Pagi-pagi buta, mereka pun bersiap berangkat. Barang-barang sudah disusun ke mobil. Ruby, Morgan, dan supir pribadi sudah standby di mobil. Crystal masih berbicara dengan calon mertuanya itu sebelum pergi.
“Crys, jagain Ruby, ya! Bilang sama dia, jangan kecapean. Setiap pulang camping, dia selalu sakit. Terlalu diforsir, tuh! Tapi mau gimana, di situ jiwanya. Kan, nggak mungkin Tante ngelarang dia ikut club MAPALA.”
"Iya, Tante."
"Tadi Tante juga udah masukin obat dan vitamin ke dalam tasnya. Kadang kalau dia sibuk, dia suka lupa minumnya. Sejak kecelakaan itu ... stamina Ruby memang terlalu sering drop."
"Kecelakaan apa, Tante?"
Crystal berpura-pura tak tahu. Sebenarnya dia sudah mendengar sebagian dari Ruby, berharap mendapatkan informasi tambahan dari beliau saat Crystal menanyakannya. Kenapa Keluarga Alexander terus menutupi hal itu? Itulah yang menyerang pikirannya bertubi.
"Ah? Nggak, kok. Bukan apa-apa. Ya udah, jaga dia aja, ya! Sebagai calon istri, ini udah kewajiban kamu," sahut ibunda Ruby tersebut.
"Morgan nggak minta dijagain juga, Tan?”
“Nggak, Morgan itu lebih strong dari Ruby, lebih bandel juga. Tante nggak pernah khawatir sama dia. Paling-paling ... awasin aja dia, jangan nyakitin anak orang lagi. Patah hati terus mereka. Kasian.”
Crystal tertawa kecil medengar ucapan Nyonya Alexander. Ternyata, ibunya ini sangat hapal kelakuan kedua putranya. Sangat mencintai dan memperlakukan sesuai dengan karakter masing-masing.
“Woi!” teriak Morgan.
Nyonya Alexander mendecak karena teriakan Morgan. “Tuh, kan, tuh anak ada-ada aja. Bukan manggil bagus-bagus, malah teriak kayak tarzan.”
“Ya udah, Tante. Crystal pergi dulu.”
Crystal pun meninggalkan Tante Rose, segera masuk ke mobil untuk bergegas pergi. Mobil itu plmeninggalkan pelataran rumah Alexander.
“Dasar, ibu-ibu! Ngegosip pagi-pagi! Untung lo cantik, kalau nggak, kagak mau gue punya ipar kayak lo,” celoteh Morgan yang duduk di jok depan di samping supir.
Crystal merengut, ada saja kekesalan tiap kali bicara dengan Morgan. Morgan ini sangat cerewet, berbeda sekali dari Ruby yang sangat santun dan sedikit pendiam.
'Resek banget nih anak! Untung aja yang dijodohin sama gue itu Ruby, bukan dia. Kalau iya, hidup gue udah kayak neraka,' gerutunya membatin.
Di sampingnya, Ruby tak bicara. Tunangannya itu masih sibuk dengan berkas dan tugas. Sesekali dia menaikkan gagang kacamata yang turun saat dia menunduk. Sangat tekun.
'Dasar, Ruby! Lo aslinya memang gini atau gimana, sih? Dulu gue cuek aja. Semenjak lo mulai buka hati, gue ngerasa tiba-tiba berubah jadi serigala yang selalu pengen nerkam si domba putih ini. Sial ... kenapa gue jadi m***m gini, sih?' batinnya.
Sedari tadi Ruby sadar bahwa Crystal memperhatikannya, tetapi dia harus menyelesaikan tugasnya. Dia hanya mengulum senyum tipis.
"Ehm! Besok tanggal 12, loh," ujar Crystal. Dia ingin mengingatkan Ruby lagi bahwa besok dia berulang tahun.
"Iya, kenapa?" seru Ruby tanpa menoleh sedikit pun pada Crystal.
"Nggak apa-apa, cuma ngingatin aja. Kayaknya itu tanggal penting, deh."
"Aku lagi sibuk, Sayang. Jangan ganggu dulu, ya! Nanti di sana kita ngobrol lagi."
Crystal cemberut. Dia beralih ke sisi lain untuk menatap jendela. Saat Ruby mengusap kepalanya, Crystal segera melepaskan tangan Ruby dan berlagak kesal.
'Aslinya cantik. Kalau nangis, cantik banget. Kalau marah, malah nambah gemesin. Aku harus gimana ini? Pengen banget cium dia,' keluh batin Ruby.
Tak lama, mobil terhenti di depan pelataran SMU Golden. Sudah lebih separuh siswa berkumpul di dekat bus. Bisma dan Riska juga tampak bersiap-siap di sana. Terlihat juga salah seorang mahasiswa yang akan menemani mereka, terlihat dari almamater yang dia pakai.
“Ardin? Ikut mantau juga?” tanya Ruby sambil menghampiri seorang mahasiswa satu club MAPALA yang bernama Ardin.
Ardin hanya tersenyum, lantas memberikan proposal yang dipegangnya pada Ruby dan berkata, “Proposal dari Pembina. Thanks, udah bantuin gue sejauh ini. Project club kita berhasil berkat bantuan lo juga!”
"Bukan aku aja. Semua orang juga terlibat."
“Lo juga leader yang patut diandalkan. Walaupun sibuk, masih tetap koordinir ini itu!” tambah Bisma.
“Thanks, ya! Gue bangga punya tim solid kayak kalian. Jadi gue bisa tenang setelah ngundurin diri abis project ini. Gue harap lo mau jadi leader gantiin gue, By."
Ruby hanya tersenyum, membaca sedikit barisan kalimat dalam proposal itu.
"Belum tau, sih. Ntar mamaku ribet kalau tau aku jadi makin sibuk," ulas Ruby.
"Si charming anak mama ini, kiyeowo banget," goda Riska. Lantas dia mendapat sentil kecil di dahinya karena Bisma cemburu.
"Mungkin itu keputusan terbaik, Din. Keluar dari club karena mau konsen ke skripsi lo. Tapi masa jabatan lo juga udah mau habis tiga bulan lagi, kenapa nggak tunggu sampai itu aja?” tanya Bisma.
“Nggak bisa lah, Bis. Ntar mepet banget. Dosen pembimbing skripsi gue itu agak ribet, touring keluar negeri aja kerjanya. Kalau nggak dikejar dari sekarang, skripsi gue bisa ngadat di mejanya. Stuck nggak jelas,” keluh leader MAPALA tersebut.
Pembicaraan berakhir saat memastikan semua telah hadir. Ardin turut membantu mengawasi dan memberi instruksi bagi para siswa menaiki bus masing-masing. Pasti akan seru mengikut aktifitas sehari semalam di Cibubur.
Tawa ceria mengisi perjalanan. Tak terasa waktu bergulir hingga bus sampai di tujuan. Mereka pun menginjak bumi perkemahan Cibubur. Para mahasiswa sudah standby menjaga tiap jengkal gerak siswa-siswa. Takut ada yang tersesat atau hilang. Tentu saja mereka bertanggung jawab menjaga para ABG ini.
“Oke, Guys! Untuk tugas selanjutnya, kita akan observasi tumbuhan di sekitar sini, sebagai langkah awal kita mencintai lingkungan, kan? Kita bagi dalam beberapa grup,” intruksi Bisma.
Para mahasiswa sudah standby dengan segala kesiapan mereka. Bisma sedikit berjinjit menghitung jumlah baris siswa.
“Oke, pas banget jumlahnya. Barisan ini ... Kakak yang handle. Barisan dua, bareng Kak Riska. Barisan tiga sama Kak Ardin, dan yang terakhir dipandu sama Kak Ruby. Oke?” lanjut Bisma.
“Oke, Kak!” jawab seluruh siswa, serempak.
“Selesai observasi, jangan lupa buat laporannya, ya! Ntar agak sorean, kita ada jadwal wall climbing, yang mau aja. Mana tau pada takut. kan? Nggak dipaksa, kok!” tambah Ardin.
“Oke, Kak Ardin!”
Observasi dimulai, kakak mahasiswa sudah dengan gagah menjadi guide mereka. Crystal sangat cemburu melihat Mutiara yang sangat centil dan tebar pesona di depan Ruby.
“Ajarin Mutiara bikin laporan yang ini, Kak! Nggak tau, deh, Mutiara ini daun apaan!” ujarnya sambil menunjukkan selembar daun yang panjang dan sedikit kasar.
Ruby hanya tersenyum dan berkata, “Ini daun jagung, Mut. Kemarin pas Kak Ruby jelasin, matanya ke mana? Lihat ciri-ciri daunnya, bentuk daun dan pertulangannya. Nanti tinggal kamu kelompokkan ini termasuk dikotil atau monokotil.”
"Ini daun jagung?" tanya Mutiara dengan bibir mencebik, menunjukkan raut imut agar Ruby tergoda.
"Kamu ini! Masa nggak tau ini daun apa? Lagian kemarin juga udah ada gambarnya di materi. Kamu nggak konsen, ya, belajarnya?"
“Ih, iya! Siapa suruh Kakak itu charming banget. Aku jadi salah fokus.”
Ruby hanya tersenyum dengan tingkah centil Mutiara. Bukannya menyelesaikan laporan, Crystal sangat kesal sambil mencabuti daun-daun kembang merak itu dari tangkainya.
Dasar, nenek sihir kecentilan! Ruby juga, kenapa senyum-senyum aja digodain sama Mutiara? gerutu Crystal dalam hati.
Ketika Ruby melihat ekspresi cemburu Crystal, dia justru tak peduli dan enggan mengejar langkah Crystal.
Beda dengan Crystal yang cemberut seperti jeruk purut, Intan justru terlihat santai sambil terus tersenyum melihat pemandangan indah di sekitarnya. Sejuk, hijau, berbeda dengan suasana kota. Jarang sekali punya kesempatan liburan di tempat sejuk seperti ini. Saat dia berjalan di dekat rerumputan yang luas, tak sengaja bertemu Morgan yang ada juga di sana. Dia hendak kabur, tetapi Morgan segera menarik tangannya.
“Lo ini, kebiasaan! Suka banget kabur kalau liat gue! Emangnya gue serem banget?” protes Morgan.
Intan hanya angkat bahu. "Muka lo nggak enak diliat! Males gue!"
"Serius? Seganteng ini juga nggak enak diliat? Selera lo yang gimana, sih?"
"Yang jelas, nggak playboy kayak lo."
Morgan membisu. Dia mengambil kertas Intan dan membacanya sesaat.
"Kalau gue berhenti jalan sama cewek-cewek itu, gue bisa masuk tipe lo, nggak?" ujarnya, cuek.
"Hah? Apaan?"
Bukannya tak terdengar, Intan takut dia salah dengar karena suara detak jantungnya nyaris mengaburkan indera pendengarannya.
"Nggak jadi, deh! Lo b***k!" tukas Morgan. "Oh iya, Udah siap observasi lo?”
“Udah, dikit doang. Beginian, mah, kecil. Laporannya udah gue serahin ke Kak Ardin. Itu pengayaan materi lanjutan untuk besok.”
“Eh, mau tau tempat bagus, nggak? Ikut gue!”
“Eh...”
Morgan segera menarik tangan Intan. Mereka berjalan menyusuri tempat yang indah. Cukup lama berjalan, Intan takjub ketika mereka terhenti di bukit kecil yang hijau yang di bawahnya, terpapar taman bunga yang sangat indah.
“Ih, keren banget! Gue mau foto, ah!” seru Intan sambil mengeluarkan ponsel-nya.
Morgan geleng-geleng kepala melihat Intan mengambil swafoto. Sangat usil, Morgan pun merampas ponsel-nya.
“Ih! Resek lo! Balikin, Gan!" kesal Intan.
Morgan pun menarik bahu Intan. Intan terkejut karena dia begitu dekat dengan idolanya itu. “Say cheese!”
Satu potret diabadikan dalam android itu.
Mampus. Wangi banget nih anak, sumpah. Meleleh gue. Semoga jantung gue nggak copot, Tuhan, batin Intan saat menghirup dalam aroma parfum sang playboy.
Beberapa foto diambil Morgan dan Intan bahkan tak bisa memasang ekspresi cantik. Wajahnya sangat ketat hingga Morgan ingin tertawa.
“Senyum aja, kali. Gratis, kok. Oh iya, jarang banget, kan, lo dapat foto eksklusif dari gue?! Lo Beverlous beruntung!” cibir Morgan.
Intan tak menyahut. Dia asik menyimpan senyum sambil menggeser koleksi galeri untuk melihat hasil jepretan.
“Udah, jangan diliatin! Mau berapa kali diliatin pun, tetep aja gue ganteng.”
Morgan pergi meninggalkan Intan. Dia mencari tempat untuk berbaring dengan nyaman. Tangannya terangkat ke udara seakan ingin menyentuh gumpalan kapas di langit.
Intan pun duduk di sebelah Morgan. Dia ingin terus menghabiskan waktu dengan kekasih pujaannya itu.
“Lo pinter banget cari tempat bagus begini!” puji Intan.
“Ini dulu tempat favorit gue sama Wita.”
Intan tersenyum, pasti ada saja gadis di setiap bahasan Morgan.
“Siapa? Pacar lo?”
Morgan berubah ekspresi, tampak bukan Morgan. Dia sedikit sedih, tetapi bibirnya memaksakan senyum.
“Bukan, mantan gue.”
“Mantan, ya? Segitu banget ekspresi lo. Emangnya, kenapa bisa jadi mantan? Diputusin sama dia, ya? Kasian! Gue penasaran, cewek yang gimana yang bisa bikin lo bertekuk lutut."
Morgan sedikit tertawa lirih. Dia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah langit dan berkata, “Jangan ghibahin dia lagi. Mungkin dia lagi ngeliat gue dari langit, sekarang."
Intan terkejut. Tak ada bias palsu, Morgan hanya tersenyum pedih tanpa menggeser pandangannya dari langit.
"Sorry, gue nggak tau kalau dia ...."
“Kejadian tiga tahun yang lalu itu seperti mimpi buruk. Di malam ulang tahun gue yang ke 15 ... gue nggak bisa cegah dia saat pergi dengan mobilnya Ruby. Harusnya yang mati si j*lang itu, bukan Wita."
Entah siapa yang dimaki Morgan, Intan tak banyak bertanya karena dia tak merasa berhak mencampuri hidup Morgan yang tak akrab dengannya.
Wita, nama itu tak pernah terdengar di kalangan gosip para Beverlous. Begitu banyak fakta yang berhasil diungkap tim Beverlous tentang Morgan, tetapi tak ada satu pun yang sukses mengungkap masa lalu gadis yang bernama Wita itu. Intan yang selalu update info tentang Morgan saja hanya bisa bungkam ketika mendengar langsung dari Morgan.
“Gue nggak ngerti kenapa Ruby segitu gilanya sama Cassandra. Bahkan meskipun dia tau ditipu, dia tetap nggak peduli. Itu rencana licik Cassandra sampai akhirnya kecelakaan terjadi. Gue harusnya bisa cegah Ruby pergi dan Wita nggak ikut ke mobilnya. Bodoh! Gue bodoh!”
Intan tak berani buka suara. Kenapa Morgan menceritakan semuanya? Harus apa dia? Tak ada satu kata pun yang lolos si bibir Intan, hanya menyediakan telinga saja untuk mendengar.
"Wita meninggal, Ruby koma sampai tiga bulan dan dia menderita amnesia disosiatif. Sementara si J*lang itu ... gue nggak berharap dia kembali lagi! Harusnya dia mati juga."
Intan terkejut mendengar fakta itu. Pun tentang keadaan Ruby. Apakah Crystal tahu ini? Inta terus bertanya-tanya dalam hati.
Suasana hening sesaat. Intan membiarkan Morgan mengendalikan emosi yang saat ini menguasai pikirannya. Waktu berlalu, senyum mulai terukir di bibir Morgan. Dia menoleh pada Intan, mengusap kepala gadis itu. Intan tak berani menepis karena kasihan sebab sisi melankolis Morgan beberapa saat lalu.
“Gue ... nggak tau. Maaf."
Intan menyesal karena secara tak sengaja menguak kembali luka lama di hati Morgan. Morgan justru tersenyum, mencubit pipi chubby Intan dengan pelan.
“Nggak, gue nggak apa-apa, Tan. Gue senang bisa cerita ini ke lo. Lo itu baik. Makanya sampai sekarang ... gue belum punya seseorang yang bisa gantiin Wita. Dia terlalu berkesan di hati gue. Entahlah, entah sampai kapan gue move on dari dia.”
"Ooh," dengkus Intan, pelan. Entah kenapa dia merasa sedih karena patah hati akan ungkapan Morgan yang begitu mencintai Wita.
“Sampai sekarang, nggak ada satu pun cewek yang sesuai tipe gue! Seperti Wita!”
Intan mengernyitkan alisnya, “Tipe lo?”
“Yup! Selain cantik, dia harus baik, unik, dan pintar. Kayak Crystal gitu, lah," canda Morgan.
Kesal karena Crystal disinggung oleh Morgan, Intan segera memukul lengan si playboy itu.
"Njirrr, tangan lo gagah perkasa banget. Sakit gini pukulan lo!" Morgan mengusap-usap lengannya yang sedikit pedih.
Intan cemberut, tak peduli karena Morgan baru saja menyinggung perasaannya.
“Crystal punya kakak lo. Sadar!” protesnya.
“Sayangnya ... dia tunangan sama Ruby, bukan sama gue.” Morgan berlagak cemburu. "Apa gue rebut aja, kali, ya?"
"Ih, mabok nih anak! Segitu patah hatinya lo! Tolong kembalilah ke jalan yang benar, Pak Ogan!" cibir gadis tomboy tersebut.
“Lo mau jadi pacar gue?”
Intan terkejut mendengar permintaan Morgan. Refleks, dia menajamkan pendengarannya sambil menggosok lubang telinga dengan telunjuk.
"Gue nggak salah dengar, kan?"
Tentu saja Intan tak tertipu dengan rayuan dan tawaran playboy satu ini. “Ck, gue bukan tipe lo juga, kale!”
“Sok tau, lo!” pungkas Morgan.
“Gue nggak mau, ya, jadi salah satu cewek-cewek bodoh yang jalan sama lo. Idih! Ogah!”
“Gue, kan, tadi minta lo jadi pacar gue, bukan jadi temen jalan gue.”
Intan bungkam. Ketika Morgan menarik tangannya, Morgan menatap lekat bola mata Intan. Lucunya, dia bahkan tak bergerak saat Morgan mencuri satu kecupan di pipinya.
"Wanna be my girlfriend?"
Plak! Kali ini Intan menepuk pipinya karena sempat tenggelam dalam ilusi. Dia segera bangkit karena lututnya hampir lemas setelah dicium dan dirayu sang playboy.
“Stres, lo! Jangan dekat-dekat gue lagi! Gue takut,” ucap Intan sambil terus berjalan meninggalkan Morgan.
Morgan belum beranjak. Dia menikmati punggung Intan yang semakin jauh meninggalkannya.
"Dasar nggak peka! Gue itu tadi beneran nembak lo, Intan."