. Pasien atas nama Galadra, usia 14 bulan sudah keluar dari rumah sakit tadi pagi," jelas resepsionis itu sopan.  Pria tadi menggeram jengkel, "Terima kasih." Setelah mengatakan itu, ia langsung melenggang pergi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN