7. Berbeda

1349 Kata
Setelan jas rapi yang semula bertengger di badan tegap Calvin kini telah terurai menyisakan kemeja warna putih yang tiga kancing teratasnya telah lepas. Dasi yang melingkari lehernya pun telah kandas teronggok tak berdaya di samping kursi rumah sakit bersama jas miliknya. Semua orang yang ada di depan ruang rawat itu tampak melakukan hal yang tak jauh berbeda. Meski mereka jauh lebih baik dalam bersikap jika dibandingkan sosok Calvin yang begitu berantakan. Kepala pria itu kini tertunduk. Perasaan cemas dan kalut bercampur aduk menjadi satu saat dokter tak kunjung keluar dari ruang IGD yang menangani Ara di dalamnya. Pikirannya kacau, sebercak darah tampak menempel pada lengan kemejanya. Itu adalah darah mimisan gadisnya. Ia cukup merutuki dirinya yang tidak memiliki kepekaan akan sesuatu yang terjadi pada gadisnya. Dia, merasa bodoh sebagai lelaki. Tak jauh berbeda dengan Calvin, sosok ayah Ara juga tampak kusut di sana. Dengan kedua siku tangan yang ditumpukan pada lututnya, pria paruh baya itu tampak merenung dalam kerisauan. Garis-garis keriput pada wajahnya semakin terlihat jelas ketika keningnya berkerut memikirkan apa dan bagaimana kondisi putri satu-satunya, anak kesayangannya. Selang beberapa menit kemudian seorang dokter keluar dengan diiringi oleh beberapa perawat di belakangnya. Calvin yang sebelumnya tampak kacau dan kusut segera bergegas dan menghampiri dokter tersebut. “Mari bicarakan di ruangan saya.” Calvin hanya mengangguk lesu dan tak banyak bicara, ia bukan tipe pria gegabah yang akan mengambil tindakan dengan emosi. Meski pun dalam keadaan seperti ini ia sebisa mungkin menjaga emosinya agar tak memperkeruh suasana. “Dia menderita leukimia.” “Sejak kapan?” “Belum tau pastinya kapan, karena kami masih akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk tindakan medis ke depannya.” “Lakukan yang terbaik untuknya.” Dokter tersebut hanya mengangguk dan mempersilakan ketika Calvin beranjak dari tempat duduknya. Setelah keluar dari ruang dokter, ia melihat sosok ayah dari Ara tampak menunggunya di depan ruang rawat istrinya. “Dia sudah sadar.” Tanpa mengucapkan apa pun Calvin segera beranjak masuk ke dalam ruang rawat Ara yang telah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa, bukan lagi di ruang IGD. “Bagaimana keadaanmu?” Tak ada jawaban dari Ara, dia saat ini bahkan tidak mau memandang pada sosok Calvin yang berada di depannya. Kedua matanya tampak berkaca-kaca, ia sudah bisa menebak bahwa apa yang sudah ia coba sembunyikan selama ini pasti telah diketahui oleh Calvin. Tidak bisakah ia hidup normal seperti pasangan suami istri pada umumnya? Tidak bisakah ia hidup tenang tanpa ada bayang-bayang kematian yang seakan membuatnya merasa takut setiap saat. Kedua tangan Ara tampak terkepal di kedua sisinya, ia begitu gugup karena melihat respon Calvin yang bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Jujur saja Ara lebih suka jika Calvin akan bertingkah sewajarnya, bukan malah diam seperti ini. Diamnya lelaki itu bagaikan bom waktu bagi Ara, ia tidak sanggup membayangkan reaksi Calvin begitu dia mengetahui bahwa ia telah menyembunyikan penyakitnya selama ini. “Beristirahatlah.” Dengan pelan Calvin membenarkan letak selimut yang menutupi tubuh Ara sampai d**a gadis itu. Ara menggigit bibirnya saat pria itu hanya diam dan tidak meminta penjelasannya sama sekali. Tepat sebelum Calvin beranjak pergi keluar, dengan segera Ara menangkap pergelangan tangan Calvin hingga membuat pria itu mengurungkan langkahnya tanpa menatap Ara. “Jangan mendiamkanku.” Dengan suara setengah berbisik Ara menggenggam erat tangan Calvin berharap pria itu dan kembali memandangnya dengan tatapan hangat seperti sebelum-sebelumnya. Tanpa menoleh, Calvin berusaha melepaskan tangan Ara yang memegangnya dengan pelan. Karena bagaimana pun ia saat ini masih kecewa, ia butuh waktu untuk menjernihkan pikirannya. Setelah kepergian Calvin, tangis Ara kini pecah, ia tak bisa lagi menahan laju air matanya yang menerobos keluar begitu saja. Dengan kasar ia mengusap wajahnya yang basah, namun suara sesenggukan itu masih saja membuatnya terlihat menyedihkan. Bukan masalah penyakit yang ia rasakan sakitnya, tapi justru terasa lebih menyakitkan ketika orang yang paling berharga dalam hidupmu kini mengabaikanmu karena kelalaiannya sendiri. Tapi Ara sama sekali tidak menyesal karena telah berbohong pada Calvin selama ini, karena ia tahu jika saja ia jujur dari awal maka pernikahan ini tidak akan terjadi. ___   Tiga hari telah berlalu, Ara kini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter setelah ia diresepkan obat khusus untuk berjaga-jaga jika sakitnya kambuh. Dokter juga mewanti-wanti pada sosok Ara agar ia selalu menjaga pola makannya dan sering-sering berolah raga ringan untuk menjaga kesehatannya. Sesampainya di depan rumah minimalis yang memang sudah didesain khusus oleh Calvin setelah ia menikah dengan Ara. Pria itu kini tampak membuka pintu mobilnya dan membukakan pintu mobil Ara, namun setelah pintu terbuka Ara hanya diam memandang sosok suami yang telah mendiamkannya selama 3 hari ini. Memang sikap pria itu tidak berubah, hanya saja ia tidak sehangat yang dulu. Pria itu tetap memperhatikan dan memperlakukan Ara dengan penuh kasih, tapi Ara jelas memahami bahwa masih ada raut kekecewaan di sana yang coba disembunyikan darinya. “Bisakah kamu mnggendongku? Aku ingin seperti pengantin wanita pada umumnya yang diperlakukan spesial dan manis oleh suamiku sendiri.” Tampak Calvin menegakkan badannya dan menghela napas pendek, sebelum ia berjongkok dan benar-benar menggendong Ara sesuai dengan permintaan gadis itu. Seketika senyum perlahan mulai merekah di bibir ranum Ara. Ia dengan sigap mengalungkan kedua tangannya pada leher Calvin yang masih saja berekspresi datar. Tak ingin berpikiran yang macam-macam, Ara hanya bisa memanfaatkan momen ini untuk menyandarkan tubuhnya pada bahu Calvin yang kokoh dan hangat. Ara bahkan menyempatkan untuk menghirup aroma khas pria itu yang seakan menjadi candunya. “Love you....” “Hmm....” Ara hanya bisa memaksakan senyum cerahnya saat ia tak mendapati jawaban dari Calvin. Dadanya terasa sesak, ternyata pria itu masih marah padanya. “Maaf!” Tanpa menjawab, Calvin kini hanya menurunkan Ara di atas sebuah kasur dengan bad cover berwarna warm  white di atasnya. Nuansa kamar yang ditempatinya bersama Calvin kurang lebih berukuran 7x7cm yang cukup nyaman bagi gadis itu. Ketika Calvin hendak beranjak pergi meninggalkan Ara, secara spontan kakinya urung melangkah ketika Ara enggan melepaskan kedua tangannya yang mengalung di leher Calvin. “Jangan pergi....” Dengan wajah memelas Ara menatap kedua mata Calvin yang sengaja mengalihkan pandangan dari wajahnya. “Aku ingin mandi.” Bahkan setelah mendapati jawaban Calvin tadi, Ara masih saja enggan melepaskan pria itu. Calvin juga dengan sengaja mengalihkan pandangannya dari sepasang mata Ara yang tengah memandangnya dengan tatapan memelas. Ia tak ingin melihatnya, karena itu hanya akan membuatnya kembali luluh. “Tatap mataku jika berbicara!” Tak menyerah sampai di situ saja, kini Ara kembali mengulurkan sebelah tangan kanannya untuk memegang pipi Calvin agar mau memandang ke arahnya. Pasrah, pada akhirnya Calvin mengikuti kemauan Ara dan menatapnya dengan tanpa ekspresi. Namun satu hal yang ada di luar perkiraannya, ia begitu terkejut begitu Ara secara tiba-tiba menarik tengkuknya dengan kuat dan sebuah benda kenyal tampak berbenturan dengan bibirnya. Bagai sengatan listrik, Calvin secara spontan terdiam akibat keterkejutannya. Berbeda dengan Ara yang kini justru bersikap lebih agresif dengan memulai terlebih dahulu untuk mencium Calvin. Perlahan ia mulai menggerakkan bibirnya untuk menghisap bibir bawah Calvin meskipun pria itu hanya diam dan tak membalas ciumannya hingga saat ini. Tak ingin menyerah begitu saja, kini Ara dengan berani mulai menggigit kuat bibir bawah Calvin yang membuat pria itu refleks membuka bibirnya karena berdarah. Tak menyia-nyiakan kesempatan, kini Ara kontan saja langsung menjulurkan lidahnya untuk menerobos masuk ke dalam mulut pria itu. Tak dipedulikannya lagi aroma karat dan amis yang bercampur menjadi satu dengan ciuman mereka. Calvin pada awalnya hanya diam saja dan membiarkan Ara berbuat sesuka hatinya. Namun ketika gadis itu kini semakin berani dengan menyusupkan lidah ke dalam mulutnya, Calvin yang sebelumnya berusaha menahan diri kini dibuat ikut terpancing. Ia kini dengan segera membalik keadaan dengan menidurkan tubuh Ara dan menguasai permainan. Ara yang merasa bahwa usahanya berhasil kini hanya pasrah saja ketika Calvin yang bergantian mengeksplorasi mulutnya hingga membuatnya kewalahan. Ara hanya memejamkan kedua matanya saat ciuman Calvin turun ke rahang hingga kini bermain-main dengan lehernya dan membuat beberapa kissmark di sana. “Ahh....” Sebuah desahan keluar dari bibir Ara saat Calvin menggigit lehernya dengan kuat. Namun seketika itu pula Calvin tersadar akan apa yang tengah dilakukannya kini. Menyadari bahwa Calvin berhenti mengendus lehernya, Ara kini kembali hendak mencium pria itu. Tapi Ara harus dibuat kecewa ketika Calvin justru memalingkan wajahnya dan berlalu begitu saja meninggalkan Ara yang masih terbaring dengan pakaian kusut di atas kasur mereka. Tanpa terasa cairan bening mengalir begitu saja dari pelupuk matanya. Awalnya ia mengira dengan apa yang telah mereka lakukan tadi, maka Calvin akan memaafkannya. Bahkan ia berharap bahwa mereka bisa kembali berhubungan seperti biasanya dan menjalani kehidupan rumah tangga seperti orang lain di luar sana. Tanpa adanya bayang-bayang kematian yang seolah menggerogoti tubuhnya. To be Continued....  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN