Crystal sangat bahagia hingga hampir menangis. Dia berlari dan menabrakkan badannya untuk memeluk bahu kekar itu. Pijakan keduanya limbung hingga jatuh ke kasur. Crystal tersenyum, sedikit mendekat untuk mencium pipi pria itu.
"Jahat! Aku tungguin dari kemarin kenapa ga ada ucapan. Ternyata Kak Arthur udah sampai sini aja!" sebalnya.
Pria itu tak lain adalah Arthur, kakak angkat Crystal yang sudah bersamanya sejak kecil. Crystal terus beringsut ke pelukannya, Arthur hanya tersenyum sambil membelai rambut legam Crystal.
"Sebenarnya Kak Arthur juga belum dapat jatah libur. Ini aja izin pakai bohong kalau nenek sakit parah dan harus dioperasi. Pake adegan nangis-nangis segala biar dikasih izin."
"Tapi, Kak, nenek kita udah meninggal lima tahun lalu."
Arthur tertawa. Crystal segera beranjak dan mereka duduk santai di kasur.
"Maafin Arthur, Nek!" ujarnya sambil menengadah ke atas.
Crystal hanya tertawa. Dia mengambil tart di atas meja dan membawa ke pangkuannya. Arthur melindungi lilin itu yang sedikit tertiup angin agar tidak padam.
"Mau tiup lilin, ya? Make a wish, gih!"
Crystal memejamkan mata. Dia menggantungkan harapan pada tiupan lilin berangka 18 itu. Ada banyak keinginan yang ingin dia capai tahun ini.
'Berikan Ruby padaku, Tuhan. Ini hari baru dan mulai sekarang, aku cuma akan fokus sama Ruby. Lebih bagus lagi kalau Ruby juga jatuh cinta sama aku,' doanya.
Crystal membuka mata dan meniup lilin itu. Dia memberi suapan kue dan menerima hal yang sama dari Arthur. Arthur mengambil bingkisan kecil dan dia berikan pada Crystal.
"Ini apa, Kak?"
"Bom."
"Seriusan, ih?"
"Ya buka aja."
Crystal membuka plastik kado dan menemukan kotak putih di dalamnya. Saat dibuka, kalung cantik menyembul dari bantalan merah. Sangat cantik, bening berkilau. Crystal menariknya dan memandang bandul berbentuk segi lima itu.
"Cantik banget!" kagum Crystal.
"Kakak udah lama nabung untuk beli itu. Itu batu kristal langka dan ga banyak diproduksi di tahun ini. Cuma ada 20 pcs."
"Seriusan? Makasih, Kak!"
Crystal sangat bahagia dan memeluk Arthur. Arthur hanya tersenyum, begitu menyayangi dan mencintai adik kecilnya ini.
"Pakai, ya!"
"Iya."
Crystal mengangkat rambutnya dan memunggungi Arthur. Arthur membuka kaitan itu dan memasangkannya di leher putih dan mulus Crystal. Adik kecilnya yang cantik dan manja. Arthur hanya menatap tengkuk pucat Crystal seiring bergulirnya detik, terbius sepenuhnya.
"Bengong, ih!"
Arthur tersadar dan mengukir senyum. Kalung itu begitu serasi tergantung di leher Crystal. Batu kristal yang cantik, persis seperti pemiliknya.
"Trus, kado dari tunangan kamu apa?"
Saat ditanya Arthur, entah kenapa pikiran Crystal tertaut pada kejadian tadi malam. Jantungnya berdegup kencang. Ruby sudah selangkah lebih dekat. Crystal ingin memiliki pria itu sepenuhnya. Kecupan bibir Ruby masih terasa di bibirnya. Perlahan, wajahnya bersemu merah dan terasa panas.
"Hei! Malah bengong. Dapat kado apa?" seru Arthur.
Crystal sangat malu, lantas mengalihkan perhatian ke sisi lain. "Marshmallow merah muda. Lembut dan manis."
"Eh?"
"Oh iya, berapa lama Kakak di sini? Seminggu?"
"Besok sore juga harus balik," ujar Arthur.
Crystal kesal. Dia mengambil bantal dan memukuli bahu kakaknya itu. Arthur justru tertawa melihat cantiknya Crystal saat marah.
"Sehari doang? Trus nanti pergi lagi, baliknya setengah tahun lagi?" dumelnya.
"Ya mau gimana lagi? Namanya juga tuntutan hidup."
"Udah, sana! Aku mau tidur. Jangan ganggu! Aku marah, pokoknya!"
Arthur menarik pergelangan tangan Crystal agar lebih dekat saat dia ingin mencium pipi putih itu. Kecupan yang manis. Crystal bahagia ketika dicintai Arthur, tetapi cinta yang dimiliki Arthur itu berbeda versi dengannya.
"Selamat ulang tahun, Sayangku."
"Iya-iya!"
Arthur turun dari kasur saat Crystal berbaring memunggunginya sambil memegang ponsel. Arthur hanya menatap sejenak wallpaper ponsel Crystal. Wallpaper Ruby, tunangannya.
Arthur keluar kamar. Crystal pun uring-uringan sambil menunggu pesan atau panggilan masuk. Kling! Pesan masuk dari Intan.
[Sorry, kelupaan. Happy birthday, Crys. Semoga wish lo tercapai semua. Maaf ya ga bisa kasih kejutan atau mampir, gue masih galau.]
Crystal pun membalas segera.
[Iya, ga apa-apa. Makasih, ya! Atau gini aja, besok siang kita main ke rumah Kak Ruby, ya? Kamu ikutan. Ntar di sana bisa ngobrol baik-baik sama Morgan.]
Kling! Menit berlalu, Intan segera membalasnya.
[Ga, deh! Biarin aja Morgan tenang dulu. Ntar gue pikirin caranya gimana buat bujuk dia. Sekali lagi, happy birthday, Crys!]
Crystal tersenyum. Si tomboy itu kini diserang virus galau karena cinta. Kling! Pesan masuk datang dari Ruby.
[Maaf, harusnya hari ini kita rayain ulang tahun kamu, tapi kayaknya ini mama lagi ribet banget, nyuruh aku istirahat terus. Besok datang ke rumah, ya! Aku punya sesuatu buat kamu. Happy birthday, Sayangku.]
Blush! Hanya kalimat itu saja, wajah Crystal begitu merah karena malu. Dia sangat kasmaran sebab Ruby memperlakukannya begitu manis. Kedua hati mereka sudah saling terbuka untuk memulai lagi dari awal. Menyingkirkan masa lalu dan mulai meniti cinta menuju masa depan. Perhatian Crystal beralih pada nama kontak Ruby. Dia pun mengubahnya sebelum membalas. Dari Calon Tunangan, berubah menjadi Calon Suami.
[Iya, ga apa-apa. Istirahat aja. Aku juga capek banget. Jangan lupa minum obat dan vitamin. Besok aku mampir ke rumah kamu. Aku sayang kamu, Ruby.]
Kasmaran. Rasanya hati Crystal ingin meledak. Karena tak ingin mengganggu Ruby dengan perasaannya ini, Crystal pun mematikan ponsel, lalu diletakkan pada nakas. Karena sangat lelah, dia begitu cepat jatuh tertidur.
Beberapa jam berlalu dan sepertinya Crystal begitu lelah hingga belum terbangun saat senja menyapa. Krik! Arthur membuka knop pintu, berjalan mendekati kasur. Crystal tidur dengan posisi menyamping di sudut kasur. Arthur setengah berjongkok di lantai, menikmati wajah cantik Crystal yang begitu pulas dalam tidurnya.
Tangannya terangkat dan memperbaiki helaian rambut Crystal yang menutupi wajahnya. Arthur hanya ingin terus menatap wajah itu dari dekat. Detik berlalu beriring degupan jantungnya. Crystal memang sangat cantik.
"Masih ada tiga bulan lagi, Crys. Kakak akan pastikan kalau Kakak lebih baik dari dia."
Arthur menghela napas berat. Sudah sejak tadi dia menatap bibir cherry gadis itu. Sangat cantik. Berulang kali pelupuk mata Arthur mengerjap, berusaha mengendalikan diri dari sulitnya pengaruh akan pesona kecantikan Crystal.
Tidak. Arthur tak dapat menahannya lagi. Terakhir kali bertemu enam bulan lalu, Crystal berubah sedemikian cantiknya. Apakah karena dia semakin dewasa? Mungkin karena dia sedang kasmaran.
Hanya beberapa detik dilalui oleh Arthur untuk mencuri satu ciuman Crystal. Beruntung Crystal tak terbangun. Cinta yang dianggap Crystal hanya bentuk rasa sayang seorang kakak, kini perasaan itu terlihat nyata seiring bertambah usia.
Bagi Crystal, Arthur hanya kakak yang menemaninya sejak kecil sampai sekarang. Crystal mencintainya sebagai sosok kakak yang begitu hebat. Namun di balik itu semua, hasrat yang dimiliki Arthur tak lagi bisa terbendung. Dia ingin memiliki gadis kecil ini. Sampai saat ini rahasia itu tersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk mengutarakannya.
"Bersabarlah, Sayang! Tiga bulan lagi ... Kakak akan jujur ke Mama-Papa tentang perasaan Kakak. Kakak yakin Crystal bisa bahagia dengan Kakak. Aku cinta kamu, Crystal."
Cinta yang tulus dibalas dengan cinta egois sepihak. Akankah keluarga Kusuma bisa memahami itu?
*
Krik! Arthur membuka pintu kamar Crystal usai sarapan. Dia melihat adiknya itu sedang berhias cantik di depan cermin. Crystal memang cukup feminin. Dress selututnya itu sangat cantik memperlihatkan sebagian paha putihnya. Make up cantik berhias rona merah pipi dan bibir cherry berwarna pink. Sangat cantik. Arthur melihat perubahan gadis kecilnya ini semakin dewasa setelah enam bulan tak bersua. Mungkin karena dia menjalin hubungan dengan pria yang lebih dewasa darinya. Berbeda sekali tampilannya saat masih berkencan dengan Emerald.
"Cantik banget, mau ke mana?" tegur Arthur.
"Mau ke rumah Ruby, Kak. Dia lagi sakit, makanya mau jenguk dia," jawab Crystal sambil menjepit bulu matanya.
"Padahal Kakak pulang sore ini juga. Harusnya kamu di rumah aja nemenin Kakak."
Crystal tertawa saat ada nada cemburu pada protes Arthur. Dia berbalik dan mendekati kakaknya itu. Tawanya sangat indah sambil menggantungkan lengan di bahunya.
"Iya, sih. Tapi gimana? Aku udah janji sama dia. Lagian dia juga sakit karena aku. Atau ... Kakak ikut aku aja, mau? Sekalian aku kenalin."
Arthur tersenyum tipis, entah Crystal sadar atau tidak bahwa ada gurat kecewa di wajahnya.
"Ga, deh. Ntaran aja. Nanti ganggu kalian. Kayaknya kamu lagi kasmaran banget. Oh iya, si bule itu dikemanain?"
"Ya udah putus, Kak. Dianya juga udah punya cewek lain," seru Crystal, sedikit sedih.
"Ooh."
"Ya udah, kalau gitu aku pergi dulu, ya!"
Crystal mengambil tas kecil di atas kasur, lantas mencium pipi Arthur sebelum pergi. Arthur merasa kesal karena sekarang perhatian Crystal terbagi pada pria lain.
"Padahal Kakak cuma sehari bareng kamu, Crys. Kamu malah lebih milih dia."
Crystal pun meminta supir mengantarkannya ke rumah Ruby. Dia sangat merindukan si tampan itu. Tak lama, mobilnya tiba di pelataran. Sudah tak sabar rasanya untuk menemui Ruby.
"Eh, Crystal?" sambut Tante Rose, ibunya Ruby.
"Aku pengen jenguk Ruby, Tan."
"Udah agak baikan dianya, Sayang," jawab beliau.
"Kayaknya kemarin Tante bilang mau pergi makanya ngasih kado ulang tahunnya dicepetin."
"Niatnya gitu, tapi ntah kenapa perasaan Tante ga enak. Ternyata bener, ada apa-apa sama Ruby."
Crystal tertawa karena wanita cantik berusia empat puluhan itu begitu memanjakan Ruby layaknya anak perawan satu-satunya.
"Tante ngurusin Ruby seprotektif itu. Ntar kalau dia udah nikah, istrinya cemburu, loh," celoteh Crystal.
Tante Rose tersenyum sambil mengusap kepala Crystal. "Ga, lah. Setelah nikah, Tante akan ngasih tanggung jawab Ruby sepenuhnya sama kamu. Tante bisa tenang, deh."
Crystal hanya tersenyum. Dia pun masuk ke kamar Ruby untuk melihat kondisi tunangannya itu. Krik! Pintu terbuka. Ruby sedang duduk di kasur sambil membaca buku bisnis. Dia melepas kacamatanya dan menguntai senyum saat sang kekasih datang.
"Pagi, Sayang," sambut Ruby.
"Hm, pagi."
Ini hari baru dan debaran baru. Entah kenapa Crystal sangat canggung. Dia pun tak tahu harus bicara apa lebih dulu. Meski berbaring di kasur, wajah Ruby juga tak sepucat kemarin. Mungkin lebih tepatnya saat ini dia sedang dikurung oleh ibunya yang sangat protektif itu.
"Kamu ... udah baik-baik aja, kan?" tanya Crystal.
"Duduknya jauh banget. Mau naik ke sini, ga?"
"Ah? Eum ...."
Crystal sangat malu. Dia sedikit menunduk sambil menyelipkan helaian rambutnya yang jatuh ke balik telinga. Ruby tersenyum menyadari rona canggung tunangannya itu.
"Jangan takut, Sayang! Sini! Ada yang mau kukasih sama kamu," kata Ruby sambil menepuk kasur di sisi duduknya.
Crystal pun naik ke kasur tidur Ruby. Pria itu menariknya lebih dekat agar Crystal bisa bersandar di bahunya.
"Semalam ulang tahun kamu, tapi kita ga bisa ngerayain berdua. Kamu sebel, ya?" tanya Ruby.
"Ga, kok. Aku juga bukan anak kecil, ga perlu dirayain juga."
"Atau ... kamu mau pergi ke mana? Kita bikin planning."
"Ga usah, By. Kamu istirahat aja. Lagian udah akhir bulan ini. Kayaknya aku udah mulai serius untuk ujian akhir. Ntar akhir bulan udah mulai ujian praktek."
"Iya, sih. Setelah itu, kita nikah, 'kan?"
Crystal terkejut. Dia menoleh pada Ruby yang tersenyum cuek. Pipi Crystal bersemu merah. Menikah? Meskipun tahu itu sudah dirancang kedua keluarga, tetap saja dia malu saat membayangkannya.
"Iya. Mau, kan? Aku juga ga mau lama-lama lagi. Aku sayang kamu dan ga mau jauh-jauh lagi dari kamu."
"Kamu gombalin aku, ih? Ternyata kamu player juga, ya!" Gelak tawa Crystal terdengar.
Ruby meraih sebuah kotak di bawah bantal. Senyumnya terhenti melihat sesuatu di leher Crystal. Menyadari arah pandangan Ruby, Crystal menunduk. Dia tersenyum sambil memegang kalung berbandul batu kristal itu.
"Ini hadiah ulang tahun dari Kak Arthur. Dia baru aja balik, ada di rumah sekarang. Tadi mau kuajak ke sini, kenalan sama kamu. Ga mau dia, mungkin capek."
Ruby tak menjawab. Crystal pun menoleh pada kotak merah di tangan Ruby. Dia mengambil benda itu.
"Ini hadiah ulangtahun untukku?" tanya Crystal.
"Tapi kayaknya kamu ga bisa pakai itu."
Flip! Crystal membukanya. Kalung cantik dengan bandul berbentuk hati berwarna merah itu membuat Crystal takjub. Sangat cantik. Kilaunya terpendar indah. Tak bisa Crystal taksir berapa harga kalung mewah itu.
"Happy birthday, ya! Maaf, cuma bisa ngasih itu," ulas Ruby.
"Jadi ... kalung rubi ini untukku?"
Ruby mengangguk. Dia tersenyum melihat ekspresi manis Crystal untuknya.
"Ya, rubi itu milik kamu, sekarang."
Ruby terus menatap mata Crystal. Keduanya tengah kasmaran. Ruby terkejut saat Crystal mencengkram pijamanya di d**a agar lebih mudah untuk berbisik.
"Lalu Ruby yang ini ... apa milikku juga?" bisiknya, mesra.
Crystal sangat tergoda dengan pesona Ruby. Dia beringsut lebih dekat hanya untuk mencium pipi Ruby. Tak dia sadari raut wajah Ruby berubah. Perkataan Crystal terdengar familiar. Ingatan masa lalu kembali terngiang di telinganya.
Jadi ... kamu kasih kalung rubi ini untukku?
Iya, kamu suka?
Lalu Ruby ini ... apa bisa jadi milikku juga?
Ruby menunduk, menahan sakit yang kini menyerang kepalanya. Ada Crystal. Ruby berusaha menahan diri sambil menggigit lower lip-nya. Crystal sangat bahagia. Dia menarik kalung itu dari bantalan, melepaskan kalung kristal pemberian Arthur untuk digantikan dengan kalung rubi itu.
Kling! Sambil menahan sakit, Ruby mengambil ponsel di atas nakas. Dia menyambut panggilan dari nomor tak dikenal itu.
"Ha-halo," sapanya.
"Ruby ... ini aku, Sayang. Aku kembali. Tolong maafin aku."
Meskipun tak tahu siapa yang menghubunginya, suara itu sangat familiar di telinga Ruby. Ponsel-nya terjatuh, Ruby tak bisa lagi menahan sakitnya. Akhirnya Crystal sadar melihat wajah kesakitan Ruby.
"By, kamu kenapa?" cemas Crystal.
"Arrgh ...."
Crystal pun memeluk Ruby. Erang sakitnya menggetarkan hati Crystal. Hanya sepintas cerita yang dia dengar dari Ruby tentang sisi lain sang tunangan, ini pertama kalinya dia melihat langsung. Ruby pernah cerita memang dia punya vertigo, tetapi amnesia sebab kecelakaan itu memperparah penyakitnya.
"Kepalaku sakit. Pergi dari sini," rutuknya.
"Ga, aku ...."
"Pergi, Cassie."
Crystal terkejut. Mungkin karena Ruby tak menaruh konsentrasi penuh, Ruby memanggil nama wanita lain tanpa sengaja. Apa yang terjadi? Tak ingin menyimpan kecemburuan dalam situasi genting ini, Crystal pun berteriak memanggil orang-orang rumah.
"Tante!Morgan!"
Crystal harap jeritnya bisa terdengar. Dia tak bisa melepas Ruby yang saat ini begitu menderita. Tanpa sadar, Ruby mencengkram kedua bahu Crystal hingga gadis itu meringis sakit karena terluka sebab kuku Ruby.
Tak lama, Mama Rose dan Morgan datang, diikuti para pelayan. Mereka sangat cemas melihat kondisi Ruby yang belakangan ini semakin buruk.
Morgan menarik tangan Crystal, membawanya turun dari kasur.
"Kamu pulang aja, Crys," pinta Morgan.
"Ga! Aku mau di sini. Ruby sakit, Gan. Aku ...."
"Please."
Morgan berhasil mendorong Crystal keluar dan menutup pintunya. Crystal menangis karena dalam erang sakitnya, Ruby merapal nama Cassie terus-terusan. Apakah masa lalu Ruby kembali menghantui?
"Dia milikku, kan? Ga ... jangan biarkan dia kembali, Tuhan. Ruby milikku. Aku ga akan lepasin dia untuk siapa pun."
Crystal masih sangat mencemaskan Ruby. Beberapa jam dia menunggu di teras luar. Dia hanya ingin tahu keadaan kekasih hatinya itu. Tak lama, Morgan keluar dan terkejut karena Crystal masih menungguinya sejak dua jam lalu.
"Lo ...."
"Gimana keadaan Ruby, Gan? Dia baik-baik aja, kan? Please, gue pengen tau."
Tak tega melihat kesedihan Crystal, Morgan menarik tangannya, meminta untuk duduk santai. Morgan mengulas senyum menyadari mantan kekasih si bule itu sudah jatuh hati sepenuhnya pada Ruby.
"Kayaknya lo serius sayang sama Ruby, ya? Padahal dari tadi udah gue suruh pulang."
"Apa vertigonya tambah parah? Tadi abis terima telepon, dia langsung kesakitan dan terus nyebut nama Cassie."
Morgan terkejut mendengarnya. Sepertinya memang Ruby sudah percaya pada Crystal hingga dia sedikit menyingkap tabir masa lalunya.
"Apa ingatannya mulai pulih? Kalau ingatan itu terus mengganggu, vertigonya makin parah, 'kan? Ini harus gimana ... apa kita harus beneran cari Cassandra?" lirih Crystal.
Morgan terlihat pasrah, justru kasihan pada Crystal. "Ruby cerita banyak ke lo, berarti Ruby udah percayakan setengah hatinya buat lo. Tapi untuk datangkan Cassandra lagi dalam hidup Ruby ... itu cuma akan bikin lo tersingkir selamanya, Crystal."
Crystal belum menyahut. Raut wajah Morgan berubah dingin, hanya bersandar pada dinding tanpa menoleh pada Crystal.
"Vertigonya sebenernya ga masalah. Cuma kalau dia dipaksa ingat tentang masa lalunya, vertigonya bisa makin parah. Harusnya akan baik-baik aja kalau dia bisa ingat semuanya. Tapi ...."
"Cassandra itu kunci ingatannya, 'kan?"