Pinjaman Uang

2018 Kata
Marwa sudah berada di ruang rawat inap. Renima dan Farhan masih setia menemani Marwa di sana. Namun saat ini, hanya Renima saja yang ada di ruang rawat inap itu, sementara Farhan pergi untuk menyelesaikan urusannya. Kondisi Marwa pun saat ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. “Makan dulu ya,” lirih Renima seraya menyodorkan sesendok makanan ke mulut Marwa. “Aku nggak nafsu makan,” balas Marwa seraya menolak makanan yang disodorkan saudara sepupunya itu. Marwa terus menatap ke arah jendela yang terbuka. Ia sengaja meminta Renima membuka lebar gorden jendela dan membuka jendela itu agar udara dari luar bisa masuk ke dalam. “Marwa, kamu harus makan. Katanya mau sehat.” Bukannya menjawab, Marwa malah menangis. Pandangan matanya masih lurus menatap pemandangan di luar ruang rawat inap. Langit hitam itu tampak semakin pekat karena tidak ada satu pun bintang yang terlihat. Semua keindahan di atas langit tertutup oleh awan tebal yang sebentar lagi akan menurunkan hujan. “Marwa ….” “Aku harus balas dendam. Aku harus balas semua yang sudah dilakukan Aldo padaku. Tidak hanya padaku, tapi pada ayah juga. Ia sudah membunuh ayah. Ia sudah merencanakan semuanya. Pantas saja waktu itu ia bersikeras ingin membantu mengurus asuransi ayah. Aku begitu bodoh, terlalu percaya padanya dan orang tuanya.” Marwa terisak. Suaranya bergetar, kerongkongannya tercekat. Ke dua tangannya tampak menggenggam kuat. Begitu pedih perasaan yang dirasakan oleh Marwa saat ini. Hidup bahagia usai pernikahan yang selama ini ia impikan, ternyata tidak dapat direngkuhnya. Renima menghela napas, “Jadi kamu ingin balas dendam?” tanya Renima. “Iya dan itu harus.” “Kalau memang kamu ingin balas dendam, kamu harus makan. Kamu butuh banyak tenaga untuk membalas semua perlakuan keji Aldo dan keluarganya. Tidak hanya Aldo dan keluarganya, tapi Jihan juga.” Marwa mengalihkan pandangan ke wajah Renima, “Ima, maaf karena selama ini aku tidak percaya dengan kata-kata kamu. Kamu sudah mengingatkan aku perihal Jihan, tapi aku terlalu percaya padanya. Pikiranku terlalu sempit.” Renima tersenyum kecil, “Itu karena kamu terlalu baik pada semua orang. Sudahlah, sekarang kamu fokus saja dulu pada kesehatan kamu. Besok aku akan ke rumah sakit dan mengambil semua dokumen kamu.” “Kamu yakin bisa mengambilnya? Aku rasa pihak rumah sakit akan menahannya sebab kita belum membayar biaya rumah sakit.” “Memang berapa total biaya yang harus dibayarkan?” “Sekitar sembilan puluh juta, atau mungkin lebih. Aku tidak tahu pasti karena mereka tidak pernah memberi tahuku.” Renima menghela napas, “Aku tidak punya uang sebanyak itu. Aku hanya punya tabungan tiga puluh juta saja.” “Ima, aku punya tabungan rahasia. Aldo, keluarganya atau siapa pun tidak ada yang tahu. Nilainya lumayan. Tapi sayangnya aku tidak menghubungkan tabungan itu pada mobile banking manapun. Aku tidak ingin Aldo atau siapa pun tahu. Tapi sayangnya aku butuh KTP untuk mengurusnya, sementara KTP itu masih di rumah sakit.” “Tetap saja kita harus bayar dulu tagihan rumah sakitnya. Aku tidak tahu harus meminjam uang kemana.” “Saya akan meminjamkannya.” Terdengar suara bariton seorang pria dari arah daun pintu. Renima dan Marwa secara bersamaan menoleh ke arah sumber suara. “Dokter Farhan,” lirih Marwa. “Maaf kalau saya datang tiba-tiba dan mendengar percakapan kalian berdua. Saya bersedia meminjamkannya jika kamu mau. Kamu bisa lunasi biaya rumah sakit dan bisa mengurus tabungan rahasia milikmu. Kamu bisa bayar pinjaman itu kalau tabunganmu sudah cair.” Dokter Farhan tersenyum. Ia melangkah mendekati Marwa sementara di tangannya ada sebuah map yang merupakan rekam medis kesehatan Marwa. “Dokter, apa anda serius?” Ke dua netra Marwa berkaca-kaca. “Tentu saja saya serius, asal kamu membayarnya,” ucap dokter Farhan seraya terkekeh ringan. Marwa balas tersenyum, “Tentu saya akan membayarnya, Dokter. Tabungan itu nilainya lumayan besar. Saya sudah menabung semenjak saya masih kecil. Ayah yang membuatkan tabungan itu dan menyuruh saya untuk merahasiakan tabungan itu pada siapa pun. Kata ayah, gunakan uang itu ketika kamu terdesak. Kita tidak pernah tahu tabiat asli orang-orang di sekitar kita. Bisa jadi baik di depan, namun di belakang mereka malah menikam. Seperti Aldo dan keluarganya yang tega membunuh ayah untuk mendapatkan asuransinya.” “Iya … Saya percaya sama kamu. Saya bisa lihat kalau kamu itu orang yang sangat baik. Tapi sayangnya banyak yang memanfaatkan untuk kepentingan mereka sendiri.” Mendengar ucapan Farhan, Marwa kembali terkekeh ringan, “Anda ini sebenarnya dokter atau peramal, Dokter?” “Bisa jadi dua-duanya,” seloroh Farhan. “Dokter, saya benar-benar sangat berterima kasih. Entah kebaikan apa yang sudah saya lakukan sehingga Tuhan mempertemukan saya dengan anda. Andai saja waktu tidak ada anda dan tim anda, mungkin saya sudah binasa dimakan hewan-hewan buas di hutan sana.” “Bukan karena saya, tapi karena kuasa Tuhan. Oiya, ini saya bawa berkas rekam medis kamu. Seperti yang kamu katakan sebelumnya, kamu itu mengidap kanker rahim stadium empat. Kebetulan saya punya kenalan dokter di rumah sakit Pondok Indah dan beliau sudah mengirimkan hasil rekam medis kamu di sana. Saya sudah mempelajarinya sekilas, dan saya rasa kanker ini belum masuk stadium akhir. Masih bisa diobati. Kalau kamu mau, saya bisa bawa kamu ke korea. Di sana pengobatan kanker seperti ini sangat luar biasa. Bagaimana?” “Ke korea?” “Iya ….” Marwa menghela napas. “Marwa, apa lagi yang kamu pikirkan? Bukankah kamu masih punya asuransi yang bisa kamu cairkan kapan saja? Asuransi itu lo, yang juga kamu rahasiakan dari Aldo.” “Iya … Tapi aku tidak yakin uang itu akan cukup.” “Nggak cukup bagaimana? Bukankah nilainya sangat besar. Bisa mencapai sepuluh milyar.” Marwa langsung menoleh ke arah Farhan, “Menurut dokter, apa uang segitu cukup? Tidak hanya untuk pengobatan, tapi juga hidup saya selama di sana.” Farhan tersenyum, “Sudah lebih dari cukup. Kamu tidak perlu khawatir, untuk hidup di sana biar saya yang menanggungnya. Kebetulan sekali, saya juga mau ke korea untuk melanjutkan study singkat bedah plastik di sana. Untuk mendapatkan sertifikat. Di sana saya juga punya keluarga. Jadi tidak akan ada masalah. Lagi pula, kamu jangan habiskan semua uang kamu, sebab kamu masih punya banyak kebutuhan nantinya.” “Anda sangat baik, Dokter,” lirih Marwa. “Hanya kebetulan saja. Oiya, jadi kapan butuh uang untuk menebus biaya rumah sakit? Saya akan segera transfer.” “Besok saya akan urus semua administrasi Marwa yang tertunda. Setelah Marwa pulih dan bisa keluar dari sini, kami akan urus tabungan dan asuransi itu. Apa dokter bisa bersabar? Mungkin butuh proses sekitar beberapa hari sampai uang dokter yang kami pakai, bisa kami kembalikan,” ucap Renima. “Tidak perlu khawatir. Saya juga tidak meminta kalian buru-buru menggantinya. Baiklah, berikan saya nomor rekeningnya. Saya akan transfer uang itu.” Renima mengangguk. Begitu juga dengan Marwa. Renima memberikan nomor rekening pribadinya kepada Farhan. Farhan segera mengirim sejumlah uang yang dibutuhkan oleh Renima untuk menebus biaya rumah sakit Marwa di Jakarta agar ia bisa mengambil identitas Marwa yang masih tertinggal di sana. Waktu pun berlalu semakin cepat. Malam kian larut namun Marwa masih enggan untuk memejamkan mata. Ia masih membiarkan gorden jendela kamar terbuka, namun Farhan sudah melarang Marwa membuka jendela kaca karena udara malam tidak baik untuk kesehatan. Marwa turun dari ranjang. Perlahan, ia berjalan mendekati jendela kaca. Ia berdiri di sana seraya menatap pemandangan malam. Sunyi, sepi seolah tiada penghuni. Bagaimana tidak, waktu saat ini menunjukkan pukul dua malam di mana mayoritas manusia sudah tertidur dengan lelap di tempat mereka masing-masing. Begitu juga dengan Renima, wanita itu saat ini tengah terlelap dengan nikmat di atas sofa yang disiapkan khusus untuk penunggu pasien. Marwa menoleh sesaat ke arah Renima, lalu kembali melabuhkan pandang ke luar bagunan yang berada di lantai tiga itu. Tiba-tiba saja, Marwa seakan melihat sosok sang ayah tengah tersenyum di atas langit kota Bogor. Senyuman yang khas, yang selalu dirindukan oleh Marwa. Marwa melambaikan tangannya seraya membalas senyuman itu. Tapi sayang, bayangan itu langsung menghilang begitu saja. Ayah … Kenapa ayah pergi begitu cepat. Bukankah ayah sudah berjanji akan menemani Marwa selamanya? Marwa belum siap kehilangan ayah. Marwa belum siap hidup tanpa ayah. Dari kecil, Marwa hanya punya ayah saja. Marwa membatin dengan netra berkaca-kaca. *** Flash back Tujuh belas tahun yang lalu … “Ayah … Ayah …,” teriak Marwa sembari mengejar sang ayah. Bocah lima tahun yang baru ditinggal meninggal ibunya itu, terus berlari mengejar sang ayah di sebuah taman di kota Bandung. “Ayo cepat kejar ayah … Marwa masa nggak bisa sih kejar ayah,” ucap pria berperawakan lembut dan penuh dengan kasih sayang itu. Purwanto, itu adalah nama yang tersemat di tubuh sang pria. Pria dengan wajah khas pria jawa yang lembut dengan lesung pipi tipis di pipi kanannya, membuat wajahnya semakin manis. Wajah manis itu kini turun ke putrinya—Marwa. “Aauhhh ….” Terdengar suara teriakan dari bibir mungil Marwa. Purwanto segera membalik tubuhnya. Ia kaget bukan kepalang, lalu segera berlari menuju sang putri. Dengan cepat, ia pangku Marwa dan ia usap luka ringan yang ada di lutut Marwa. “Sakit, Ayah …,” lirih Marwa. “Sakit ya, Sayang … Ayo kita ke sana. Ayah beli plester untuk Marwa.” “Plester? Buat apa?” “Buat luka Marwa.” Marwa kecil menggeleng, “Nggak mau dikasih plester. Pasti rasanya sakit.” “Nggak sakit kok, Sayang … ‘Kan ada ayah di sini. Percayalah, ayah tidak akan pernah membiarkan rasa sakit itu menghampiri Marwa.” “Bagaimana kalau sakit?” “Lihat saja wajah ayah, pasti rasa sakit itu akan hilang.” Purwanto tersenyum. Senyuman yang memang sangat manis. Marwa tersenyum, “Ayah janji nggak akan sakit?” “Ayah janji. Ayo kita ke sana. Ayah mau beli kapas dan bersihkan luka Marwa. Setelah itu ayah akan pasang plester di sini biar lukanya nggak infeksi.” “Infeksi itu apa?” “Infeksi itu adalah sejenis penyakit. Jadi kalau luka Marwa kena infeksi, lukanya bisa tambah parah dan melebar.” “Aaa … Marwa nggak mau sampai infeksi.” “Kalau Marwa nggak mau lukanya sampai infeksi, Marwa harus mau lukanya dibersihkan dan diobati, oke.” “Oke.” Marwa pun menyerah. Purwanto menggendong putrinya itu. Ia bawa Marwa ke sebuah apotik yang berada tidak jauh dari taman. Ia beli sebuah kapas, air mineral dan sebuah plester khusus luka. Setelah membayar, Purwanto pun membawa Marwa kembali ke taman, ke tempat yang nyaman untuk ia duduk bersama putri semata wayangnya itu. Purwanto mulai membersihkan luka Marwa dengan air mineral. “Auhhh, sakit,” rintih Marwa. “Tadi ayah bilang apa?” ucap Purwanto tenang. “Kalau sakit, tatap wajah ayah saja.” “Nah, itu Marwa tahu. Jadi saat ini Marwa harus apa?” “Tatap wajah ayah.” “Ayo lakukan.” Marwa tersenyum. Ia tatap wajah ayahnya yang penuh kelembutan itu dengan saksama. Entah magnet atau sugesti apa yang mengalir ke tubuh Marwa, rasa sakit itu memang hilang seketika. Wajah manis sang ayah mampu membuat Marwa lupa akan rasa sakitnya. “Selesai,” ucap Purwanto. “Ha? Sudah selesai saja?” Marwa bingung. Ia tatap lututnya dan memang benar sebuah plester sudah menempel menutupi luka di lututnya. “Gimana? Sakit nggak?” tanya Purwanto. Marwa kecil menggeleng, “Ayah hebat. Kok bisa ya rasa sakitnya hilang seketika?” “Itu karena Marwa menatap wajah ayah. Sayang, ayah itu sayang sekali sama Marwa. Walau ibu sudah tidak ada, tapi ayah janji tidak akan membuat Marwa kehilangan kasih sayang dari ibu. Ayah dan ibu ada di satu tubuh, yaitu ini. Coba perhatikan wajah ayah, Marwa juga lihat wajah ibu di sana’kan?” Marwa kecil memerhatikan wajah sang ayah. Ayahnya benar, Marwa juga seolah melihat sosok sang ibu di wajah ayahnya. “Marwa rindu ibu,” lirih bocah itu. “Marwa kangen ibu ya? Kalau begitu sini peluk ayah. Marwa pasti akan rasakan juga hangatnya pelukan ibu.” Marwa mengangguk. Ia masukkan tubuhnya dalam pelukan sang ayah dan lagi-lagi ayahnya berkata benar, Marwa merasakan hangatnya pelukan sang ibu dari tubuh ayahnya. “Ayah bersumpah tidak akan membiarkan putri ayah bersedih. Ayah tidak akan membiarkan Marwa sakit. Ayah akan jadi pelindung pertama untuk Marwa,” lirih Purwanto. Marwa terdiam sebab ia terlelap dalam pelukan sang ayah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN