Sore harinya, beberapa siswa tertarik untuk melakukan wall climbing. Sementara yang lain, takut untuk ambil resiko jika jatuh dari ketinggian mengerikan itu. Para mahasiswa membagi kelompok untuk mengikuti flying fox atau wall climbing. Hanya tersisa 7 siswa saja yang tertarik pada olahraga panjat dinding curam itu. Cukup mengerikan hingga d**a berdesir. Kebanyakan siswa memisahkan diri dan dipandu oleh dua mahasiswa lain untuk mengikuti flying fox.
Tersisa Crystal, Morgan, Intan, Emerald, Mutiara, Jimmy, dan Davin yang bersedia duduk di depan Ruby dan Ardin sebagai pemandu dari olahraga ini. Bisma dan Riska juga bersedia sambil menyusun tali, harness, dan persiapan lainnya.
Ardin tersenyum sambil memegang carabiner screw di tangannya.
"Saya rasa Kak Ruby dan yang lainnya sudah menjelaskan persiapan untuk wall climbing ini di kelas, 'kan?" ujar Ardin, sang ketua MAPALA.
"Udah, Kak!" jawab mereka, serempak.
"Oke, sekarang Kakak coba manjat dan perhatikan!" lanjutnya, lagi
Para siswa berdecak kagum, terutama yang hampir meleleh hatinya melihat aksi sang Leader MAPALA –Ardin-, dengan lincah mengajari memanjat di antara bebatuan. Kaki dan lengannya menapaki setiap batu dan terlihat sangat mengagumkan. Selang beberapa menit, Ardin kembali turun dan tersenyum untuk menawarkan para siswa yang berminat.
“Gimana? Ada yang berani?” tanya Ardin.
Emerald dan Mutiara bangkit dari duduknya. Crystal cemberut melihat keakraban keduanya yang semakin terjalin hari demi hari.
“Berani, kan?” bisik Emerald pada Mutiara.
“Iya, dong! Masa gini aja gak berani? Aku itu cewek cantik serba bisa.”
Uhk!
Intan terbatuk karena si centil itu terlalu percaya diri. Malas saja mendengar ocehannya yang memuakkan itu.
"Lo keselek laler, ya?" bisik Cystal.
"Keselek naga!"
Bisma dan Riska pun membantu memasang peralatan keamanan pada Emerald dan Mutiara. Crystal merasa tak senang mendapati kenyataan bahwa Emerald mulai menggantikan dirinya dengan sosok Mutiara.
Crystal pun bangkit dan mendekati Ruby, “Saya mau juga, Kak!”
Ruby mengernyitkan alis seraya berbisik, “Kamu yakin?”
“Kenapa? Kak Ruby gak mau masangin harness-nya ke saya? Maunya ke cewek-cewek seksi itu?” sengit Crystal.
Lagi, Ruby dijadikan objek kemarahan Crystal sebab kepalanya seakan meledak karena cemburu. Ruby hanya menghela napas saja, tak mau menegur Crystal yang berbicara kasar dan menjatuhkan wibawanya di depan yang lainnya. Tak ada pilihan, Ruby pun memasang perlengkapan wall climbing pada Crystal. Setelah selesai, Ruby juga berniat ikut menemani tunangannya itu.
"Oke, silakan!" perintah Ardin.
Emerald dan Mutiara pun cukup lincah memanjat. Crystal tak mau kalah. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih baik dibandingkan Mutiara. Selang dua menit, Ruby selesai dengan perlengkapannya dan dengan sigap memanjat juga.
Terjadi aksi pengejaran yang nyata. Emerald dan Mutiara tersenyum menikmati tantangan climbing kali ini. Crystal cemberut saja. Ruby pun hanya terus memantau tak jauh dari bawah Crystal, takut terjadi sesuatu pada si cantiknya itu.
“Perhatiin baik-baik! Konsentrasi, Crys! Fokus, ntar kamu jatuh,” teriak Ruby.
Crystal hanya menguntai senyum sinis dan berkata, “Kenapa jatuh? Apa gunanya semua alat pengaman ini? Kalau gue jatuh, lo yang tanggung jawab.”
Ruby diam saja dan terus mengawasi Crystal. Sementara itu, Crystal masih menatap Emerald dan Mutiara. Ruby terus saja menegur karena Crystal kurang memperhatikan injakan batu tanjaknya.
“Lo perfect, ya! Selain cantik, lo juga ga manja. Olahraga beginian aja, lo juga mahir,” puji Emerald.
“Of course! Cewek itu ga cuma harus cantik, tapi harus pintar dan berani.”
Crystal semakin kesal. Sigap, tatapan Ruby beralih pada perlengkapan wall climbing Crystal yang bermasalah. Entah pada tali atau harness-nya, dia sangat takut terjadi apa-apa pada Crystal.
“Crys! Turun, cepat!” teriak Ruby.
“Kenapa gue harus turun? Resek lo!”
Bisma, Riska, dan Ardin yang ada di bawah pun terkejut melihat reaksi Ruby. “Sial! Bahaya, nih!” ujar Riska.
Ruby terus memanjat dan hendak menjangkau Crystal. Gadis itu justru semakin sembrono dan mengejar gerak Mutiara yang sudah melesat jauh di atasnya.
“Crys! Jangan bandel! Cepat, turun!” pekik Ruby.
Melihat situasi ini, Emerald segera tanggap. Dia mengetahui seberapa keras kepalanya mantan kekasihnya itu. “Ra, kita turun aja.”
Emerald pun menoleh pada Crystal, "Crys, udah! Turun, yuk!"
Crystal tak mau kalah karena Mutiara tetap memanjat dan mengabaikan permintaan Emerald.
Crystal pun tetap kwras kepala dan semakin lincah menaiki batu tanjak.
“Ga! Gue ga mau turun. Gue ...”
Aaaaa!!!
Teriakan Crystal terdengar. Salah satu tali terputus sebab lapuk. Tanggap, Ruby memegang tali panjat Crystal yang berada di dekatnya, menekan pada figure eight hingga besi itu terus melukai telapak tangannya. Darah mengucur deras sebab telapak tangannya tergores.
"Ruby!" teriak Bisma.
Jantung Crystal seakan berhenti berdetak. Syukurlah dia tak terhempas jatuh ke tanah saat Ruby memeluk pinggangnya dan mereka bertahan pada satu tali panjat Ruby.
Ruby pun membawa Crystal turun. Hampir saja kecelakaan naas terjadi karena keteledoran mereka.
Wajah Ruby sangat kesal, Crystal masih shock karena hampir saja nyawanya melayang karena ego. Kawanan tersisa hanya bisa menghela napas untuk aksi dadakan dan heroik itu.
Ruby masih tampak marah, Crystal hanya menunduk sambil menangis karena ulahnya. Sementara itu, Ardin tak berani menyela karena hapal betul ekspresi kesal Ruby saat ini.
"Mau apa, hah? Mau mati? Masih keras kepala juga? Kalau tadi kamu jatuh, gimana? Segitu pentingnya, ya, mau sok jago di depan dia? Apa yang pengen kamu buktikan? Lebih berarti dia daripada nyawa kamu? Lain kali, dipikir lagi pakai akal sehat kamu!” pekik Ruby.
Crystal menangis tanpa suara. Hanya bisa menunduk sesekali menghapus air matanya. Malu sekali dimarahi Ruby di depan semua orang. Dia sadar bahwa dia salah. Pandangannya hanya tertuju pada telapak tangan Ruby yang berdarah. Segitu ceroboh dan tergesanya pria itu hingga rela memanjat tanpa sarung tangan. Darah segar itu terus menetes ke tanah.
Takut tak bisa menahan amarahnya lagi, Ruby pergi saja meninggalkan mereka. Crystal menghapus air matanya dan tak bisa bicara apa-apa lagi.
“Kakak minta maaf. Ini gak salah kamu sepenuhnya. Kak Ardin kurang teliti waktu meriksa perlengkapan panjat kamu," ujar Ardin.
"Ga, Kak. Aku yang salah. Aku tadi terlalu ceroboh. Aku minta maaf."
"Jangan diambil hati! Itu Kak Ruby pasti terlalu khawatir sama kamu," imbuh Riska.
Crystal pun kembali duduk di samping Intan. Emerald melihat dengan tatapan sendu. Karena masih khawatir dengan keadaan Ruby, Crystal segera berlari mencari-cari keberadaan tunangannya itu. Tak jauh dari pohon pinus, dia melihat Ruby duduk di atas sebuah batu. Matanya masih terlihat kesal. Ruby membersihkan tangannya yang masih berdarah karena tindakan heroiknya tadi. Crystal pun masuk ke tenda untuk mencari kotak P3K yang akan dibawanya. Lantas, dia mendekat untuk membantu Ruby menghentikan darahnya.
Ruby membisu. Crystal duduk di atas rerumputan, tepat di hadapannya. Dia memegang tangan Ruby tanpa mau menatap sedikit pun. Handuk basah itu membersihkan darah yang tersisa, lalu mengompresnya dengan es batu.
Tak ada kata yang mengisi keheningan mereka. Crystal tak berani melihat Ruby yang sejak tadi menatapnya. Saat mengobati tangan Ruby, sesekali dia menjatuhkan air matanya, lalu mengusap segera. Dia sangat menyesal karena selalu saja menyakiti Ruby. Kali ini bukan cuma hati Ruby, dia juga melukai tangan Ruby dan hampir mencelakakan nyawanya sendiri.
“Maaf." Suara Ruby terdengar.
Meski menangis, Crystal sedikit kesal karena justru Ruby yang mengutarakan maaf lebih dulu.
“Kenapa lo yang minta maaf? Lo ini anak kuliahan, tapi kenapa lo bodoh? Harusnya gue yang minta maaf! Lo cukup diam aja dan maafin gue. Kenapa lo harus terima perjodohan kita? Apa bagusnya gue? Harusnya lo marah karena tadi gue cemburu sama Mutiara! Gue masih punya perasaan sama Al! Harusnya lo marah, Ruby!"
Ruby selalu tersenyum melihat Crystal menangis. Bukan karena dia berniat menyakiti gadis itu, karena memang baginya, Crystal terlihat cantik saat menangis. Tangannya menghapus rinai air mata itu, lalu mendekatkan bibirnya di dahi Crystal. Mengecup penuh cinta.
“Bodoh? Apa sayang sama kamu itu satu kebodohan? Baiklah, aku akan mulai belajar jadi orang paling bodoh sedunia cuma agar aku bisa tetap belajar mencintai kamu."
Crystal menangis haru. Kenapa dia belum melupakan Emerald dan berlari ke pelukan Ruby sepenuhnya? Crystal terus merutuki diri. Dia segera berhambur dan memeluk bahu Ruby agar puas menangis sesunggukan di bahu pria itu. Ruby hanya tersenyum. Baginya, cukuplah perlakuan manis Crystal saat ini padanya. Ruby akan terus bersabar sampai Crystal bisa mengisi hati dengan dirinya dan melupakan Emerald.
"Kamu manja! Jangan nangis lagi, ya! Aku sayang kamu," bisik Ruby sambil mengusap kepala Crystal.
*
Malam menyapa. Banyak siswa yang asik membuat acara masing-masing hingga larut. Karena merasa para siswa ini sudah dewasa untuk melakukan kegiatan sendiri, para mahasiswa rasanya enggan mencampuri. Mereka hanya mengawasi dan mengingatkan saja. Tak jauh dari api unggun, di atas bentangan tikar biru itu, Emerald, Crystal, Mutiara, dan Intan asik bicara santai. Api unggun yang ada di samping mereka cukuplah menghangatkan suasana malam ini.
“Lo dingin gak, Ra?” tanya Emerald.
“Dingin banget, Al! Tapi gak terlalu juga karena lo ada di samping gue," goda Mutiara.
Crystal dan Intan semakin sebal melihat adegan romantis keduanya bak FTV saja. Emerald pun melingkarkan syal birunya ke leher Mutiara. Sesekali, dipegangnya lembut kepala gadis itu.
Ehm!
Intan terkejut saat Morgan duduk menghampiri mereka, tepat di samping Intan. Jantung Intan hampir saja meledak lagi, tapi sepertinya Morgan lebih memilih mengajak bicara Crystal.
“Lukanya agak parah tuh, Crys!” celetuk Morgan, tiba-tiba menyinggung soal Ruby.
Crystal menunduk, bungkam. Dia takut Morgan ini menyalahkannya di depan mereka.
"Dari tadi udah hampir tiga kali gue bantuin dia gantiin perban. Pengen rasanya cepat-cepat pagi, biar gue bisa langsung bawa dia ke rumah sakit. Takutnya ada apa-napa. Terakhir kali gue update, udah gak terlalu banyak lagi darahnya, sih.”
Crystal lega, untung saja Ruby sudah lebih baik dan Morgan tak marah padanya.
“Ntar malah nyokap marahin gue kalau sampai gue kabarin yang beginian ke dia. Anak kesayangan mama, tuh,” cibir Morgan.
Intan hanya tersenyum sambil menatap Morgan dan berkata, “Schedule hari ini berantakan, ya? Harusnya macarin cewek-cewek di sini. Eh ... malah ngurusin abang tercinta.”
Morgan diam saja. Emerald dan Mutiara yang dari tadi melihat mereka, enggan mencampuri. Emerald dan Morgan memang tak pernah berinteraksi. Morgan pun menoleh pada Intan.
“Kakak gue segalanya buat gue, Tan.”
Intan tertegun, bibirnya terus tersenyum sambil menatap Morgan.
‘Uhh! Makin cinta, deh, gue sama lo, Gan. Ternyata lo lebih sayang saudara lo ketimbang pacar lo yang setumpuk itu. Andai aja lo jadi pacar gue juga!’ batinnya.
Perhatian mereka teralih ketika Ruby datang bersama Bisma. Crystal menunjukkan raut cemasnya, kali ini sangat tulus.
“Lo ... udah gak apa-apa?”
Ruby duduk di samping Crystal, hanya mengangguk. “Ya. Aku gak apa-apa, kok!”
Bisma tersenyum melihat Crystal dan Ruby sepertinya mulai akur, lantas beralih menatap satu per satu ABG itu. “Oke, untuk ngilangin boring, main Truth or Dare aja, gimana?” seru mahasiswa kurus tersebut.
“Boleh!” seru mereka bersamaan.
Mereka membentuk lingkaran. Bisma sudah standby dengan botol kosong di tangannya, hendak berputar dan menunjukkan arah orang yang menjadi target.
“Oke ... kita mulai!”
Botol berputar 360 derajat, terus berputar hingga tepat berhenti dan menunjuk ke arah Emerald.
“Ada yang mau tanya ke gue? Gue pilih jujur aja, deh! Bahaya banget kalau tantangan. Entar, aneh-aneh pula malam-malam begini. Si Setan ini idenya gila-gila!” seru Emerald pada Intan.
"Dasar pecundang! Huh!” seru Intan.
Ruby menoleh ke arah Crystal yang dari tadi menatap Emerald. Entah apa yang dipikirkan gadis itu saat menatap mantan kekasihnya.
‘Gue berharap lo cepat pergi dari hati gue, Al! Gue pengen sepenuhnya cinta sama Ruby,’ batin Crystal.
“Biar aku yang kasih pertanyaan!” seru Ruby.
Crystal terkejut, semuanya menoleh. Ruby bersiap sambil menatap cemburu pada Emerald. Tak pernah sebelumnya Ruby menunjukkan kecemburuan terang-terangan begini.
“Seberapa besar perasaan kamu untuk mantan kamu?” tanya Ruby.
Emerald menatap tajam Ruby, lalu beralih pada Crystal. Emerald masih sibuk berpikir. Morgan saking bosannya, sempat-sempatnya mengusili rambut Intan.
“Gimana, ya, kalau rambut lo panjang kayak cewek-cewek cantik itu. Gue suka pacaran sama cewek yang rambutnya panjang,” godanya.
"Lo pacaran aja sama kuntilanak!" balas Intan.
Jawaban Emerald tentu saja dinanti oleh Crystal. Gadis itu menatap lurus mata Emerald. Tak ingin terlena akan cinta lama, Emerald segera mengalihkan pandangannya pada Mutiara.
“Yang jelas, di hatiku bukan cuma ada satu orang, tapi udah ada dua orang yang terus ada di sana. Mungkin seiring berjalannya waktu, aku akan pastikan terima seseorang itu dan nyingkirin yang lainnya. Karena buatku, ingatan indah dia berubah jadi menyakitkan.”
Crystal hancur mendengar sindiran Emerald. Ya, itulah hati mantan kekasihnya itu. Sudah bisa dipastikan bahwa yang ingin dia singkirkan adalah Crsytal. Karena sepanjang Emerald mengungkap kejujuran, matanya enggan lepas dari Mutiara.
“Uhhh! Romantis banget. Oke berikutnya, putar lagi, Al!” seru Bisma.
Botol diputar lagi dan tepat berhenti di Intan. Morgan sudah menatapnya, hendak mengusili cewek tomboy ini.
“Apa lo liat-liat?” tanya Intan.
Morgan tersenyum dan berkata, “Lo pilih jujur aja, ya! Biar gue tanya. Sebenarnya, lo suka ga, sih, sama cowok? Atau ... lo suka sama gue?”
Bugh! Bahu Morgan dipukul oleh Intan. Morgan merasa perih karena otot trisepnya itu tetap terasa panas karena hantaman Intan.
"Tangan lo yang selebar ayakan itu sakit banget kalau mukul," cibir Morgan.
Intan tak peduli. Sungguh, dia terus menghindari Morgan karena tak ingin terbelenggu jerat dan pesona playboy itu.
“Gue pilih tantangan aja. Males banget ngeladenin cowok stres di samping gue ini," seru Inta.
"Ck biar stres pun, lo tetep ... aja jadi Beverlous!” ucap Morgan.
Emerald menatap aneh, beraksilah dia dengan segudang rencana kejahilannya. “Gue tantang lo nyari kodok lima ekor," seru si bule.
“Hah?!”
Keras sekali teriakan Intan. Morgan yang di sampingnya saja sampai menutup telinga.
“Ih, itu mulut atau toa?” kesal Morgan.
Ruby tersenyum melihat keakraban Intan dan Morgan, “Ayo, ga boleh nolak.”
“Iya-iya!”
Intan bangkit sambil mengambil senter, Morgan berniat mengikuti Intan. "Ngikut, Mbak!"
“Ih, ngapain?” ujar Intan, berlagak cuek.
“Mau bantuin lo.”
“Idih, ogah! Gue bisa, kok.”
“Gue kasian sama ....”
“Ga perlu kasian sama gue. Gue bukan cewek-cewek centil yang sok cantik itu. Gue cewek mandiri.”
"Sorry, tapi gue kasian sama kodoknya. Belum jarak sepuluh meter, mereka pasti kabur ngelihat muka lo yang kayak macan ngamuk. Jadi, biar gue aja yang nangkep.”
Intan tak peduli, segera berlari meninggalkan Morgan. Morgan pun segera menyusul langkahnya. Tinggallah mereka di sana, permainan masih diteruskan.