Saat tengah hari, semua siswa berkumpul di dekat bus dan hendak berangkat ke Jakarta. Crystal sedikit lega melihat Ruby sudah lebih baik meskipun masih sedikit pucat. Morgan selalu standby di samping kakaknya itu. Hanya berselang beberapa detik mengalihkan perhatian, pandangan Morgan kembali lagi pada Ruby.
Pandangan Crystal terpusat pada Emerald. Kemarin Emerald berontak akan sikap Crystal yang tak bisa mengerti hatinya. Mantan kekasihnya itu sedang berjongkok sambil mengikat tali sepatu kets-nya.
Di sisi lain, Mutiara sedang asik bercanda ria dengan Genk Beverly. Entah apa yang menarik dari gadis itu. Crystal kesal karena Emerald mulai berpaling darinya. Mutiara menebar pesona sambil memainkan ujung rambutnya dengan jari. Senyum dan tawanya beriringan dengan yang lain.
“Cowok-cowok Beverly itu nomor satu, ya! Morgan manis, Davin ganteng, dan lo, Jim, cute banget!”
Mutiara memberi pujian di hadapan Jimmy dan Davin. Jimmy tersenyum sambil memegang ujung rambut pirangnya yang penuh gaya.
“Kita populer, loh. Oh iya, apa lo jadian sama si bule Emerald itu? Ih, apa bagusnya dia? Walaupun dia ganteng, dia kurang populer. Mendingan sama kita,” celetuk Jimmy.
"Yup. Emerald itu ga ada bagus-bagusnya. Body-nya kurus, cuma menang bule doang. Ga menarik. Mendingan lo sama kita aja. Udah populer, tajir, idola juga,” imbuh Davin.
Mutiara tertawa centil. Sepertinya dia sangat menikmati digoda kawanan playboy itu. “Ih, tapi kalian itu playboy. Stock pacar kalian banyak banget. Meskipun aku juga suka mainin cowok, sih, aku juga ga mau ikutan jadwal gilir. Aku harus jadi ratu!"
“Ya udah, lo coba jalan sama gue aja. Ntar gue putusin semua pacar-pacar gue. Mau?" tawar Davin.
Obrolan itu begitu mengasyikan sebab pikiran mereka sejalan. Setelah bosan mengobrol, Mutiara mendekati Emerald dan masih bersikap anggun dan centil. Tentu saja hal itu bikin gemas para adam yang menatapnya. Emerald tersenyum pada Mutiara. Sesekali, dia memegang kepala gadis cantik itu.
Crystal keki melihat Intan berjalan perlahan mendekati Mutiara dan Emerald. Di balik punggungnya, dia menyimpan kodok hasil tangkapannya semalam.
“Gue cuma dapat satu,” ujar Intan sambil menyodorkannya ke pada mereka.
“Aaaa!!!”
Si Mutiara menjerit keras. Gendang telinga Intan hampir pecah dan kodok melompat seakan tersenyum bahagia karena terbebas dari Intan. Mutiara pun memeluk Emerald, seluruh mata menatap mereka. Ada hati yang terluka melihat romantisme mereka. Dia sejoli itu terlihat canggung dengan rona wajah mereka. Entah kenapa, Crystal merasa terluka karena Emerald sudah punya perasaan pada siswi baru tersebut.
“Lebay banget lo, Ra! Gue aja mencet-mencet pake tangan kagak ada tuh sok-sok imut kayak lo," cibir Intan.
Cantik. Emerald terus menatap wajah Mutiara. Jantungnya berdebar sebab cinta, ataukah karena tertarik pada pesona dan kecantikan gadis ini. Emerald hanya ingin cepat melepaskan belenggu perasaan yang mengikatnya dulu dengan Crystal.
Emerald meraih tangan Mutiara, menatapnya serius. Aksi katakan cinta itu pun menjadi topik hangat dan perhatian para siswa.
“Mutiara, gue tau kita kenal baru beberapa hari. Lucunya ... gue segitu mudahnya tertarik sama lo. Apa karena lo cantik? Ya, lo cantik dan gue berharap rasa suka ini berubah jadi rasa sayang seiring waktu."
Mutiara tersenyum melihat kesungguhan di mata Emerald. Emerald menunduk sesaat, lalu kembali menatap mata Mutiara untuk melanjutkan ungkapan hatinya.
"Gue pengen banget lo jadi seseorang yang ada di sisi gue selama mungkin. Seseorang yang selalu ada dan ga akan ninggalin gue tanpa pamit. Seseorang yang akan selalu berbagi rasa sakit dan bahagia bersama. Mutiara, wanna be my girlfriend?”
Mutiara sangat bahagia saat aksi itu mengudang perhatian semua orang, menjadikannya ratu di samping pria bula ini. Siswa lantas bersorak. Aksi katakan cinta yang cukup menghibur.
"Tapi ... Lo tau apa kekurangan gue, 'kan? Gue ga mau nyakitin lo dengan semua sifat dan sikap gue.” Mutiara masih beralasan.
Emerald tersenyum, lantas memegang lembut pipi Mutiara. “Gue tau dan gue akan coba ngerti sepanjang perjalanan kita. Gue siap apa pun yang terjadi. Seenggaknya, yang gue rasain saat ini rasa sayang yang lebih buat lo.”
Tak ada harapan lagi. Rasa sakit singgah di hati Crystal. Sisa kenangannya dan Emerald pun menjadi racun yang saat ini merongrong hatinya.
'Al udah mulai bangkit. Aku harus apa? Kenapa rasanya sakit? Kenapa dia belum pergi sepenuhnya dari hatiku, Tuhan?' tanya hatinya.
Jawaban cinta Mutiara pun menjadi akhir runtuhnya pondasi cinta yang dibangun Crystal selama ini. Gadis itu mengangguk untuk menerima cinta Emerald.
“Iya, gue mau jadi pacar lo, Al," balasnya.
Para siswa tersenyum melihat aksi romantis itu. Adegan picisan itu diiringi teriakan para siswa yang meminta Emerald memeluk dan mencium Mutiara. Intan sangat prihatin. Dia hanya memandang Crystal yang jadi saksi katakan cinta itu.
‘Ck! Mereka pada ngomporin aja. Apa ga tau si Crystal udah lemes gitu?’ geram hati Intan.
Saat Emerald akan mencium pipi Mutiara, Crystal terkejut ketika bahunya ditarik oleh Ruby. Dia berbalik dan jatuh di dekapan hangat Ruby, tenggelam dalam bidang d**a Ruby yang begitu harum. Aroma itu seakan menyurutkan segala kegundahannya. Lengan Ruby memeluk tubuh mungilnya agar berlindung di baliknya.
“It's oke, Sayang. Aku di sini. Nangis dulu juga ga apa-apa. Aku tunggu kamu,” bisik Ruby.
Sakit. Crystal pun tak bisa menahan kesedihannya lagi dan menumpahkan air matanya di bidang d**a Ruby. Perlahan, rasa sakit itu akan berubah menjadi cinta berkat ketulusan Ruby untuk menerima perasaan Crystal.
'Selamat tinggal, Al. Mulai sekarang, aku akan jadikan Ruby milikku sepenuhnya. Kisah kita ... aku akhiri sampai di sini,' batinnya.
Sementara Crystal larut dalam pelukan Ruby, Intan sudah seperti teko air panas yang mengeluarkan uap mendidih. Dia kesal karena sahabatnya itu pacaran sama Mutiara. Di mata Emerald, hanya ada Mutiara seorang. Intan hendak masuk ke bus, tetapi tangannya ditarik oleh Morgan.
“Kalau kita, kapan jadian?” celetuk Morgan.
Intan ingat bahwa Morgan sudah dua kali meminta menjadi kekasihnya. Sampai detik ini pun, Intan hanya menganggap itu lelucon belaka mengingat label yang dimiliki pemuda ini di kalangan para gadis. Sang playboy handal.
"Ga! Gue ga mau jadi pacar lo!" pekik Intan.
Sebab terseret akan kemarahannya pada Emerald dan Mutiara, Intan memekik kasar hingga Morgan terkejut. Bisa dilihat dari binar matanya bahwa ketulusan itu ditolak mentah-mentah oleh Intan.
Perlahan, genggaman tangan Morgan melonggar. Akhirnya Intan menyadari bias mata pria itu dan menyadari bahwa memang Morgan serius sejak awal. Terlambat. Ada luka dan harapan yang hancur sebab kemarahan Intan.
“Maaf. Gue bukan bermaksud kasar, tapi ...”
Morgan hanya tersenyum tipis. Palsu. Intan justru merasa sakit melihat cara tersenyum pria itu.
"Ga perlu minta maaf. Salahku yang udah terlalu berharap banyak sama kamu. Kupikir kamu bisa bantu aku untuk keluar dari rasa sakitku. Kupikir kamu obat yang bisa bantu aku nyembuhin luka yang ditinggalkan Wita."
Lutut Intan terasa lemas. Apa yang baru saja dia lakukan? Dia menolak kesempatan yang diidamkan setiap gadis di Golden. Tidak, meskipun Morgan bukan seoranh idola, itu suatu kebodohan karena menolak perasaan orang yang dicintai.
"Kamu pengecut, Intan. Bahkan meskipun lo punya perasaan yang sama, lo ga berani untuk maju."
"Gue cuma takut ditinggalkan. Selama ini lo dan cewek-cewek itu ...."
"Tau apa lo, hah?!" Suara Morgan meninggi.
Intan terkejut dan mundur selangkah. Dia takut binar mata Morgan yang kemarin begitu hangat, berubah menjadi dingin sebab penolakannya.
"Lo bahkan belum memulai apa pun. Takut ditinggalkan? Gue yang paling tau rasa sakitnya. Apa lo pikir gue akan bermain-main setelah ngerasain gimana sakitnya tiga tahun ini?"
"Gan ..."
"Jangan bicara lagi sama gue!"
Morgan pergi meninggalkan Intan. Untuk pertama kalinya, Crystal melihat Intan menangis sesenggukan setelah cintanya kandas. Ruby dan Crystal pun mendekati, duduk di samping Intan yang tadi jatuh tersimpuh di rerumputan.
"Tan ...."
"Gue sayang banget sama Morgan. Lo tau gimana gilanya gue selama tiga tahun ini, 'kan? Gue salah. Gue pikir dia cuma mainin doang. Harusnya gue ga bicara sekasar itu sama dia."
Ruby merasa kasihan. Dia mengusap kepala Intan untuk menenangkan. Sudah sejak awal dia mengatakan pada Intan bahwa Intan adalah tipe gadis idaman Morgan. Hanya saja, Intan mengabaikan itu mengingat bagaimana sepak terjang sang playboy di kalangan siswi Golden.
"Kenapa kamu nolak Morgan? Apa kamu ga percaya?" tanya Ruby.
"Selama ini dia gandengan sama banyak cewek, Kak. Aku ngeliat itu tiga tahun ini. Perasaanku ke dia ini tulus. Aku takut ga bisa nahan sakitnya kalau nantinya dia ninggalin aku karena cewek lain," ulas Intan.
Mereka menatap Morgan di sana. Si playboy itu sudah mengambil posisi duduk di dalam bus yang sebentar lagi akan berangkat.
"Terkadang, seseorang yang terlihat ceria dan mudah bergaul dengan siapa aja, dialah orang yang paling menutup diri."
Ruby menjelaskan dengan lembut pada Ingan terkait perasaan Morgan. Dia berharap Intan mengerti apa yang diinginkan Morgan darinya.
"Mamaku bilang, pacarnya Morgan juga meninggal dalam kecelakaan itu. Dia yang tau gimana sakitnya ditinggal tanpa pamit. Selama ini dia kelihatan sibuk pacaran sana-sini itu karena dia berusaha menutup hatinya. Dia ga mau siapa pun masuk untuk gantiin Wita."
Intan terhenyuh. Dia menghapus air matanya dan melepaskan diri saat tadi dirinya bersandar pada Crystal.
"Tiga tahun ini juga sulit buat dia, Tan. Sejak bicara sama kamu, Kakak bahkan ga pernah liat dia keluyuran malam sama cewek-cewek itu. Morgan ga cerita apa-apa, tapi Kakak selalu merhatiin matanya saat dia bicara sama kamu."
"Morgan ...."
"Tolong terima perasaan Morgan. Walaupun memang belum sempurna, walaupun di hatinya masih ada luka karena Wita, kamu harus jadi penyembuhnya. Selama ini dia selalu jagain Kakak, Kakak lupa kalau dia juga butuh dilindungi. Bisa tolong bantu Kakak jagain dia?"
Intan hanya mengangguk. Satu tugas Ruby selesai. Morgan harus memiliki sandaran juga. Dia dan Crystal membimbing Intan saat pada mahasiswa lainnya mulai mengatur barisan untuk keberangkatan kembali ke Jakarta.
Perjalanan di bus tak terlalu riuh seperti saat berangkat. Banyak dari mereka yang tertidur karena lelah. Mungkin semalaman mereka bergadang hingga detik ini masih terasa kantuk.
Tak terasa, bus tiba di pelataran sekolah. Para siswa membubarkan diri dengan jemputan orangtua ataupun dengan kendaraan umum dan ojek online. Crystal hendak menegur Intan, tetapi sepertinya sahabatnya itu sedang kacau. Morgan juga tak bersemangat. Saat melihat mobil jemputan sudah tiba, dia masuk saja ke dalam mobil.
"Pada galau semua, ya!" keluh Crystal.
"Ayo pulang!" ajak Ruby.
Mobil itu pun meninggalkan sekolah dan melintasi jalan raya. Crystal juga sangat lelah. Dia bersandar hanya agar bisa beristirahat. Morgan juga tak bicara, hanya asik menyumbat telinganya dengan earphone.
"Baru kali ini aku liat playboy galau," usik Crystal.
"Jangan digangguin! Nanti dia ngamuk," tandas Ruby.
"Morgan kalau marah, gimana?"
"Jangan tanya! Serem banget. Kalau yang biasanya ceria, pasti ngamuknya itu bakal lebih nyeremin. Aku sempat dimarahin sama Morgan waktu ga ada kabar seharian. Sampe sekarang masih aku ingat gimana mukanya waktu itu. Berasa ditelen idup-idup," kekeh Ruby.
Crystal tertawa kecil. Saat dia bersandar ke sisi bahu Ruby, dia tak sengaja menyentuh leher Ruby dan mendapati suhu tubuh tunangannya itu cepat sekali naiknya.
"Jadi panas banget gini?" cemas Crystal.
Crystal merasa bersalah. Tak ada kata yang keluar dari bibir Ruby saat tangannya yang berbalut perban itu ditatap Crystal. Gadisnya itu memegang pergelangan tangannya, mendekatkan ke sisi pipi mulus Crystal.
"Maafin aku, cepat sembuh, ya!"
"Hm!"
Ruby menatap Crystal yang begitu menggoda saat gadis itu mendekatkan jemari Ruby ke bibirnya. Menciumi beberapa kali. Tangan itu menyelamatkannya dari mimpi buruk. Jika saat itu Ruby tak tanggap, mungkin dia bisa patah tulang atau tak bernyawa jika jatuh dari ketinggian itu.
"Crys ...."
Hawa panas seakan tercipta dari keheningan dalam mobil. Ruby mendekati wajah Crystal karena ingin menciumnya lagi. Terakhir kali masih dia ingat rasa manis kecupan gadis itu, seakan penuh candu untuk melakukannya lagi.
Ehm!
Keduanya terkejut dan menjauh. Akhirnya mereka sadar bahwa dunia ini tak hanya ada mereka. Sang supir tersenyum sambil menatap spion.
"Yang lagi kasmaran, euy! Ntar tamat sekolah Mbak Crystal, nikah aja langsung, Den!" serunya.
Crystal hanya tersipu malu, ekspresi Ruby berubah sendu. Dia beralih ke kaca jendela, menatap langit. Hanya tiga bulan lagi dan jalan hidupnya telah diputuskan. Tidak. Ada satu nama dari masa lalunya yang masih mengganjal.
'Cassie, kamu di mana sekarang?' batinnya.
Jalanan akan sedikit panjang karena siang hari dihuni banyak kendaraan roda empat. Ruby mengisi waktu dengan lamunan, sementara Crystal dan Morgan sepertinya ingin beristirahat.
*
Mobil berhenti tepat di depan rumah Crystal. Sepanjang perjalanan tadi, Morgan tak bicara. Ruby pun enggan menegur dan hanya sesekali bicara pada Crystal.
"Itu jangan lupa tangannya diobatin. Nanti kalau ga sibuk, telepon aku, ya!" ujar Crystal sebelum turun dari mobil.
"Iya. Istirahat aja, ya!"
Beriring lambaian tangan, mobil itu melaju meninggalkan pelataran. Begitu bahagianya Crystal di samping Ruby. Kisahnya dan Emerald telah usai. Lantas, dia menatap ponsel, belum ada panggilan masuk dari seseorang yang dinantinya.
"Beneran ga ngucapin selamat ulang tahun, ya! Jahat!" gumamnya.
Crystal masuk ke rumah dan mendapati rumah begitu sepi. Dia mendekati si bibi yang sedang menyiapkan menu di atas meja makan.
"Sepi banget rumah, Bi!" ujarnya sambil menarik kursi dan duduk.
"Oh, itu tuan dan nyonya buru-buru banget tadi ke bandara. Tuan ada project di Malaysia."
Pupilnya membesar dan berkata, "Ih! Seriusan? Padahal ini hari ulang tahunku," gerutu Crystal sambil menancapkan udang dengan garpu, lalu melahapnya.
Bibi tersenyum. Dia mengambil sepiring nasi untuk disajikan pada majikan mudanya ini.
"Non mau makan siang? Bibi ambilin, ya! Cuci tangan dulu, sana! Atau mau mandi dulu?"
"Mandinya nanti aja, deh. Aku udah laper banget."
Setelah membersihkan tangan dan kaki di toilet sudut, Crystal menikmati santapan siang seorang diri. Sedikit cemberut, bibi tua itu pun duduk di sampingnya.
"Jangan manja atuh, Non! Udah gede ini. Bentar lagi malah mau nikah. Marah karena ga dikasih surprise, ya?" godanya.
"Ya ga harus dikasih surprise juga, Bi. Lagian ini juga bukan sweet seventeen. Tapi sedih aja kalau di hari penting gini malah ga ada orang."
"Den Ruby?"
"Ada insiden kecil waktu kemping. Tadi juga pas aku sandaran, terasa banget kalau badannya panas. Itu pasti sampai rumah, langsung dikekepin sama mamanya, disuruh istirahat. Aku ga mau ganggu dia."
Bibi tak menyahut lagi. Menit berlalu hingga akhirnya Crystal menyelesaikan makan siangnya.
Crystal berjalan gontai menaiki tangga ke lantai dua. Sepi sekali rasanya. Saat menghentak knop pintu, Crystal terkejut melihat kepingan-kepingan kertas kecil yang menyembur dari ledakan konfeti itu.
"Happy birthday!!!"
Kamarnya dihias sedemikian cantik dengan tart di atas meja. Ranjangnya juga diisi dengan tumpukan kado. Kado terindah justru berdiri di depan matanya. Senyum yang cantik, hidung mancung dengan bibir tipis. Kulit sawo matang dengan binar mata cokelat. Pria jangkung itu berdiri tepat di hadapan Crystal sambil memegang bucket mawar merah.
"Surprise!" katanya, lagi.